Mens Rea dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Komparatif antara Hukum Pidana Indonesia Maqashid Syariah)
Nurul Izza Amin/01.18.4064 - Personal Name
Penelitian ini mengkaji konsep mens rea dalam tindak pidana korupsi dari
perspektif hukum pidana Indonesia dan maqashid syariah, serta menganalisis
tantangan dalam pembuktian niat jahat pelaku. Tujuan penelitian ini adalah untuk
memahami bagaimana sistem hukum Indonesia mengatur dan menerapkan mens rea
dalam korupsi, serta perbandingannya dengan pendekatan maqashid syariah, yang
menekankan perlindungan kemaslahatan umat. Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian hukum normatif dengan data diperoleh dari studi kepustakaan yang
mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, lalu dianalisis secara kualitatif
dengan metode deskriptif-analitis.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa dalam hukum pidana
Indonesia, mens rea diatur sebagai kesengajaan (dolo) atau kelalaian (culpa), yang
mempengaruhi pembuktian niat jahat pelaku. Pada kasus korupsi, meskipun terdapat
bukti yang menunjukkan penyalahgunaan kewenangan, pembuktian kesengajaan
seringkali menghadapi kesulitan, terutama dalam tindakan yang tersembunyi atau
melalui manipulasi birokrasi.Sementara itu, dalam perspektif maqashid syariah,
meskipun tidak selalu diperlukan niat eksplisit, tindakan yang merusak kemaslahatan
umat tetap dianggap sebagai kejahatan yang lebih berat, karena merusak tatanan
sosial dan moralitas. Maqashid syariah menekankan pada dampak sosial dari tindakan
pelaku, bukan hanya pada niat jahat yang eksplisit, yang menunjukkan bahwa hukum
Islam lebih memperhatikan moralitas dan keadilan sosial dalam menilai tindak
pidana. Implikasi penelitian ini adalah pentingnya integrasi nilai-nilai maqashid
syariah ke dalam kebijakan hukum nasional guna memperkuat aspek etis, moral, dan
preventif dalam pemberantasan korupsi, sehingga penegakan hukum tidak hanya
bersifat represif, tetapi juga transformatif.
A. Kesimpulan
1. Mens rea dalam hukum pidana Indonesia berfokus pada kesengajaan (dolo)
atau kelalaian (culpa) pelaku dalam melakukan tindak pidana. Dalam konteks
korupsi, pembuktian mens rea menjadi krusial karena tanpa bukti yang
menunjukkan adanya kesengajaan pelaku untuk merugikan negara atau
masyarakat, tindak pidana tersebut sulit untuk dihukum. Pembuktian mens rea
umumnya melibatkan bukti-bukti seperti dokumen pengadaan, kesaksian, dan
audit keuangan yang menunjukkan adanya rekayasa atau penggelapan yang
disengaja.
Kasus-kasus
seperti
Idrus
Marham
dan
Setya
Novanto
memperlihatkan bagaimana unsur ini dapat dibuktikan melalui bukti material
yang mengindikasikan kesengajaan pelaku.
2. Dalam maqashid syariah, konsep mens rea lebih difokuskan pada moralitas dan
dampak sosial dari tindakan pelaku, yang mengarah pada perlindungan
kemaslahatan umat. Maqashid syariah mengutamakan tujuan hukum untuk
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Berbeda dengan hukum
pidana Indonesia yang menekankan pada bukti kesengajaan (dolo), dalam
maqashid syariah, perbuatan yang merusak kemaslahatan umat, meskipun tidak
dilakukan dengan niat eksplisit untuk merugikan, tetap dianggap kejahatan
yang lebih berat karena dampaknya terhadap kesejahteraan sosial dan moralitas.
Dalam konteks korupsi, meskipun pelaku tidak memiliki niat jahat secara
eksplisit, tindakan tersebut tetap dianggap pelanggaran berat karena merusak
kemaslahatan umat dan moralitas sosial.
B. Saran
1. Integrasi prinsip maqashid syariah dalam sistem hukum pidana Indonesia
penting untuk memperkuat keadilan sosial dan memastikan bahwa hukum
pidana tidak hanya menekankan aspek legal formalistik, tetapi juga pada
dampak sosial dan moralitas. Penegakan hukum yang memperhatikan
kemaslahatan umat dan pencegahan kerusakan sosial akan lebih berorientasi
pada kesejahteraan masyarakat. Reformasi sistem hukum pidana dengan
mengadopsi prinsip-prinsip maqashid syariah akan memberikan dimensi moral
dalam penegakan hukum, khususnya pada tindak pidana yang melibatkan
penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
2. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam memahami dimensi sosial
dan moralitas tindak pidana korupsi dan dalam menggunakan bukti holistik
sangat diperlukan. Pelatihan hakim dan penegak hukum sangat penting agar
dapat menilai dampak sosial tindakan pelaku, bahkan saat niat eksplisit sulit
dibuktikan. Ini akan memperkuat penegakan keadilan substantif yang
berorientasi pada kemaslahatan umat.
3. Transparansi dalam pengelolaan anggaran negara dan pengawasan proyek
publik harus diperkuat guna memperkecil ruang bagi tindak pidana yang
merusak kemaslahatan umat serta menjaga akuntabilitas pejabat negara.
