Peran Mediasi Circle of Friends dan Flexing Terhadap FOMO dan Isrāf pada Keputusan Pembelian Produk Fashion Imitasi di Kalangan Generasi Z di Kabupaten Bone
Ayu Ariska/601022023014 - Personal Name
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran mediasi Circle of Friends dan
Flexing dalam memengaruhi hubungan antara FOMO dan Isrāf terhadap keputusan
pembelian produk fashion imitasi di kalangan Generasi Z di Kabupaten Bone. FOMO
dan Isrāf merupakan faktor sosial dan psikologis yang sering kali menjadi pendorong
utama dalam perilaku konsumtif, khususnya terhadap produk tiruan. Pendekatan yang
digunakan adalah kuantitatif dengan metode asosiatif dan teknik analisis Structural
Equation Modeling-Partial Least Square (SEM-PLS). Data primer diperoleh melalui
penyebaran kuesioner daring kepada 230 responden dengan teknik purposive sampling.
Instrumen penelitian menggunakan skala Likert 1 sampai 5 dan telah melalui uji
validitas serta reliabilitas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Circle of Friends berpengaruh signifikan
terhadap keputusan pembelian dengan nilai t sebesar 7,333 (p = 0,000), dan Flexing
juga berpengaruh signifikan dengan nilai t sebesar 3,235 (p = 0,001). FOMO terbukti
berpengaruh signifikan terhadap Circle of Friends (t = 2,575; p = 0,010) dan Flexing
(t = 3,162; p = 0,002), tetapi tidak secara langsung memengaruhi keputusan pembelian.
Sebaliknya, Isrāf menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap Circle of Friends (t
= 5,354; p = 0,000), Flexing (t = 4,914; p = 0,000), dan keputusan pembelian (t = 2,606;
p = 0,010). Selain itu, pengaruh tidak langsung FOMO dan Isrāf terhadap keputusan
pembelian melalui kedua mediator juga terbukti signifikan.
Implikasi dari temuan ini menegaskan bahwa Circle of Friends dan Flexing
berperan penting sebagai jalur pengaruh dalam hubungan antara FOMO dan Isrāf
dengan keputusan pembelian produk fashion imitasi. Hal ini menunjukkan kuatnya
pengaruh lingkungan sosial dan motivasi pencitraan diri dalam membentuk perilaku
konsumsi Generasi Z. Oleh karena itu, diperlukan upaya strategis dalam bentuk edukasi
konsumsi yang bijak serta penguatan regulasi terhadap peredaran produk imitasi untuk
mengurangi perilaku konsumtif yang tidak sehat di kalangan generasi muda.
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data menggunakan SEM-PLS dan pembahasan terhadap
pengaruh Flexing, FOMO, Isrāf, dan Circle of Friends terhadap Keputusan Pembelian
Produk Fashion Imitasi pada Generasi Z di Kabupaten Bone, serta merujuk pada model
struktural terbaik yang divalidasi, maka dapat ditarik kesimpulan yang menjawab
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Circle of Friends berpengaruh langsung terhadap keputusan pembelian produk
fashion imitasi. Hal ini menegaskan bahwa lingkungan pertemanan memainkan
peran kuat dalam membentuk preferensi dan perilaku konsumsi Generasi Z. Adanya
tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok dan keinginan untuk
diterima secara sosial mendorong individu untuk mengadopsi tren konsumsi yang
sama dengan teman sebayanya, termasuk dalam memilih produk imitasi. Selain itu,
Flexing juga terbukti berpengaruh langsung dan signifikan terhadap keputusan
pembelian produk fashion imitasi. Ini menunjukkan bahwa motivasi internal
Generasi Z untuk menampilkan citra diri tertentu, menunjukkan status sosial, atau
memamerkan gaya hidup merupakan pendorong kuat di balik keputusan pembelian
produk imitasi. Produk tiruan dilihat sebagai cara yang efektif dan lebih terjangkau
untuk mencapai tujuan pencitraan diri tersebut di hadapan lingkungan sosialnya.
