Analisis Kerja Sama Bagi Hasil Penggarapan Jagung Dalam Perspektif Akad Mukhābarah (Studi pada Petani Jagung di Desa Ajangpulu Kec. Cina Kab. Bone)
Andi Sulis/602022021187 - Personal Name
Kerja sama bagi hasil dalam penggarapan lahan jagung merupakan praktik yang
umum dijumpai di Desa Ajangpulu, Kecamatan Cina, Kabupaten Bone. Sistem ini
dijalankan oleh pemilik lahan yang menyediakan tanah, sementara penggarap
bertanggung jawab atas seluruh biaya produksi dan perawatan tanaman. Pembagian
hasil panen disepakati sebesar 1/3 untuk pemilik lahan dan 2/3 untuk penggarap,
tanpa adanya kontrak tertulis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam,
observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun
pelaksanaan kerja sama dilakukan secara lisan dan tidak mencantumkan batas waktu
yang jelas, praktik tersebut sudah memenuhi rukun dan syarat akad mukhābarah
menurut fikih muamalah, yaitu adanya dua pihak yang berakad, objek yang jelas,
serta kesepakatan ijab qabul. Kendala yang muncul dalam praktik ini antara lain
fluktuasi harga jagung dan faktor cuaca, yang diselesaikan melalui musyawarah
bersama. Dalam perspektif ekonomi syariah, praktik kerja sama ini dianggap sah
kerena didasarkan pada prinsip keadilan dan kerelaan kedua belah pihak. Oleh karena
itu, perlu dilakukan edukasi terkait pentingnya perjanjian tertulis dan pemahaman
akad syariah, agar kerja sama ini semakin sesuai dengan prinsip keadilan,
transparansi, dan ketentuan syariah.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kerja sama bagi hasil penggarapan
jagung di Desa Ajangpulu dalam perspektif akad mukhābarah, maka dapat
disimpulkan:
1. Kerja sama dilakukan secara lisan tanpa dokumen dan saksi, dilandasi saling
percaya, kekerabatan, dan kebiasaan yang telah berlangsung lama.
Penggarap menanggung seluru biaya produksi, sedangkan pemilik lahan
hanya menyerahkan lahan untuk dikelola. Tidak ada batas waktu yang
ditentukan, dan kerja sama dapat berakhir sewaktu-waktu atas kesepakatan
bersama tanpa prosedur formal.
2. Hasil dibagi setelah dijual, dengan ketentuan 1/3 untuk pemilik lahan dan
2/3 untuk penggarap, setelah biaya produksi dikembalikan lebih dulu kepada
penggarap. Meskipun transparansi terhadap hasil penjualan belum
sepenuhnya diterapkan, dimana pemilik lahan hanya menerima bagian tanpa
rincian laporan, namun hal tersebut tidak menimbulkan konflik. Hal ini
disebabkan karena hubungan kerja samba didasari oleh rasa saling percaya
dan keterbukaan yang telah terbentuk sejak lama.
3. Rukun dan syarat mukhābarah secara substansi telah terpenuhi, dengan
pembagian hasil yang dilakukan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh
kedua belah pihak. Namun, dalam praktiknya belum terdapat dokumentasi
tertulis, batas waktu kerja sama yang jelas, maupun pelaporan hasil yang
transparan. Meskipun demikian, akad ini tetap dianggap sah secara fikih
78
karena dilandasi oleh asas kerelaan antara pihak yang bekerja sama serta
kejelasan peran dan kontribusi masing-masing yang sesuai tradisi setempat.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memberikan beberapa saran:
1. Bagi Masyarakat Desa Ajangpulu
Disarankan untuk membuat akad tertulis dalam setiap kerja sama
bagi hasil agar hak dan kewajiban masing-masing pihak lebih jelas dan
dapat menghindari perselisihan dikemudian hari. Selain itu, perlu adanya
kejelasan mengenai masa berlakunya akad.
2. Bagi Pemilik Lahan dan Penggarap
Disarankan agar kedua belah pihak memahami prinsip-prinsip
syariah dalam akad mukhābarah, terutama mengenai pentingnya kejelasan
dalam kesepakatan dan pembagian hasil yang adil.
