Tinjauan Hukum Islam Tentang Budaya Maddeceg Terhadap Perkawinan Silariang Dalam MasyarakatBugis Bone (Studi Kasus di Desa Tunreng Tellue kecamatan Sibulue)
A.Afifah Nur Annisa/01. 14. 1025 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang "Tinjauan Hukum Islam tentang Budaya Maddecengg
terhhadap perkawinan silariang dalam masyarakat bugis bone". Dalam skripsi ini
membahas permasalahan yang meliputi mengenai sistem budaya maddeceng terhadap
perkawinan silariang dalam masyarakat Bugis Bone di Desa Tunreng Tellue
Kecamatan Sibulue dan tinjauan hukum Islam tentang perkawinan silariang dan
budaya maddeceng dalam masyarakat Bugis Bone. Masalah ini dianalisis dengan
pedekatan teologis normatif, yuridis normatif dan sosiologis serta mengunakan
metode kualitatif.
Adapun metode yang digunakan oleh penyusun skripsi ini yaitu metode penelitian
lapangan (field research). Adapun penelitian lapangan dilakukan dengan cara
wawancara di tempat penelitian, yaitu di Desa Tunreg Tellue Kecamatan Sibulue.
Sedangkan metode analisis data mengunakan metode deduktif
Silariang atau kawin lari adalah perkawinan yang menyimpang dan berkonsekuensi
siri (harga diri). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi tradisi silariang
atau kawin lari. Penelitian ini menerapkan metode kualitatif serta teknik pengamatan,
wawancara dan pustaka. Berdasarkan hasil analisis, perkawinan silariang disebabkan
beberapa faktor, misalnya kasiratangngang (derajat yang tidak setara), terlanjur sudah
dijodohkan dengan pilihan orang tua, dan lain-lain. Meskipun telah dinikahkan secara
resmi oleh penghulu/iman,to mannyala tetap dalam baying-bayang intaian maut dari
pihak to masiri selama pelariannya. Sebagai upaya penyelesaian secara adat terhadap
silariang atau kawin lari, pihak pemuda mendatangkan utusan kepada pihak keluarga
si gadis untuk merundingkan hubungan dari kedua umannyala tersebut melalui
maddeceng.
A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada hasil penelitian, maka dapat
dikemukakan beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1. Dalam perundang-undangan di Indonesia dan didalam Kompilasi Hukum Islam
tidak ada yang mengatur mengenai Budaya maddeceng terhadap Perkawian
silariang melainkan larangan untuk melakukannya seperti dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 60 ayat (1) dan Intruksi
presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 40, 44
dan116.
2. Sebagian besar masyarakat di Desa Tureng Tellue yang melakukan Perkawinan
silariang memperoleh lebih banyak dampak negatif dibanding dampak
positifnya, dan juga tidak direstuinya hubungan pernikahan mereka dari kedua
belah pihak.
3. Umumnya penyebab terjadinya Silariang yang paling mndominan adalah
Mahalnya uang panai mungkin bisa tawar tapi hubungan asmara kedua insan ini
untuk membina rumah tangga juga tak kalah pentingnya. Namun terkadang
jalinan kasih itu harus menelan pil pahit akibat restu kedua orang tua yang
mereka harapkan tidak terijabah hanya karna perbedaan kasta atau status social.
Akibatnya, mimpi-mimpi akan ikatan rumah tangga yang indah harus sirna
ditangan sang pemberi restu.
B. Implikasi
1. Materi-materi di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan perlu disempurnakan disebabkan aturan mengenai perkawinan
silariang tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan serta apabila dikaitkan dengan Hak asasi Manusia maka
persoalan memilih suatu agama merupakan asasi manusia yang tidak dapat
dipaksakan.
2. Hendaknya perkawinan silariang ini tidak dilakukakan oleh pasangan yang
akan menikah, dikarenakan akan sulit terhadap implikasi hukumnya. Dan akan
memberikan suatu dampak negatif bagi keluarganya. Namun apabila terjadi
perkawinan silariang maka hendaknya pasangan yang melangsungkan
perkawinan tersebut mencatatkan perkawinannya, hal ini untuk menjelaskan
status suami dan isteri yang sah dan memberi perlindungan kepada pasangan
serta menempatkan hak anak hasil dari perkawinan tersebut.
3. Perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai faktor-faktor penyebab
terjadinya silariang agar supaya faktor penyebab ini dapat ditanggulangi oleh
tetua budaya yang berwenang dan menimbulkan nilai-nilai kearifan lokal
dihubungkan dengan jiwa pribadi, jiwa keluarga, harkat dan martabat, serta
harga diri sebagai salah satu bagian terpenting yang ditegakkan oleh
masyarakat di Desa Tunreng Tellue dalam memahami aturan-aturan yg berlaku.
terhhadap perkawinan silariang dalam masyarakat bugis bone". Dalam skripsi ini
membahas permasalahan yang meliputi mengenai sistem budaya maddeceng terhadap
perkawinan silariang dalam masyarakat Bugis Bone di Desa Tunreng Tellue
Kecamatan Sibulue dan tinjauan hukum Islam tentang perkawinan silariang dan
budaya maddeceng dalam masyarakat Bugis Bone. Masalah ini dianalisis dengan
pedekatan teologis normatif, yuridis normatif dan sosiologis serta mengunakan
metode kualitatif.
Adapun metode yang digunakan oleh penyusun skripsi ini yaitu metode penelitian
lapangan (field research). Adapun penelitian lapangan dilakukan dengan cara
wawancara di tempat penelitian, yaitu di Desa Tunreg Tellue Kecamatan Sibulue.
Sedangkan metode analisis data mengunakan metode deduktif
Silariang atau kawin lari adalah perkawinan yang menyimpang dan berkonsekuensi
siri (harga diri). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi tradisi silariang
atau kawin lari. Penelitian ini menerapkan metode kualitatif serta teknik pengamatan,
wawancara dan pustaka. Berdasarkan hasil analisis, perkawinan silariang disebabkan
beberapa faktor, misalnya kasiratangngang (derajat yang tidak setara), terlanjur sudah
dijodohkan dengan pilihan orang tua, dan lain-lain. Meskipun telah dinikahkan secara
resmi oleh penghulu/iman,to mannyala tetap dalam baying-bayang intaian maut dari
pihak to masiri selama pelariannya. Sebagai upaya penyelesaian secara adat terhadap
silariang atau kawin lari, pihak pemuda mendatangkan utusan kepada pihak keluarga
si gadis untuk merundingkan hubungan dari kedua umannyala tersebut melalui
maddeceng.
A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada hasil penelitian, maka dapat
dikemukakan beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1. Dalam perundang-undangan di Indonesia dan didalam Kompilasi Hukum Islam
tidak ada yang mengatur mengenai Budaya maddeceng terhadap Perkawian
silariang melainkan larangan untuk melakukannya seperti dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 60 ayat (1) dan Intruksi
presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 40, 44
dan116.
2. Sebagian besar masyarakat di Desa Tureng Tellue yang melakukan Perkawinan
silariang memperoleh lebih banyak dampak negatif dibanding dampak
positifnya, dan juga tidak direstuinya hubungan pernikahan mereka dari kedua
belah pihak.
3. Umumnya penyebab terjadinya Silariang yang paling mndominan adalah
Mahalnya uang panai mungkin bisa tawar tapi hubungan asmara kedua insan ini
untuk membina rumah tangga juga tak kalah pentingnya. Namun terkadang
jalinan kasih itu harus menelan pil pahit akibat restu kedua orang tua yang
mereka harapkan tidak terijabah hanya karna perbedaan kasta atau status social.
Akibatnya, mimpi-mimpi akan ikatan rumah tangga yang indah harus sirna
ditangan sang pemberi restu.
B. Implikasi
1. Materi-materi di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan perlu disempurnakan disebabkan aturan mengenai perkawinan
silariang tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan serta apabila dikaitkan dengan Hak asasi Manusia maka
persoalan memilih suatu agama merupakan asasi manusia yang tidak dapat
dipaksakan.
2. Hendaknya perkawinan silariang ini tidak dilakukakan oleh pasangan yang
akan menikah, dikarenakan akan sulit terhadap implikasi hukumnya. Dan akan
memberikan suatu dampak negatif bagi keluarganya. Namun apabila terjadi
perkawinan silariang maka hendaknya pasangan yang melangsungkan
perkawinan tersebut mencatatkan perkawinannya, hal ini untuk menjelaskan
status suami dan isteri yang sah dan memberi perlindungan kepada pasangan
serta menempatkan hak anak hasil dari perkawinan tersebut.
3. Perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai faktor-faktor penyebab
terjadinya silariang agar supaya faktor penyebab ini dapat ditanggulangi oleh
tetua budaya yang berwenang dan menimbulkan nilai-nilai kearifan lokal
dihubungkan dengan jiwa pribadi, jiwa keluarga, harkat dan martabat, serta
harga diri sebagai salah satu bagian terpenting yang ditegakkan oleh
masyarakat di Desa Tunreng Tellue dalam memahami aturan-aturan yg berlaku.
Ketersediaan
| SSYA20180209 | 209/2018 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
209/2018
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2018
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