2. FOMO berpengaruh signifikan terhadap Circle of Friends. Pengaruh ini dapat
dijelaskan sebagai kecenderungan individu yang mengalami FOMO untuk lebih
intens terhubung dengan lingkaran sosialnya. Mereka mengandalkan teman sebaya
sebagai sumber informasi utama mengenai tren terbaru dan sebagai tolok ukur
validasi sosial agar tidak merasa tertinggal. Isrāf juga ditemukan berpengaruh
signifikan terhadap Circle of Friends. Temuan ini mengindikasikan bahwa individu
dengan kecenderungan konsumtif berlebihan cenderung berada atau membentuk
lingkaran pertemanan dengan pola konsumsi yang serupa. Dalam kelompok seperti
ini, norma-norma konsumtif, termasuk pemborosan atau pembelian barang non-
esensial, dapat berkembang dan saling diperkuat antar anggota.
3. FOMO berpengaruh signifikan terhadap perilaku Flexing. Rasa takut ketinggalan
tren atau aktivitas sosial mendorong individu untuk secara aktif menampilkan citra
diri yang selalu up-to-date dan terlibat. Perilaku Flexing, seperti memamerkan
barang-barang (termasuk imitasi) di media sosial atau dalam interaksi langsung,
menjadi salah satu strategi untuk meredakan kecemasan FOMO dan menegaskan
eksistensi diri dalam lingkungan sosial. Isrāf juga terbukti berpengaruh signifikan
terhadap Flexing. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku konsumtif yang berlebihan
seringkali berjalan seiring dengan keinginan untuk memamerkan hasil konsumsi
tersebut. Gaya hidup yang boros dapat memicu dorongan untuk menampilkan
kemewahan atau status, sehingga perilaku Flexing menjadi konsekuensi logis atau
bahkan tujuan dari konsumsi berlebihan itu sendiri.
4. Isrāf memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap keputusan pembelian
produk fashion imitasi. Ini berarti bahwa kecenderungan untuk berperilaku boros
dan melakukan pembelian secara impulsif secara inheren mendorong individu untuk
membeli produk fashion imitasi, terlepas dari pengaruh perantara lainnya. Namun,
penelitian ini menemukan bahwa pengaruh langsung dari FOMO terhadap
keputusan pembelian produk fashion imitasi tidak terbukti signifikan secara
statistik. Temuan ini menyiratkan bahwa meskipun FOMO adalah fenomena
psikologis yang relevan, rasa takut ketinggalan tren saja tidak secara otomatis
diterjemahkan menjadi keputusan pembelian produk imitasi. Pengaruh FOMO
terhadap keputusan pembelian tampaknya memerlukan jalur tidak langsung melalui
faktor-faktor lain seperti Circle of Friends atau flexing.
5. Circle of Friends berfungsi sebagai mediator penting antara FOMO dan Isrāf
terhadap keputusan pembelian produk fashion imitasi. Ini berarti pengaruh dari rasa
takut ketinggalan (FOMO) dan perilaku konsumtif berlebihan (Isrāf) secara
signifikan disalurkan melalui dinamika dalam lingkaran pertemanan. Circle of
Friends menjadi wadah di mana kebutuhan validasi sosial akibat FOMO
diterjemahkan menjadi perilaku pembelian yang sesuai dengan norma kelompok,
sekaligus tempat di mana perilaku konsumtif Isrāf dapat dinormalisasi dan
diperkuat, yang pada akhirnya turut mendorong keputusan pembelian produk
imitasi.
6. Flexing berfungsi sebagai mediator krusial antara FOMO dan Isrāf terhadap
keputusan pembelian produk fashion imitasi. Ini menunjukkan bahwa pengaruh
FOMO dan Isrāf terhadap keputusan pembelian sebagian besar terjadi melalui
perilaku Flexing. FOMO mendorong individu untuk Flexing sebagai cara
menunjukkan kesesuaian dengan tren, dan produk imitasi memfasilitasi tindakan
ini. Sementara itu, Isrāf memicu Flexing sebagai ekspresi gaya hidup konsumtif,
dan produk imitasi kembali menjadi alat pendukung untuk menampilkan citra yang
diinginkan tersebut. Dengan demikian, Flexing merupakan mekanisme kunci yang
menghubungkan dorongan internal (FOMO, Isrāf) dengan tindakan pembelian
produk imitasi.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah dirumuskan, temuan-temuan kunci dari
penelitian ini menawarkan beberapa implikasi penting sebagai berikut:
1. Upaya untuk mengurangi konsumsi produk imitasi pada Generasi Z tidak cukup
efektif jika hanya menarget FOMO dan Isrāf secara langsung. Temuan ini
menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut tidak serta-merta memicu pembelian,
melainkan disalurkan melalui dua mediator utama: tekanan pertemanan dan
dorongan untuk memamerkan gaya hidup. Oleh karena itu, setiap intervensi baik
berupa program edukasi, kampanye sosial, maupun kebijakan public perlu lebih
cermat dalam memahami dan menarget dinamika sosial yang terjadi di antara
kelompok sebaya remaja. Pendekatan yang relevan secara sosial dan psikologis
menjadi kunci keberhasilan.