3. Bagi Pemerintah Desa
Pemerintah Desa dapat mengadakan sosialisasi atau pelatihan
tentang fikih muamalah kepada masyarakat agar kerjasama yang
dilakukan lebih sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam dan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil.
umum dijumpai di Desa Ajangpulu, Kecamatan Cina, Kabupaten Bone. Sistem ini
dijalankan oleh pemilik lahan yang menyediakan tanah, sementara penggarap
bertanggung jawab atas seluruh biaya produksi dan perawatan tanaman. Pembagian
hasil panen disepakati sebesar 1/3 untuk pemilik lahan dan 2/3 untuk penggarap,
tanpa adanya kontrak tertulis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam,
observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun
pelaksanaan kerja sama dilakukan secara lisan dan tidak mencantumkan batas waktu
yang jelas, praktik tersebut sudah memenuhi rukun dan syarat akad mukhābarah
menurut fikih muamalah, yaitu adanya dua pihak yang berakad, objek yang jelas,
serta kesepakatan ijab qabul. Kendala yang muncul dalam praktik ini antara lain
fluktuasi harga jagung dan faktor cuaca, yang diselesaikan melalui musyawarah
bersama. Dalam perspektif ekonomi syariah, praktik kerja sama ini dianggap sah
kerena didasarkan pada prinsip keadilan dan kerelaan kedua belah pihak. Oleh karena
itu, perlu dilakukan edukasi terkait pentingnya perjanjian tertulis dan pemahaman
akad syariah, agar kerja sama ini semakin sesuai dengan prinsip keadilan,
transparansi, dan ketentuan syariah.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kerja sama bagi hasil penggarapan
jagung di Desa Ajangpulu dalam perspektif akad mukhābarah, maka dapat
disimpulkan:
1. Kerja sama dilakukan secara lisan tanpa dokumen dan saksi, dilandasi saling
percaya, kekerabatan, dan kebiasaan yang telah berlangsung lama.
Penggarap menanggung seluru biaya produksi, sedangkan pemilik lahan
hanya menyerahkan lahan untuk dikelola. Tidak ada batas waktu yang
ditentukan, dan kerja sama dapat berakhir sewaktu-waktu atas kesepakatan
bersama tanpa prosedur formal.
2. Hasil dibagi setelah dijual, dengan ketentuan 1/3 untuk pemilik lahan dan
2/3 untuk penggarap, setelah biaya produksi dikembalikan lebih dulu kepada
penggarap. Meskipun transparansi terhadap hasil penjualan belum
sepenuhnya diterapkan, dimana pemilik lahan hanya menerima bagian tanpa
rincian laporan, namun hal tersebut tidak menimbulkan konflik. Hal ini
disebabkan karena hubungan kerja samba didasari oleh rasa saling percaya
dan keterbukaan yang telah terbentuk sejak lama.
3. Rukun dan syarat mukhābarah secara substansi telah terpenuhi, dengan
pembagian hasil yang dilakukan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh
kedua belah pihak. Namun, dalam praktiknya belum terdapat dokumentasi
tertulis, batas waktu kerja sama yang jelas, maupun pelaporan hasil yang
transparan. Meskipun demikian, akad ini tetap dianggap sah secara fikih
78
karena dilandasi oleh asas kerelaan antara pihak yang bekerja sama serta
kejelasan peran dan kontribusi masing-masing yang sesuai tradisi setempat.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memberikan beberapa saran:
1. Bagi Masyarakat Desa Ajangpulu
Disarankan untuk membuat akad tertulis dalam setiap kerja sama
bagi hasil agar hak dan kewajiban masing-masing pihak lebih jelas dan
dapat menghindari perselisihan dikemudian hari. Selain itu, perlu adanya
kejelasan mengenai masa berlakunya akad.
2. Bagi Pemilik Lahan dan Penggarap
Disarankan agar kedua belah pihak memahami prinsip-prinsip
syariah dalam akad mukhābarah, terutama mengenai pentingnya kejelasan
dalam kesepakatan dan pembagian hasil yang adil.
3. Bagi Pemerintah Desa
Pemerintah Desa dapat mengadakan sosialisasi atau pelatihan
tentang fikih muamalah kepada masyarakat agar kerjasama yang
dilakukan lebih sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam dan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil.
Ketersediaan
| SFEBI20250128 | 128/2025 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
128/2025
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2025
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi FEBI
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
