Analisis Terhadap Metode Dalam Menafsirkan Surah Al- Nisa‟ Ayat 3 Tentang Poligami (Studi Komparasi Antara Metode Penafsiran Ulama Klasik dengan Fazlur Rahman
Rahmat Hidayat/762312020027 - Personal Name
Penelitian ini berjudul, “Analisis Terhadap Metode Dalam Menafsirkan Surah
Al- Nisa‟ Ayat 3 Tentang Poligami (Studi Komparasi Antara Metode Penafsiran
Ulama Klasik dengan Fazlur Rahman”. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui metode penafsiran ulama klasik dengan Fazlur Rahman dalam
memahami Al-Qur‟an Surah Al-Nisa/4:3
Untuk memudahkan pemecahan masalah tersebut, digunakan jenis penelitian
kualitatif deskriptif dan analisis dengan pendekatan ilmu tafsir. Adapun sumber data
dalam penelitian ini, diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni data primer dan data
sekunder. Data primer yang terdapat dalam penelitian ini adalah metode penafiran Al-
Qur‟an surah al-nisa ayat 3 tentang poligami, dengan menggunakan kitab tafsir klasik
dan tafsir Fazlur rahman Sementara data sekunder di dapatkan dari buku, artikel
jurnal, dan penelitian terdahulu yang memiliki relevansi dengan tema penelitian.
Hasil penelitian menemukan penafsiran dari ulama klasik dalam memahami
surah Al-Nisa‟ ayat 3, ulama klasik yang dimaksudkan disini ialah Ibnu Katsir, Al-
Qurthubi, dan Al-Thabari, dimana dalam penafsirannya menggunakan metodologi
penafsiran bi al-ma’tsur dan cenderung lebih tekstual dalam memahami ayat tentang
poligami. Sementara metode penafsiran Fazlur Rahman dalam memahami surah Al-
Nisa‟ ayat 3 lebih kepada penggunaaan tafsir bi al-ra’yi dimana diketahui
menggunakan metode atau penedekatan double movement. Yakni pentingnya melihat
ayat yang dibahas dari sisi sosio historis pada masa masyarakat arab.
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, serta hubungannya dengan tiga
submasalah yang telah dikonstruk, maka peneliti dapat memberikan simpulan
sebagai berikut:
1. Ulama klasik, seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Al-Tabari, menerapkan
metode tekstual yang bergantung pada riwayat hadis dan atsar sahabat
untuk menjaga keautentikan makna ayat Al-Qur’an. Mereka menafsirkan
Al-Qur’an dengan kaidah-kaidah yang mencakup pendekatan tafsir bil-
ma’tsur (berdasarkan riwayat) dan tafsir bil-ra’yi (berdasarkan nalar yang
dibatasi oleh prinsip-prinsip syariat). Ulama klasik cenderung berfokus
pada pendekatan tekstual. Mereka mengupas makna kata perkata dari teks
Al-Qur’an dan sangat mengandalkan hadis serta pendapat para sahabat
dan tabiin untuk menjelaskan ayat. Pendekatan ini menekankan
kemurnian makna dan kejelasan hukum yang bisa diikuti oleh umat islam.
Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Al-Tabari menyusun pandangan yang sangat
terstruktur berdasarkan kondisi social pada masa pewahyuan, terutama
sebagai upaya melindungi perempuan yatim dan janda dari ketidakadilan.
Para ulama klasik sangat mementingkan asbab al-nuzul atau sebab-sebab
turunnya ayat yang memahami konteks dan latar belakang ayat. Misalnya,
mereka menafsirkan surah Al-Nisa ayat 3 sebagai respon terhadap
banyaknya yatim dan janda yang tidak terlindungi setelah perang,
sehingga izin poligami diberikan untuk melindungi mereka. Pendekatan
ini membantu menempatkan ayat dalam konteks spesifik yang
memberikan makna yang lebih jelas dan otoriatif bagi umat islam yang
membutuhkan aturan yang konkret. Dalam pandangan ulama klasik, surah
Al-Nisa ayat 3 dipahami sebagai landasan hukum yang memperbolehkan
poligami dengan syarat kedilan. Namun, keadilan yang dimaksud lebih
merujuk pada sapek-aspek lahiria, seperti pemberian nafkah yang
seimbang dan pembagian waktu yang adil. Mereka tidak banyak
membahas kompleksitas psikologis atau emosional dari konsep keadilan
ini.