2. Temuan ini memberikan pesan kuat kepada pemilik merek asli untuk merancang
strategi pemasaran yang tidak hanya berorientasi pada kualitas produk atau harga
kompetitif, tetapi juga pada pembangunan komunitas pengguna. Dorongan untuk
menjadi bagian dari kelompok dan mencari pengakuan sosial dapat diarahkan secara
positif melalui penciptaan ruang interaksi, penyelenggaraan kegiatan komunitas,
serta pelibatan brand ambassador yang merepresentasikan nilai-nilai kelompok.
Strategi ini dapat meningkatkan loyalitas terhadap produk orisinal sekaligus
mengalihkan minat dari produk imitasi.
3. Bagi pendidik dan orang tua, hasil penelitian ini memperkuat urgensi untuk
membina ketahanan mental dan spiritual remaja. Kerentanan terhadap FOMO dan
Isrāf berkaitan erat dengan rendahnya kepercayaan diri dan pencarian validasi
eksternal. Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan konsep Joy of Missing
Out (JOMO) dan Qanā‘ah dalam pendidikan karakter. Keduanya dapat menjadi alat
untuk membentuk remaja yang lebih tangguh, puas dengan pilihan pribadinya, dan
tidak mudah terpengaruh oleh norma sosial konsumtif.
4. Tingginya konsumsi produk imitasi menuntut tanggapan serius dari pemerintah,
tidak hanya dalam bentuk penegakan hukum atas pelanggaran HAKI, tetapi juga
dalam bentuk kampanye edukatif multidimensi. Kampanye ini perlu menyampaikan
konsekuensi negatif dari produk tiruan baik dari sisi ekonomi, etika, kualitas,
maupun dampaknya terhadap industri kreatif dengan bahasa yang komunikatif,
interaktif, dan mudah dipahami oleh Generasi Z.
C. Saran
Berdasarkan implikasi yang telah diuraikan, berikut ini adalah saran utama yang
dapat dijadikan acuan bagi berbagai pihak, baik praktisi, pendidik, pembuat kebijakan,
maupun peneliti berikutnya:
1. Institusi pendidikan, keluarga, dan komunitas remaja disarankan untuk merancang
program edukasi yang menyeluruh, yang tidak hanya menekankan literasi finansial
dan digital, tetapi juga memperkuat nilai-nilai spiritual seperti Qanā‘ah, serta
konsep psikologis seperti JOMO. Program ini juga perlu membahas secara terbuka
pengaruh pertemanan dan budaya flexing terhadap keputusan konsumsi, melalui
pendekatan partisipatif seperti diskusi kelompok dan peer mentoring.
2. Pelaku bisnis, khususnya pemilik merek orisinal, disarankan untuk membangun
strategi pemasaran berbasis komunitas pengguna yang loyal. Pendekatan ini
mencakup pengembangan ruang interaksi antar konsumen (baik daring maupun
luring), penyelenggaraan acara komunitas, serta pemberdayaan brand ambassador
dari kalangan sebaya yang mampu merepresentasikan nilai dan gaya hidup yang
autentik.
3. Pemerintah perlu menggencarkan kampanye edukatif yang menyentuh berbagai
aspek dari konsumsi produk imitasi, termasuk risiko hukum, kerugian ekonomi,
kerusakan moral, dan dampaknya terhadap kreativitas nasional. Kampanye ini
hendaknya memanfaatkan media sosial dan influencer edukatif agar pesan dapat
diterima dengan efektif oleh generasi muda yang menjadi sasaran utama.
4. Penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan di berbagai konteks geografis
dan budaya guna menguji generalisasi temuan ini. Penggunaan pendekatan mixed
methods (gabungan kuantitatif dan kualitatif) dapat memberikan pemahaman yang
lebih mendalam. Model penelitian juga dapat diperluas dengan menambahkan
variabel seperti pengaruh influencer media sosial, kesadaran etis, serta risiko sosial.
Selain itu, penelitian longitudinal dan evaluasi efektivitas program intervensi dapat
digunakan untuk melihat perubahan perilaku dalam jangka waktu tertentu dan
menguji keberhasilan strategi edukasi atau kampanye sosial secara empiris.
