Problematika Pemberian Wasiat Terhadap Ahli Waris Non Muslim Perspektif Putusan Mahkamah Agung (MA) dan Fikih
Isra Miranti/742302021095 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang problematika pemberian wasiat terhadap ahli
waris non muslim perspektif putusan Mahkamah Agung (MA) dan fikih.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana persamaan dan perbedaan
alasan putusan MA dan fikih mengenai pemberian wasiat terhadap ahli waris non
muslim serta solusi penyelesaian perbedaan alasan tersebut. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan alasan putusan MA dan fikih
mengenai pemberian wasiat terhadap ahli waris non muslim serta solusi penyelesaian
perbedaan alasan putusan MA dan fikih mengenai pemberian wasiat terhadap ahli
waris non muslim. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian pustaka dengan
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan konseptual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan alasan antara
Mahkamah Agung dan fikih dalam hal pemberian wasiat kepada ahli waris non
muslim, yaitu keduanya sama-sama memandang wasiat sebagai bentuk pemberian
sukarela (tabarru‘) yang bertujuan untuk menjaga keadilan, kemaslahatan, dan
silaturahmi antar anggota keluarga. Mahkamah Agung maupun fikih sama-sama
mengakui bahwa pemberian harta melalui wasiat tidak melanggar prinsip syariah
selama dilakukan secara sukarela dan tidak merugikan ahli waris sah. Adapun
perbedaan alasan terletak pada dasar hukum dan pendekatan yang digunakan. Fikih
berpijak pada teks nash yang menyatakan bahwa perbedaan agama (ikhtilāf al-dīn)
menjadi penghalang dalam waris, sehingga non muslim tidak berhak menerima
warisan. Namun, sebagian ulama kontemporer membuka peluang pemberian harta
melalui wasiat tabarru‘ dengan batas maksimal sepertiga dari harta peninggalan.
Sebaliknya, Mahkamah Agung melalui putusan, seperti Putusan No. 368 K/AG/1995,
No. 51 K/AG/1999, No. 16 K/AG/2010, dan No. 331 K/AG/2018, menggunakan
pendekatan kontekstual dengan menerapkan konsep wasiat wajibah bagi ahli waris
non muslim sebagai bentuk perlindungan hukum dan keadilan sosial di masyarakat
majemuk Indonesia.
Solusi penyelesaian perbedaan alasan antara pandangan Mahkamah Agung
dan fikih dapat ditempuh melalui pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah dengan
menitikberatkan pada nilai-nilai keadilan, kemaslahatan, dan toleransi antar umat
beragama. Selain itu, harmonisasi antara fikih dan hukum nasional dapat dilakukan
melalui revisi terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI), penguatan ijtihad hakim, dan
penerapan konsep wasiat wajibah sebagai jalan tengah yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariat tetapi tetap menjamin keadilan bagi semua pihak.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dari skripsi dengan judul “problematika
pemberian wasiat terhadap ahli waris non muslim perspektif Mahkamah Agung (MA)
dan fikih” dapat di berikan kesimpulan bahwa:
1.
Persamaan pandangan antara Mahkamah Agung (MA) dan fikih terletak pada
pengakuan bahwa wasiat merupakan bentuk pemberian sukarela (tabarru‘)
yang dapat diberikan kepada pihak di luar ahli waris yang sah. Mahkamah
Agung maupun fikih sama-sama mengakui bahwa wasiat dapat menjadi
instrumen keadilan dalam pembagian harta peninggalan, selama tidak
bertentangan dengan prinsip syariah. Dalam hal ini, pemberian wasiat dianggap
sebagai bentuk kebaikan sosial dan pemenuhan tanggung jawab moral bagi
pihak yang ditinggalkan.
2.
Perbedaan alasan hukum antara putusan Mahkamah Agung (MA) dan fikih
muncul karena perbedaan orientasi dan dasar pertimbangan. Dalam fikih klasik,
perbedaan agama (ikhtilāf al-dīn) menjadi penghalang waris (māni‘ al-irts),
sehingga seorang non muslim tidak dapat mewarisi dari pewaris muslim.
Pandangan ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad saw. yang menegaskan
bahwa orang muslim tidak dapat mewarisi dari non-muslim, begitu pula
sebaliknya. Namun, sebagian ulama kontemporer memberikan pandangan baru
dengan menggunakan pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan-tujuan hukum
Islam), yaitu dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan dan keadilan
sosial dalam masyarakat majemuk.