2. Di sisi lain, Fazlur Rahamn mengembangkan metode tafsir dengan
pendekatan “double movement” yang dimaksudkan untuk menyingkap
makna ayat dalam konteks historisnya kemudian membawa nilai-nilai
yang dikandungnya ke konteks modern. Fazlur Rahman menganggap
bahwa AL-Qur’an berfungsi sebagai panduan moral yang beradaptasi
dengan zaman, oleh sebab itu penafsirannya perlu dilakukan secara
kontekstual agar pesan Al-Qur’an tetap relevan. Fazlur Rahman, dengan
pendekatan kontekstual, memandang bahwa ayat ini merespons
ketidakadilan social yang terjadi di masyarakat Arab pada masa itu. Ia
menggunakan analisis sosio-historis untuk mengkaji latar belakang dan
kondisi social yang ada pada saat pewahyuan, dan kemudian
mengevaluasi nilai universal dari ayat tersebut. Baginya, izin poligami
dalam ayat ini bukan aturan tetap, melainkan solusi sementara yang harus
dipahami dengan menimbang prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi
yang Al-Qur’an tawarkan. Fazlur Rahman, meskipun menghargai
pentingnya asbab al-nuzul, menekankan bahwa konteks historis ini harus
dilihat sebgai kerangka yang memuat pesan moral yang lebih luas.
Menurut Rahman, asbab al-nuzul adalah sarana untuk memahami
bagaimana Al-Qur’an mengarahkan manusia menuju nilai-nilai keadilan
yang lebih ideal. Dari sini, ia berargumen bahwa poligami dalam konteks
modern seharusnya dibatasi bukan dihindari, karena tujuan aslinya adalah
keadilan, yang menurutnya lebih dekat dengan monogami. Di sisi lain,
Fazlur Rahman menafsirkan ayat ini sebagai bentuk kompromi terhadap
keadlan social saat itu, di mana poligami dijadikan sarana untuk
melindungi perempuan yang kurang beruntung. Ia berpendapat bahwa
keadilan yang disebutkan dalam ayat ini hampir mustahil dicapai
sepenuhnya dalam konteks hubungan manusia yang rumit, sehingga
monogami diangap lebih ideal. Dengan kata lain, Rahman menekankan
bahwa izin poligami harus dipahami sebagai pengecualian, bukan aturan
baku, terutama dalam konteks modern yang menurut keadilan gender
yang lebih ketat.
3. Metode klasik memberikan panduan hukum yang jelas dan stabil bagi
umat islam. Tafsir klasik dapat lebih mudah diterima oleh umat karena
berakar pada tradisi dan riwayat sahabat serta tabiin yang dianggap lebih
dekat dengan masa pewahyuan. Namun, metode ini kadang sulit
diterapkan secra adaptif dala konteks social yang sangat berbeda dengan
zaman pewahyuan. Sebaliknya, metode Fazlur Rahman memiliki
keunggulan dalamrelevansi kontekstual, terutama dalam
mengaplikasikan nilai-nilai universal Al-Qur’an untuk menghadapi
zaman modern. Akan tetapi, metode ini cenderung mendapatkan
resistensi dari kalangan yang menganggap bahwa metode tekstual lebih
mendekati makna asli Al-Qur’an dan lebih pasti secara hukum. Oleh
karena itu, metode ini kadang dianggap kurang otoriatif dalam pandangan
mereka yang menghagai pendekatan klasik. Pendekatan kalsik dalam
menafsirkan surah Al-Nisa ayat 3 menghasilkan hukum yang kuat dan
jelas, yaitu bahwa poligami diizinkan asalkan suami mampu berbuat adil.