Flexing dalam memengaruhi hubungan antara FOMO dan Isrāf terhadap keputusan
pembelian produk fashion imitasi di kalangan Generasi Z di Kabupaten Bone. FOMO
dan Isrāf merupakan faktor sosial dan psikologis yang sering kali menjadi pendorong
utama dalam perilaku konsumtif, khususnya terhadap produk tiruan. Pendekatan yang
digunakan adalah kuantitatif dengan metode asosiatif dan teknik analisis Structural
Equation Modeling-Partial Least Square (SEM-PLS). Data primer diperoleh melalui
penyebaran kuesioner daring kepada 230 responden dengan teknik purposive sampling.
Instrumen penelitian menggunakan skala Likert 1 sampai 5 dan telah melalui uji
validitas serta reliabilitas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Circle of Friends berpengaruh signifikan
terhadap keputusan pembelian dengan nilai t sebesar 7,333 (p = 0,000), dan Flexing
juga berpengaruh signifikan dengan nilai t sebesar 3,235 (p = 0,001). FOMO terbukti
berpengaruh signifikan terhadap Circle of Friends (t = 2,575; p = 0,010) dan Flexing
(t = 3,162; p = 0,002), tetapi tidak secara langsung memengaruhi keputusan pembelian.
Sebaliknya, Isrāf menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap Circle of Friends (t
= 5,354; p = 0,000), Flexing (t = 4,914; p = 0,000), dan keputusan pembelian (t = 2,606;
p = 0,010). Selain itu, pengaruh tidak langsung FOMO dan Isrāf terhadap keputusan
pembelian melalui kedua mediator juga terbukti signifikan.
Implikasi dari temuan ini menegaskan bahwa Circle of Friends dan Flexing
berperan penting sebagai jalur pengaruh dalam hubungan antara FOMO dan Isrāf
dengan keputusan pembelian produk fashion imitasi. Hal ini menunjukkan kuatnya
pengaruh lingkungan sosial dan motivasi pencitraan diri dalam membentuk perilaku
konsumsi Generasi Z. Oleh karena itu, diperlukan upaya strategis dalam bentuk edukasi
konsumsi yang bijak serta penguatan regulasi terhadap peredaran produk imitasi untuk
mengurangi perilaku konsumtif yang tidak sehat di kalangan generasi muda.
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data menggunakan SEM-PLS dan pembahasan terhadap
pengaruh Flexing, FOMO, Isrāf, dan Circle of Friends terhadap Keputusan Pembelian
Produk Fashion Imitasi pada Generasi Z di Kabupaten Bone, serta merujuk pada model
struktural terbaik yang divalidasi, maka dapat ditarik kesimpulan yang menjawab
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Circle of Friends berpengaruh langsung terhadap keputusan pembelian produk
fashion imitasi. Hal ini menegaskan bahwa lingkungan pertemanan memainkan
peran kuat dalam membentuk preferensi dan perilaku konsumsi Generasi Z. Adanya
tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok dan keinginan untuk
diterima secara sosial mendorong individu untuk mengadopsi tren konsumsi yang
sama dengan teman sebayanya, termasuk dalam memilih produk imitasi. Selain itu,
Flexing juga terbukti berpengaruh langsung dan signifikan terhadap keputusan
pembelian produk fashion imitasi. Ini menunjukkan bahwa motivasi internal
Generasi Z untuk menampilkan citra diri tertentu, menunjukkan status sosial, atau
memamerkan gaya hidup merupakan pendorong kuat di balik keputusan pembelian
produk imitasi. Produk tiruan dilihat sebagai cara yang efektif dan lebih terjangkau
untuk mencapai tujuan pencitraan diri tersebut di hadapan lingkungan sosialnya.
2. FOMO berpengaruh signifikan terhadap Circle of Friends. Pengaruh ini dapat
dijelaskan sebagai kecenderungan individu yang mengalami FOMO untuk lebih
intens terhubung dengan lingkaran sosialnya. Mereka mengandalkan teman sebaya
sebagai sumber informasi utama mengenai tren terbaru dan sebagai tolok ukur
validasi sosial agar tidak merasa tertinggal. Isrāf juga ditemukan berpengaruh
signifikan terhadap Circle of Friends. Temuan ini mengindikasikan bahwa individu
dengan kecenderungan konsumtif berlebihan cenderung berada atau membentuk
lingkaran pertemanan dengan pola konsumsi yang serupa. Dalam kelompok seperti
ini, norma-norma konsumtif, termasuk pemborosan atau pembelian barang non-
esensial, dapat berkembang dan saling diperkuat antar anggota.