88
Sebaliknya, Mahkamah Agung dalam berbagai putusannya, seperti Putusan
Nomor 368 K/AG/1995, 51 K/AG/1999, 16 K/AG/2010, dan 331 K/AG/2018,
melakukan penafsiran progresif terhadap hukum waris Islam di Indonesia. MA
memberikan solusi hukum melalui mekanisme wasiat wajibah bagi ahli waris
non muslim sebagai bentuk perlindungan hak dan keadilan sosial. Pendekatan
ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung tidak hanya berpijak pada hukum
positif semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan
kemaslahatan umat.
3.
Solusi penyelesaian perbedaan antara pandangan Mahkamah Agung dan fikih
dapat ditempuh melalui pendekatan integratif, yaitu dengan memadukan prinsip
hukum Islam yang berlandaskan nash dengan kebutuhan sosial masyarakat
modern. Beberapa solusi yang dapat dilakukan antara lain:
a.
Menggunakan konsep wasiat wajibah sebagai alternatif yang tidak
bertentangan dengan syariat Islam namun tetap memenuhi rasa keadilan
bagi pihak non muslim
b. Melakukan revisi terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) agar lebih
adaptif terhadap realitas sosial masyarakat Indonesia yang plural
c.
Mendorong ijtihad kontekstual bagi para hakim dan ulama agar hukum
Islam senantiasa relevan dengan perkembangan zaman
d. Melakukan harmonisasi antara hukum positif dan hukum Islam agar tidak
terjadi pertentangan dalam praktik peradilan di Indonesia.
Dengan demikian, dalam hal ini menegaskan bahwa Mahkamah Agung telah
melakukan penemuan hukum (rechtvinding) yang bersifat progresif dan kontekstual
dengan tetap berlandaskan pada prinsip keadilan dan kemaslahatan. Pendekatan
Mahkamah Agung melalui konsep wasiat wajibah menjadi bentuk rekonstruksi
hukum Islam yang sesuai dengan semangat zaman dan kebutuhan masyarakat
Indonesia yang beragam agama. Sementara itu, fikih klasik tetap memberikan dasar
teologis yang kuat bagi ketentuan waris Islam, sehingga keduanya dapat saling
melengkapi.
Kesimpulan ini menunjukkan pentingnya sinergi antara hukum Islam dan
hukum positif di Indonesia agar tercipta sistem hukum yang tidak hanya adil secara
normatif tetapi juga maslahat secara sosial. Hukum Islam seharusnya mampu
memberikan solusi terhadap realitas yang kompleks, bukan justru menimbulkan
ketimpangan. Oleh karena itu, pembaruan hukum Islam melalui ijtihad kontemporer
dan penerapan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah merupakan langkah yang tepat untuk
menjaga keadilan, kemaslahatan, serta persaudaraan antarumat beragama di
Indonesia.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, peneliti menyadari
bahwa masih terdapat kekurangan di dalam proses penelitian ini. Untuk itu terdapat
beberapa saran untuk bahan pertimbangan dan sebagai penyempurnaan penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian yang sama. Adapun saran tersebut
yaitu:
1. Bagi masyarakat, sebagai keluarga sebelum membuat wasiat, dalami dulu
kerangka hukum formal (KHI) dan interpretasi hakim (MA), agar tidak ada
kesalahpahaman hukum saat pelaksanaan. Sehingga tidak ada terjadi
pertengkaran. Dan dalam pelaksanaan wasiat sebaiknya menyertakan klausul
persetujuan ahli waris Islam, jika semua setuju sehinggan wasiat bisa lebih kuat
di mata hukum.
2. Dianjurkan kepada umat Islam khususnya di Indonesia, agar melaksanakan
wasiat dalam hal ini wasiat kepada ahli waris, perlu mempertimbangkan pihak-
pihak yang mempunyai hak terhadap harta peninggalan. Hal ini bertujuan agar
ahli waris yang ditinggalkan merasa tidak dirugikan dan tidak saling iri.
3. Kepada pemerintah disarankan agar dapat membuat aturan atau
menyempurnakan aturan yang sudah ada secara lebih jelas dan terperinci
khususnya dalam mengatur Hukum Wasiat Wajibah sesuai dengan yang telah
disyariatkan oleh Islam sehingga hukum berwasiat kepada kerabat yang non
muslim memiliki legalitas hukum.
4. Kepada stakeholder atau pemangku kepentingan disarankan agar Pasal 209 ayat
(2) KHI ditafsirkan secara luas bahwa wasiat wajibah bukan hanya untuk orang
tua angkat dan anak angkat saja, melainkan juga diterapkan terhadap kerabat
yang berbeda agama.
5. Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat bermanfat tidak hanya bagi kalangan
akademisi, akan tetapi juga menjadi sumbangan pemikiran baru terhadap para
pembaca.
waris non muslim perspektif putusan Mahkamah Agung (MA) dan fikih.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana persamaan dan perbedaan
alasan putusan MA dan fikih mengenai pemberian wasiat terhadap ahli waris non
muslim serta solusi penyelesaian perbedaan alasan tersebut. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan alasan putusan MA dan fikih
mengenai pemberian wasiat terhadap ahli waris non muslim serta solusi penyelesaian
perbedaan alasan putusan MA dan fikih mengenai pemberian wasiat terhadap ahli
waris non muslim. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian pustaka dengan
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan konseptual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan alasan antara
Mahkamah Agung dan fikih dalam hal pemberian wasiat kepada ahli waris non
muslim, yaitu keduanya sama-sama memandang wasiat sebagai bentuk pemberian
sukarela (tabarru‘) yang bertujuan untuk menjaga keadilan, kemaslahatan, dan
silaturahmi antar anggota keluarga. Mahkamah Agung maupun fikih sama-sama
mengakui bahwa pemberian harta melalui wasiat tidak melanggar prinsip syariah
selama dilakukan secara sukarela dan tidak merugikan ahli waris sah. Adapun
perbedaan alasan terletak pada dasar hukum dan pendekatan yang digunakan. Fikih
berpijak pada teks nash yang menyatakan bahwa perbedaan agama (ikhtilāf al-dīn)
menjadi penghalang dalam waris, sehingga non muslim tidak berhak menerima
warisan. Namun, sebagian ulama kontemporer membuka peluang pemberian harta
melalui wasiat tabarru‘ dengan batas maksimal sepertiga dari harta peninggalan.
Sebaliknya, Mahkamah Agung melalui putusan, seperti Putusan No. 368 K/AG/1995,
No. 51 K/AG/1999, No. 16 K/AG/2010, dan No. 331 K/AG/2018, menggunakan
pendekatan kontekstual dengan menerapkan konsep wasiat wajibah bagi ahli waris
non muslim sebagai bentuk perlindungan hukum dan keadilan sosial di masyarakat
majemuk Indonesia.
Solusi penyelesaian perbedaan alasan antara pandangan Mahkamah Agung
dan fikih dapat ditempuh melalui pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah dengan
menitikberatkan pada nilai-nilai keadilan, kemaslahatan, dan toleransi antar umat
beragama. Selain itu, harmonisasi antara fikih dan hukum nasional dapat dilakukan
melalui revisi terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI), penguatan ijtihad hakim, dan
penerapan konsep wasiat wajibah sebagai jalan tengah yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariat tetapi tetap menjamin keadilan bagi semua pihak.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dari skripsi dengan judul “problematika
pemberian wasiat terhadap ahli waris non muslim perspektif Mahkamah Agung (MA)
dan fikih” dapat di berikan kesimpulan bahwa:
1.
Persamaan pandangan antara Mahkamah Agung (MA) dan fikih terletak pada
pengakuan bahwa wasiat merupakan bentuk pemberian sukarela (tabarru‘)
yang dapat diberikan kepada pihak di luar ahli waris yang sah. Mahkamah
Agung maupun fikih sama-sama mengakui bahwa wasiat dapat menjadi
instrumen keadilan dalam pembagian harta peninggalan, selama tidak
bertentangan dengan prinsip syariah. Dalam hal ini, pemberian wasiat dianggap
sebagai bentuk kebaikan sosial dan pemenuhan tanggung jawab moral bagi
pihak yang ditinggalkan.
2.
Perbedaan alasan hukum antara putusan Mahkamah Agung (MA) dan fikih
muncul karena perbedaan orientasi dan dasar pertimbangan. Dalam fikih klasik,
perbedaan agama (ikhtilāf al-dīn) menjadi penghalang waris (māni‘ al-irts),
sehingga seorang non muslim tidak dapat mewarisi dari pewaris muslim.
Pandangan ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad saw. yang menegaskan
bahwa orang muslim tidak dapat mewarisi dari non-muslim, begitu pula
sebaliknya. Namun, sebagian ulama kontemporer memberikan pandangan baru
dengan menggunakan pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan-tujuan hukum
Islam), yaitu dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan dan keadilan
sosial dalam masyarakat majemuk.
88
Sebaliknya, Mahkamah Agung dalam berbagai putusannya, seperti Putusan
Nomor 368 K/AG/1995, 51 K/AG/1999, 16 K/AG/2010, dan 331 K/AG/2018,
melakukan penafsiran progresif terhadap hukum waris Islam di Indonesia. MA
memberikan solusi hukum melalui mekanisme wasiat wajibah bagi ahli waris
non muslim sebagai bentuk perlindungan hak dan keadilan sosial. Pendekatan
ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung tidak hanya berpijak pada hukum
positif semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan
kemaslahatan umat.