Tafsir ini memberikan arahan yang konkret dalam kehidupan rumah
tangga dan perlindungan hak perempuan pada masa itu. Meskiupun
demikian, pandangan ini dapat dipandang kurang responsive terhadap isu-
isu modern seperti keadilan gender. Pendekatan Fazlur Rahman memiliki
impilikasi sosoal yang lebih relevan dengan nilai-nilai kontemporer,
terutama dalam konteks kesetaraan dan keadilan dalam pernikahan.
Fazlur Rahman berargumen bahwa ayat ini justru menekankan monogami
sebagai standar keadilan yang ideal. Dengan kata lain, Rahman mencoba
untuk mengajak umat untuk kembali kepada esensi keadilan dalam ayat
ini, yang menurutnya lebih mudah dicapai melalui monogami. Ini
relevam dengan tuntutan modern yang menekankan pada keadilan dan
kesejahteraan emosional dalam hubungan pernikahan.
B. Saran
Metode klasik dan metode Fazlur Rahman saling melengkapi dalam
memahami makna surah Al-Nisa ayat 3. Metode klasik memberikan pedoman
yang lebih pasti dan stabil bagi umat islam, sedangkan metode Fazlur
Rahman memungkinkan reinterpretasi Al-Qur’an yang lebih sesuai dengan
konteks zaman modern. Kedua metode ini mengandung nilai-nilai positif yang
dapat digunakan bersamaan untuk menghasilkan pemahaman yang lebih
lengkap. Tafsir klasik dapat dijadikan sebagai acuan hukum, sedangkan
metode Fazlur Rahman bisa memperkaya tafsir dengan wawasan yang relevan
untuk dinamika social kontemporer. Menggabungkan pendekatan tekstual dan
kontekstual bisa membantu umat memahami Al-Qur’an sebagai kitab yang
mengandung prinsip-prinsip dasar yang abadi namun tetap bisa beradaptasi
dengan perubahan zaman. Dengan kata lain, tafsir klasik dapat memberikan
landasan hukum, sedangkan tafsir kontekstual dapat memberikan panduan
moral yang lebih sesuai dengan kebutuhan umat saat ini.
Al- Nisa‟ Ayat 3 Tentang Poligami (Studi Komparasi Antara Metode Penafsiran
Ulama Klasik dengan Fazlur Rahman”. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui metode penafsiran ulama klasik dengan Fazlur Rahman dalam
memahami Al-Qur‟an Surah Al-Nisa/4:3
Untuk memudahkan pemecahan masalah tersebut, digunakan jenis penelitian
kualitatif deskriptif dan analisis dengan pendekatan ilmu tafsir. Adapun sumber data
dalam penelitian ini, diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni data primer dan data
sekunder. Data primer yang terdapat dalam penelitian ini adalah metode penafiran Al-
Qur‟an surah al-nisa ayat 3 tentang poligami, dengan menggunakan kitab tafsir klasik
dan tafsir Fazlur rahman Sementara data sekunder di dapatkan dari buku, artikel
jurnal, dan penelitian terdahulu yang memiliki relevansi dengan tema penelitian.
Hasil penelitian menemukan penafsiran dari ulama klasik dalam memahami
surah Al-Nisa‟ ayat 3, ulama klasik yang dimaksudkan disini ialah Ibnu Katsir, Al-
Qurthubi, dan Al-Thabari, dimana dalam penafsirannya menggunakan metodologi
penafsiran bi al-ma’tsur dan cenderung lebih tekstual dalam memahami ayat tentang
poligami. Sementara metode penafsiran Fazlur Rahman dalam memahami surah Al-
Nisa‟ ayat 3 lebih kepada penggunaaan tafsir bi al-ra’yi dimana diketahui
menggunakan metode atau penedekatan double movement. Yakni pentingnya melihat
ayat yang dibahas dari sisi sosio historis pada masa masyarakat arab.