3. FOMO berpengaruh signifikan terhadap perilaku Flexing. Rasa takut ketinggalan
tren atau aktivitas sosial mendorong individu untuk secara aktif menampilkan citra
diri yang selalu up-to-date dan terlibat. Perilaku Flexing, seperti memamerkan
barang-barang (termasuk imitasi) di media sosial atau dalam interaksi langsung,
menjadi salah satu strategi untuk meredakan kecemasan FOMO dan menegaskan
eksistensi diri dalam lingkungan sosial. Isrāf juga terbukti berpengaruh signifikan
terhadap Flexing. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku konsumtif yang berlebihan
seringkali berjalan seiring dengan keinginan untuk memamerkan hasil konsumsi
tersebut. Gaya hidup yang boros dapat memicu dorongan untuk menampilkan
kemewahan atau status, sehingga perilaku Flexing menjadi konsekuensi logis atau
bahkan tujuan dari konsumsi berlebihan itu sendiri.
4. Isrāf memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap keputusan pembelian
produk fashion imitasi. Ini berarti bahwa kecenderungan untuk berperilaku boros
dan melakukan pembelian secara impulsif secara inheren mendorong individu untuk
membeli produk fashion imitasi, terlepas dari pengaruh perantara lainnya. Namun,
penelitian ini menemukan bahwa pengaruh langsung dari FOMO terhadap
keputusan pembelian produk fashion imitasi tidak terbukti signifikan secara
statistik. Temuan ini menyiratkan bahwa meskipun FOMO adalah fenomena
psikologis yang relevan, rasa takut ketinggalan tren saja tidak secara otomatis
diterjemahkan menjadi keputusan pembelian produk imitasi. Pengaruh FOMO
terhadap keputusan pembelian tampaknya memerlukan jalur tidak langsung melalui
faktor-faktor lain seperti Circle of Friends atau flexing.
5. Circle of Friends berfungsi sebagai mediator penting antara FOMO dan Isrāf
terhadap keputusan pembelian produk fashion imitasi. Ini berarti pengaruh dari rasa
takut ketinggalan (FOMO) dan perilaku konsumtif berlebihan (Isrāf) secara
signifikan disalurkan melalui dinamika dalam lingkaran pertemanan. Circle of
Friends menjadi wadah di mana kebutuhan validasi sosial akibat FOMO
diterjemahkan menjadi perilaku pembelian yang sesuai dengan norma kelompok,
sekaligus tempat di mana perilaku konsumtif Isrāf dapat dinormalisasi dan
diperkuat, yang pada akhirnya turut mendorong keputusan pembelian produk
imitasi.
6. Flexing berfungsi sebagai mediator krusial antara FOMO dan Isrāf terhadap
keputusan pembelian produk fashion imitasi. Ini menunjukkan bahwa pengaruh
FOMO dan Isrāf terhadap keputusan pembelian sebagian besar terjadi melalui
perilaku Flexing. FOMO mendorong individu untuk Flexing sebagai cara
menunjukkan kesesuaian dengan tren, dan produk imitasi memfasilitasi tindakan
ini. Sementara itu, Isrāf memicu Flexing sebagai ekspresi gaya hidup konsumtif,
dan produk imitasi kembali menjadi alat pendukung untuk menampilkan citra yang
diinginkan tersebut. Dengan demikian, Flexing merupakan mekanisme kunci yang
menghubungkan dorongan internal (FOMO, Isrāf) dengan tindakan pembelian
produk imitasi.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah dirumuskan, temuan-temuan kunci dari
penelitian ini menawarkan beberapa implikasi penting sebagai berikut:
1. Upaya untuk mengurangi konsumsi produk imitasi pada Generasi Z tidak cukup
efektif jika hanya menarget FOMO dan Isrāf secara langsung. Temuan ini
menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut tidak serta-merta memicu pembelian,
melainkan disalurkan melalui dua mediator utama: tekanan pertemanan dan
dorongan untuk memamerkan gaya hidup. Oleh karena itu, setiap intervensi baik
berupa program edukasi, kampanye sosial, maupun kebijakan public perlu lebih
cermat dalam memahami dan menarget dinamika sosial yang terjadi di antara
kelompok sebaya remaja. Pendekatan yang relevan secara sosial dan psikologis
menjadi kunci keberhasilan.