3.
Solusi penyelesaian perbedaan antara pandangan Mahkamah Agung dan fikih
dapat ditempuh melalui pendekatan integratif, yaitu dengan memadukan prinsip
hukum Islam yang berlandaskan nash dengan kebutuhan sosial masyarakat
modern. Beberapa solusi yang dapat dilakukan antara lain:
a.
Menggunakan konsep wasiat wajibah sebagai alternatif yang tidak
bertentangan dengan syariat Islam namun tetap memenuhi rasa keadilan
bagi pihak non muslim
b. Melakukan revisi terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) agar lebih
adaptif terhadap realitas sosial masyarakat Indonesia yang plural
c.
Mendorong ijtihad kontekstual bagi para hakim dan ulama agar hukum
Islam senantiasa relevan dengan perkembangan zaman
d. Melakukan harmonisasi antara hukum positif dan hukum Islam agar tidak
terjadi pertentangan dalam praktik peradilan di Indonesia.
Dengan demikian, dalam hal ini menegaskan bahwa Mahkamah Agung telah
melakukan penemuan hukum (rechtvinding) yang bersifat progresif dan kontekstual
dengan tetap berlandaskan pada prinsip keadilan dan kemaslahatan. Pendekatan
Mahkamah Agung melalui konsep wasiat wajibah menjadi bentuk rekonstruksi
hukum Islam yang sesuai dengan semangat zaman dan kebutuhan masyarakat
Indonesia yang beragam agama. Sementara itu, fikih klasik tetap memberikan dasar
teologis yang kuat bagi ketentuan waris Islam, sehingga keduanya dapat saling
melengkapi.
Kesimpulan ini menunjukkan pentingnya sinergi antara hukum Islam dan
hukum positif di Indonesia agar tercipta sistem hukum yang tidak hanya adil secara
normatif tetapi juga maslahat secara sosial. Hukum Islam seharusnya mampu
memberikan solusi terhadap realitas yang kompleks, bukan justru menimbulkan
ketimpangan. Oleh karena itu, pembaruan hukum Islam melalui ijtihad kontemporer
dan penerapan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah merupakan langkah yang tepat untuk
menjaga keadilan, kemaslahatan, serta persaudaraan antarumat beragama di
Indonesia.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, peneliti menyadari
bahwa masih terdapat kekurangan di dalam proses penelitian ini. Untuk itu terdapat
beberapa saran untuk bahan pertimbangan dan sebagai penyempurnaan penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian yang sama. Adapun saran tersebut
yaitu:
1. Bagi masyarakat, sebagai keluarga sebelum membuat wasiat, dalami dulu
kerangka hukum formal (KHI) dan interpretasi hakim (MA), agar tidak ada
kesalahpahaman hukum saat pelaksanaan. Sehingga tidak ada terjadi
pertengkaran. Dan dalam pelaksanaan wasiat sebaiknya menyertakan klausul
persetujuan ahli waris Islam, jika semua setuju sehinggan wasiat bisa lebih kuat
di mata hukum.
2. Dianjurkan kepada umat Islam khususnya di Indonesia, agar melaksanakan
wasiat dalam hal ini wasiat kepada ahli waris, perlu mempertimbangkan pihak-
pihak yang mempunyai hak terhadap harta peninggalan. Hal ini bertujuan agar
ahli waris yang ditinggalkan merasa tidak dirugikan dan tidak saling iri.
3. Kepada pemerintah disarankan agar dapat membuat aturan atau
menyempurnakan aturan yang sudah ada secara lebih jelas dan terperinci
khususnya dalam mengatur Hukum Wasiat Wajibah sesuai dengan yang telah
disyariatkan oleh Islam sehingga hukum berwasiat kepada kerabat yang non
muslim memiliki legalitas hukum.
4. Kepada stakeholder atau pemangku kepentingan disarankan agar Pasal 209 ayat
(2) KHI ditafsirkan secara luas bahwa wasiat wajibah bukan hanya untuk orang
tua angkat dan anak angkat saja, melainkan juga diterapkan terhadap kerabat
yang berbeda agama.
5. Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat bermanfat tidak hanya bagi kalangan
akademisi, akan tetapi juga menjadi sumbangan pemikiran baru terhadap para
pembaca.
Ketersediaan
| SSYA20250245 | 245/2025 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
245/2025
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2025
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