Partisipasi masyarakat sipil dan media penting dalam memantau proses
penegakan hukum agar keadilan sosial tetap terjaga dan hukum pidana
memiliki manfaat nyata bagi kesejahteraan rakyat.
perspektif hukum pidana Indonesia dan maqashid syariah, serta menganalisis
tantangan dalam pembuktian niat jahat pelaku. Tujuan penelitian ini adalah untuk
memahami bagaimana sistem hukum Indonesia mengatur dan menerapkan mens rea
dalam korupsi, serta perbandingannya dengan pendekatan maqashid syariah, yang
menekankan perlindungan kemaslahatan umat. Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian hukum normatif dengan data diperoleh dari studi kepustakaan yang
mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, lalu dianalisis secara kualitatif
dengan metode deskriptif-analitis.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa dalam hukum pidana
Indonesia, mens rea diatur sebagai kesengajaan (dolo) atau kelalaian (culpa), yang
mempengaruhi pembuktian niat jahat pelaku. Pada kasus korupsi, meskipun terdapat
bukti yang menunjukkan penyalahgunaan kewenangan, pembuktian kesengajaan
seringkali menghadapi kesulitan, terutama dalam tindakan yang tersembunyi atau
melalui manipulasi birokrasi.Sementara itu, dalam perspektif maqashid syariah,
meskipun tidak selalu diperlukan niat eksplisit, tindakan yang merusak kemaslahatan
umat tetap dianggap sebagai kejahatan yang lebih berat, karena merusak tatanan
sosial dan moralitas. Maqashid syariah menekankan pada dampak sosial dari tindakan
pelaku, bukan hanya pada niat jahat yang eksplisit, yang menunjukkan bahwa hukum
Islam lebih memperhatikan moralitas dan keadilan sosial dalam menilai tindak
pidana. Implikasi penelitian ini adalah pentingnya integrasi nilai-nilai maqashid
syariah ke dalam kebijakan hukum nasional guna memperkuat aspek etis, moral, dan
preventif dalam pemberantasan korupsi, sehingga penegakan hukum tidak hanya
bersifat represif, tetapi juga transformatif.
A. Kesimpulan
1. Mens rea dalam hukum pidana Indonesia berfokus pada kesengajaan (dolo)
atau kelalaian (culpa) pelaku dalam melakukan tindak pidana. Dalam konteks
korupsi, pembuktian mens rea menjadi krusial karena tanpa bukti yang
menunjukkan adanya kesengajaan pelaku untuk merugikan negara atau
masyarakat, tindak pidana tersebut sulit untuk dihukum. Pembuktian mens rea
umumnya melibatkan bukti-bukti seperti dokumen pengadaan, kesaksian, dan
audit keuangan yang menunjukkan adanya rekayasa atau penggelapan yang
disengaja.
Kasus-kasus
seperti
Idrus
Marham
dan
Setya
Novanto
memperlihatkan bagaimana unsur ini dapat dibuktikan melalui bukti material
yang mengindikasikan kesengajaan pelaku.
2. Dalam maqashid syariah, konsep mens rea lebih difokuskan pada moralitas dan
dampak sosial dari tindakan pelaku, yang mengarah pada perlindungan
kemaslahatan umat. Maqashid syariah mengutamakan tujuan hukum untuk
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Berbeda dengan hukum
pidana Indonesia yang menekankan pada bukti kesengajaan (dolo), dalam
maqashid syariah, perbuatan yang merusak kemaslahatan umat, meskipun tidak
dilakukan dengan niat eksplisit untuk merugikan, tetap dianggap kejahatan
yang lebih berat karena dampaknya terhadap kesejahteraan sosial dan moralitas.
Dalam konteks korupsi, meskipun pelaku tidak memiliki niat jahat secara
eksplisit, tindakan tersebut tetap dianggap pelanggaran berat karena merusak
kemaslahatan umat dan moralitas sosial.
B. Saran
1. Integrasi prinsip maqashid syariah dalam sistem hukum pidana Indonesia
penting untuk memperkuat keadilan sosial dan memastikan bahwa hukum
pidana tidak hanya menekankan aspek legal formalistik, tetapi juga pada
dampak sosial dan moralitas. Penegakan hukum yang memperhatikan
kemaslahatan umat dan pencegahan kerusakan sosial akan lebih berorientasi
pada kesejahteraan masyarakat. Reformasi sistem hukum pidana dengan
mengadopsi prinsip-prinsip maqashid syariah akan memberikan dimensi moral
dalam penegakan hukum, khususnya pada tindak pidana yang melibatkan
penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
2. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam memahami dimensi sosial
dan moralitas tindak pidana korupsi dan dalam menggunakan bukti holistik
sangat diperlukan. Pelatihan hakim dan penegak hukum sangat penting agar
dapat menilai dampak sosial tindakan pelaku, bahkan saat niat eksplisit sulit
dibuktikan. Ini akan memperkuat penegakan keadilan substantif yang
berorientasi pada kemaslahatan umat.
3. Transparansi dalam pengelolaan anggaran negara dan pengawasan proyek
publik harus diperkuat guna memperkecil ruang bagi tindak pidana yang
merusak kemaslahatan umat serta menjaga akuntabilitas pejabat negara.
Partisipasi masyarakat sipil dan media penting dalam memantau proses
penegakan hukum agar keadilan sosial tetap terjaga dan hukum pidana
memiliki manfaat nyata bagi kesejahteraan rakyat.
Ketersediaan
| SSYA20250238 | 238/2025 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
238/2025
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2025
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