2. Temuan ini memberikan pesan kuat kepada pemilik merek asli untuk merancang
strategi pemasaran yang tidak hanya berorientasi pada kualitas produk atau harga
kompetitif, tetapi juga pada pembangunan komunitas pengguna. Dorongan untuk
menjadi bagian dari kelompok dan mencari pengakuan sosial dapat diarahkan secara
positif melalui penciptaan ruang interaksi, penyelenggaraan kegiatan komunitas,
serta pelibatan brand ambassador yang merepresentasikan nilai-nilai kelompok.
Strategi ini dapat meningkatkan loyalitas terhadap produk orisinal sekaligus
mengalihkan minat dari produk imitasi.
3. Bagi pendidik dan orang tua, hasil penelitian ini memperkuat urgensi untuk
membina ketahanan mental dan spiritual remaja. Kerentanan terhadap FOMO dan
Isrāf berkaitan erat dengan rendahnya kepercayaan diri dan pencarian validasi
eksternal. Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan konsep Joy of Missing
Out (JOMO) dan Qanā‘ah dalam pendidikan karakter. Keduanya dapat menjadi alat
untuk membentuk remaja yang lebih tangguh, puas dengan pilihan pribadinya, dan
tidak mudah terpengaruh oleh norma sosial konsumtif.
4. Tingginya konsumsi produk imitasi menuntut tanggapan serius dari pemerintah,
tidak hanya dalam bentuk penegakan hukum atas pelanggaran HAKI, tetapi juga
dalam bentuk kampanye edukatif multidimensi. Kampanye ini perlu menyampaikan
konsekuensi negatif dari produk tiruan baik dari sisi ekonomi, etika, kualitas,
maupun dampaknya terhadap industri kreatif dengan bahasa yang komunikatif,
interaktif, dan mudah dipahami oleh Generasi Z.
C. Saran
Berdasarkan implikasi yang telah diuraikan, berikut ini adalah saran utama yang
dapat dijadikan acuan bagi berbagai pihak, baik praktisi, pendidik, pembuat kebijakan,
maupun peneliti berikutnya:
1. Institusi pendidikan, keluarga, dan komunitas remaja disarankan untuk merancang
program edukasi yang menyeluruh, yang tidak hanya menekankan literasi finansial
dan digital, tetapi juga memperkuat nilai-nilai spiritual seperti Qanā‘ah, serta
konsep psikologis seperti JOMO. Program ini juga perlu membahas secara terbuka
pengaruh pertemanan dan budaya flexing terhadap keputusan konsumsi, melalui
pendekatan partisipatif seperti diskusi kelompok dan peer mentoring.
2. Pelaku bisnis, khususnya pemilik merek orisinal, disarankan untuk membangun
strategi pemasaran berbasis komunitas pengguna yang loyal. Pendekatan ini
mencakup pengembangan ruang interaksi antar konsumen (baik daring maupun
luring), penyelenggaraan acara komunitas, serta pemberdayaan brand ambassador
dari kalangan sebaya yang mampu merepresentasikan nilai dan gaya hidup yang
autentik.
3. Pemerintah perlu menggencarkan kampanye edukatif yang menyentuh berbagai
aspek dari konsumsi produk imitasi, termasuk risiko hukum, kerugian ekonomi,
kerusakan moral, dan dampaknya terhadap kreativitas nasional. Kampanye ini
hendaknya memanfaatkan media sosial dan influencer edukatif agar pesan dapat
diterima dengan efektif oleh generasi muda yang menjadi sasaran utama.
4. Penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan di berbagai konteks geografis
dan budaya guna menguji generalisasi temuan ini. Penggunaan pendekatan mixed
methods (gabungan kuantitatif dan kualitatif) dapat memberikan pemahaman yang
lebih mendalam. Model penelitian juga dapat diperluas dengan menambahkan
variabel seperti pengaruh influencer media sosial, kesadaran etis, serta risiko sosial.
Selain itu, penelitian longitudinal dan evaluasi efektivitas program intervensi dapat
digunakan untuk melihat perubahan perilaku dalam jangka waktu tertentu dan
menguji keberhasilan strategi edukasi atau kampanye sosial secara empiris.
Ketersediaan
| 601022023014 | 35/2025 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
35/2025
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2025
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Tesis EKIS
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