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, serta hubungannya dengan tiga
submasalah yang telah dikonstruk, maka peneliti dapat memberikan simpulan
sebagai berikut:
1. Ulama klasik, seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Al-Tabari, menerapkan
metode tekstual yang bergantung pada riwayat hadis dan atsar sahabat
untuk menjaga keautentikan makna ayat Al-Qur’an. Mereka menafsirkan
Al-Qur’an dengan kaidah-kaidah yang mencakup pendekatan tafsir bil-
ma’tsur (berdasarkan riwayat) dan tafsir bil-ra’yi (berdasarkan nalar yang
dibatasi oleh prinsip-prinsip syariat). Ulama klasik cenderung berfokus
pada pendekatan tekstual. Mereka mengupas makna kata perkata dari teks
Al-Qur’an dan sangat mengandalkan hadis serta pendapat para sahabat
dan tabiin untuk menjelaskan ayat. Pendekatan ini menekankan
kemurnian makna dan kejelasan hukum yang bisa diikuti oleh umat islam.
Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Al-Tabari menyusun pandangan yang sangat
terstruktur berdasarkan kondisi social pada masa pewahyuan, terutama
sebagai upaya melindungi perempuan yatim dan janda dari ketidakadilan.
Para ulama klasik sangat mementingkan asbab al-nuzul atau sebab-sebab
turunnya ayat yang memahami konteks dan latar belakang ayat. Misalnya,
mereka menafsirkan surah Al-Nisa ayat 3 sebagai respon terhadap
banyaknya yatim dan janda yang tidak terlindungi setelah perang,
sehingga izin poligami diberikan untuk melindungi mereka. Pendekatan
ini membantu menempatkan ayat dalam konteks spesifik yang
memberikan makna yang lebih jelas dan otoriatif bagi umat islam yang
membutuhkan aturan yang konkret. Dalam pandangan ulama klasik, surah
Al-Nisa ayat 3 dipahami sebagai landasan hukum yang memperbolehkan
poligami dengan syarat kedilan. Namun, keadilan yang dimaksud lebih
merujuk pada sapek-aspek lahiria, seperti pemberian nafkah yang
seimbang dan pembagian waktu yang adil. Mereka tidak banyak
membahas kompleksitas psikologis atau emosional dari konsep keadilan
ini.
2. Di sisi lain, Fazlur Rahamn mengembangkan metode tafsir dengan
pendekatan “double movement” yang dimaksudkan untuk menyingkap
makna ayat dalam konteks historisnya kemudian membawa nilai-nilai
yang dikandungnya ke konteks modern. Fazlur Rahman menganggap
bahwa AL-Qur’an berfungsi sebagai panduan moral yang beradaptasi
dengan zaman, oleh sebab itu penafsirannya perlu dilakukan secara
kontekstual agar pesan Al-Qur’an tetap relevan. Fazlur Rahman, dengan
pendekatan kontekstual, memandang bahwa ayat ini merespons
ketidakadilan social yang terjadi di masyarakat Arab pada masa itu. Ia
menggunakan analisis sosio-historis untuk mengkaji latar belakang dan
kondisi social yang ada pada saat pewahyuan, dan kemudian
mengevaluasi nilai universal dari ayat tersebut. Baginya, izin poligami
dalam ayat ini bukan aturan tetap, melainkan solusi sementara yang harus
dipahami dengan menimbang prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi
yang Al-Qur’an tawarkan. Fazlur Rahman, meskipun menghargai
pentingnya asbab al-nuzul, menekankan bahwa konteks historis ini harus
dilihat sebgai kerangka yang memuat pesan moral yang lebih luas.
