Perpindahan Wali Nasab Ke Wali Hakim Menurut Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam Ditinjau Dari Ulama Fikih

No image available for this title
Skripsi ini membahas secara analisis deskriptif tentang bagaimana perpindahan wali nasab ke wali hakim menurut pasal 23 Kompilasi Hukum Islam jika ditinjau dari pendapat ulama fikih. Dari permasalahan pokok ini melahirkan beberapa sub masalah yakni: 1) apa sebab-sebab perpindahan wali nasab ke wali hakim menurut pasal 23 kompilasi hukum Islam? ; 2) apa status perpindahan wali nasab ke wali hakim menurut pasal 23 Kompilasi Hukum Islam dan ulama fikih?
Dalam menjawab permasalahan tersebut, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan teologis-normatif dan pendekatan yuridis-normatif dan berparadigma deskriptif kualitatif, yang melihat objek kajian dari sudut pandang aturan perundang-undangan. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penulis menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya dengan cara menelaah dan meneliti terhadap sumber-sumber kepustakaan baik al-Quran, as-Sunnah, buku-buku fikih atau karya-karya ilmiah dan artikel yang berkaitan dengan masalah perwalian khususnya terhadap Kompilasi Hukum Islam dan fikih.
Setelah melakukan beberapa kajian terhadap perpindahan wali nasab ke wali hakim menurut pasal 23 Kompilasi Hukum Islam ditinjau dari pendapat ulama fikih, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) sebab berpindahnya perwalian dari wali nasab ke wali hakim menurut pasal 23 KHI yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2005 tentang Wali Hakim adalah sudah tidak ada garis wali nasab, wali ghaib (wali tidak berada ditempat), serta wali menolak atau enggan menikahkan. Pasal 23 angka (2) merupakan ketetapan mandat seseorang sebagai wali hakim. Dalam konteks fiqh Syafi’iy adalah orang yang mendapatkan kuasa untuk menjadi wali bagi wanita yang kuasa tersebut didapatkan melalui penyerahan wewenang (mandat) dari presiden atau pemerintah. Dengan demikian ketentuan Pasal 23 angka (2) menetapkan wali hakim yang biasanya dipegang oleh KUA hanya boleh bertindak sebagai wali hakim apabila ada putusan dari Pengadilan Agam; 2) Menurut Kompilasi Hukum Islam, bahwa Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Mazhab Syafi’iyah, Hanbaliyah dan Malikiyah sepakat mewajibkan wali sebagai rukun nikah berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 232 dan hadist dari Aisyah. Adapun Hanafiyah menolak dasar tersebut karena terdapat kedhaifan hadist tersebut dan menurut Hanafiyah, konteks ayat 232 surat Al-Baqarah tidak menunjukkan keharusan wali.
A.Simpulan
Berdasarkan data analisis terhadap rumusan masalah pada bab terdahulu, maka ditarik simpulan bahwa sebagai berikut :
1.Sebab-sebab perpindahan wali nasab ke wali hakim dalam Kompilasi Hukum Islam yakni sudah tidak ada garis wali nasab, wali ghaib atau wali tidak berada di tempat, wali adhal atau wali yang menolak atau enggan menikahkan.
Maksud dan tujuan yang terkandung dalam Pasal 23 angka (1) KHI, sesungguhnya adalah bahwa wali hakim hanya dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab sama sekali tidak ada, dan dari al-`aqrab atau al-`ab’ad itu tidak ada, tidak mungkin menghadirkannya, tidak diketahui tempat tinggalnya, gaib, atau adlal (enggan/tidak mau menikahkan). Ketentuan di dalam pasal ini adalah berdasarkan fiqh mazhab Syafi’i. Di samping itu, Pasal 23 angka (2) pula merupakan ketetapan mandat seseorang sebagai wali hakim. Dalam konteks fiqh Syafi’iy adalah orang yang mendapatkan kuasa untuk menjadi wali bagi wanita yang kuasa tersebut didapatkan melalui penyerahan wewenang (mandat) dari presiden atau pemerintah. Dengan demikian ketentuan Pasal 23 angka (2) menetapkan wali hakim yang biasanya dipegang oleh KUA hanya boleh bertindak sebagai wali hakim apabila ada putusan dari Pengadilan Agama.