Menurut Rahman, asbab al-nuzul adalah sarana untuk memahami
bagaimana Al-Qur’an mengarahkan manusia menuju nilai-nilai keadilan
yang lebih ideal. Dari sini, ia berargumen bahwa poligami dalam konteks
modern seharusnya dibatasi bukan dihindari, karena tujuan aslinya adalah
keadilan, yang menurutnya lebih dekat dengan monogami. Di sisi lain,
Fazlur Rahman menafsirkan ayat ini sebagai bentuk kompromi terhadap
keadlan social saat itu, di mana poligami dijadikan sarana untuk
melindungi perempuan yang kurang beruntung. Ia berpendapat bahwa
keadilan yang disebutkan dalam ayat ini hampir mustahil dicapai
sepenuhnya dalam konteks hubungan manusia yang rumit, sehingga
monogami diangap lebih ideal. Dengan kata lain, Rahman menekankan
bahwa izin poligami harus dipahami sebagai pengecualian, bukan aturan
baku, terutama dalam konteks modern yang menurut keadilan gender
yang lebih ketat.
3. Metode klasik memberikan panduan hukum yang jelas dan stabil bagi
umat islam. Tafsir klasik dapat lebih mudah diterima oleh umat karena
berakar pada tradisi dan riwayat sahabat serta tabiin yang dianggap lebih
dekat dengan masa pewahyuan. Namun, metode ini kadang sulit
diterapkan secra adaptif dala konteks social yang sangat berbeda dengan
zaman pewahyuan. Sebaliknya, metode Fazlur Rahman memiliki
keunggulan dalamrelevansi kontekstual, terutama dalam
mengaplikasikan nilai-nilai universal Al-Qur’an untuk menghadapi
zaman modern. Akan tetapi, metode ini cenderung mendapatkan
resistensi dari kalangan yang menganggap bahwa metode tekstual lebih
mendekati makna asli Al-Qur’an dan lebih pasti secara hukum. Oleh
karena itu, metode ini kadang dianggap kurang otoriatif dalam pandangan
mereka yang menghagai pendekatan klasik. Pendekatan kalsik dalam
menafsirkan surah Al-Nisa ayat 3 menghasilkan hukum yang kuat dan
jelas, yaitu bahwa poligami diizinkan asalkan suami mampu berbuat adil.
Tafsir ini memberikan arahan yang konkret dalam kehidupan rumah
tangga dan perlindungan hak perempuan pada masa itu. Meskiupun
demikian, pandangan ini dapat dipandang kurang responsive terhadap isu-
isu modern seperti keadilan gender. Pendekatan Fazlur Rahman memiliki
impilikasi sosoal yang lebih relevan dengan nilai-nilai kontemporer,
terutama dalam konteks kesetaraan dan keadilan dalam pernikahan.
Fazlur Rahman berargumen bahwa ayat ini justru menekankan monogami
sebagai standar keadilan yang ideal. Dengan kata lain, Rahman mencoba
untuk mengajak umat untuk kembali kepada esensi keadilan dalam ayat
ini, yang menurutnya lebih mudah dicapai melalui monogami. Ini
relevam dengan tuntutan modern yang menekankan pada keadilan dan
kesejahteraan emosional dalam hubungan pernikahan.
B. Saran
Metode klasik dan metode Fazlur Rahman saling melengkapi dalam
memahami makna surah Al-Nisa ayat 3. Metode klasik memberikan pedoman
yang lebih pasti dan stabil bagi umat islam, sedangkan metode Fazlur
Rahman memungkinkan reinterpretasi Al-Qur’an yang lebih sesuai dengan
konteks zaman modern. Kedua metode ini mengandung nilai-nilai positif yang
dapat digunakan bersamaan untuk menghasilkan pemahaman yang lebih
lengkap. Tafsir klasik dapat dijadikan sebagai acuan hukum, sedangkan
metode Fazlur Rahman bisa memperkaya tafsir dengan wawasan yang relevan
untuk dinamika social kontemporer. Menggabungkan pendekatan tekstual dan
kontekstual bisa membantu umat memahami Al-Qur’an sebagai kitab yang
mengandung prinsip-prinsip dasar yang abadi namun tetap bisa beradaptasi
dengan perubahan zaman. Dengan kata lain, tafsir klasik dapat memberikan
landasan hukum, sedangkan tafsir kontekstual dapat memberikan panduan
moral yang lebih sesuai dengan kebutuhan umat saat ini.
Ketersediaan
| SFUD202400067 | 67/2024 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
67/2024
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2024
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi FUD
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