Apabila wali nasab menolak untuk menjadi wali nikah dan tidak ada lagi wali dari keluarga mempelai perempuan yang bersedia untuk menjadi wali nikahnya, yakni dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh syariat agama, maka kewenangan wali nasab akan berpindah kepada wali hakim. Sehingga dari keadaan tersebut yang memaksa mereka untuk tetap melangsungkan pernikahannya walaupun menggunakan wali hakim.
2.Wali nikah adalah orang yang berhak menikahkan seorang perempuan yang diurusnya (maula) apabila ia (wali) sanggup bertindak sebagai wali. Apabila karena suatu hal ia tidak dapat bertindak sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain. Kedudukan wali nikah sangat penting dan menentukan dalam sahnya perkawinan, dan tidak sah perkawinan tanpa adanya wali nikah.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, bahwa Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut. Menurut Kompilasi Hukum Islam, Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.
Para ahli hukum Islam yakni Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah mengatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan tanpa wali, perkawinan tersebut tidak sah karena kedudukan wali dalam akad perkawinan adalah salah satu rukun yang mesti harus dipenuhi. Sebagian para ahli hukum Islam lain yakni Hanafiyah mengemukakan bahwa wali dalam suatu akad perkawinan bukanlah suatu rukun yang mesti harus dipenuhi, tetapi sekedar sunnah saja dan perkawinan yang dilaksanakan tanpa hadirnya wali dalam akad perkawinan bukanlah suatu hal yang cacat hukum, perkawinan tersebut tetap sah dan perkawinan itu tidak menjadi batal.
Mazhab Syafi’iyah, Hanbaliyah dan Malikiyah sepakat mewajibkan wali sebagai rukun nikah berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 232 dan hadist dari Aisyah. Adapun Hanafiyah menolak dasar tersebut karena terdapat kedhaifan hadist tersebut dan menurut Hanafiyah, konteks ayat 232 surat Al-Baqarah tidak menunjukkan keharusan wali.
A.Saran
Akhir kata dari penyusun skripsi ini, penyusun mengharapkan manfaat bagi kita semua. Sebelum mengakhiri tulisan ini, penyusun ingin memberikan sedikit saran pada para pihak yang berkompeten dalam bidang ini, khusunya kepada para pembaca.
1.Dalam perkawinan yang berhak menjadi wali yakni orang yang mempuyai hubungan kerabat dengan calam mempelai. Agar perkawinan dilaksanakn sesuai dengan syariat islam maka dalam penunjukkan wali harus sesuai dengan syariat islam.
2.Dalam pemindahan status wali tidak boleh dilakukan atas kemauan sendiri dari pihak calon mempelai akan tetapi harus ada persetujuan dari beberapa kerabat lainnya. Agar perkawinan tersebut berlangsung sesuai dengan ajaran islam. Untuk permindahan wali nasab ke wali hakim dapat dilakukan jika wali nasab lainnya berhalangan. selama ada wali nasab lainnya yang menggantikan baik dari kerabat jauh, maka permindahan wali nasab ke wali hakim tidak boleh dilakukan.
Ketersediaan
SS2017007373/2017Perpustakaan PusatTersedia
Informasi Detil
Judul Seri

-

No. Panggil

73/2017

Penerbit

STAIN Watampone : Watampone.,

Deskripsi Fisik

-

Bahasa

Indonesia

ISBN/ISSN

-

Klasifikasi

Skripsi Syariah

Informasi Detil
Tipe Isi

-

Tipe Media

-

Tipe Pembawa

-

Edisi

-

Info Detil Spesifik

-

Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain

Advanced Search

Gak perlu repot seting ini itu GRATIS SetUp ,Mengonlinekan SLiMS Di Internet Karena pesan web di Desawarna.com Siap : 085740069967

Pilih Bahasa

Gratis Mengonlinekan SLiMS

Gak perlu repot seting ini itu buat mengonlinekan SLiMS.
GRATIS SetUp ,Mengonlinekan SLiMS Di Internet
Karena pesan web di Desawarna.com
Kontak WhatsApp :

Siap : 085740069967

Template Perpustakaan Desawarna

Kami berharap Template SLiMS ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai template SLiMS bagi semua SLiMerS, serta mampu memberikan dukungan dalam pencapaian tujuan pengembangan perpustakaan dan kearsipan.. Aamiin

Top