Efektivitas Penerapan Kuota 30% Keterwakilan Perempuan di Parlemen Tahun 2024 di Kabupaten Bone
Rahayu Surya Putri/742352021175 - Personal Name
Skripsi ini membahas mengenai efektivitas penetapan kuota 30% keterwakilan
perempuan di parlemen tahun 2024 di Kabupaten Bone. Permasalahan dalam penelitian
ini adalah efektivitas penerapan kuota 30% keterwakilan perempuan tahun 2024 di
parlemen Kabupaten Bone dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan efektivitas
keterwakilan perempuan di parlemen tahun 2024 di Kabupaten Bone. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui efektivitas penerapan kuota 30% keterwakilan perempuan tahun
2024 di parlemen Kabupaten Bone dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
efektivitas keterwakilan perempuan di parlemen tahun 2024 di Kabupaten Bone.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (fied research) dengan pendekatan
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Kebijakan affirmative action ini telah
memiliki landasan hukum yang kuat melalui berbagai instrumen hukum nasional
seperti UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik, dan PKPU No. 10 Tahun 2023, serta telah diterapkan secara administratif
dengan baik oleh 15 partai politik peserta pemilu yang rata-rata memenuhi persyaratan
kuota 30% dalam pencalonan, namun efektivitas implementasinya masih belum
optimal. Meskipun terdapat peningkatan keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten
Bone dengan terpilihnya 6 perempuan dari 45 kursi pada periode 2024-2029, angka ini
masih jauh dari target kuota 30% keterwakilan perempuan. Selain itu, kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan ketetapan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen
Kabupaten Bone, meliputi budaya patriarki yang kuat, stereotip gender, serta
kurangnya dukungan dan akses bagi perempuan, yang semuanya menghambat
partisipasi aktif mereka dalam politik.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan, maka peneliti
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebijakan affirmative action memiliki landasan hukum yang kuat, yaitu UU
No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik, dan PKPU No. 10 Tahun 2023. Kebijakan ini telah diterapkan
dengan baik oleh 15 partai politik peserta pemilu, yang rata-rata memenuhi
kuota 30% dalam pencalonan. Namun, efektivitasnya masih belum optimal.
Hasil pemilu menunjukkan hanya 6 perempuan terpilih dari 45 kursi DPRD
Kabupaten Bone (sekitar 13,3%), meskipun meningkat dari 4 orang
sebelumnya, tetapi masih jauh dari target 30%. Ketidakefektifan ini disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti budaya patriarki yang kuat di masyarakat Bugis,
keterbatasan akses finansial dan relasi politik, kurangnya kepercayaan diri,
minimnya dukungan keluarga dan masyarakat, serta belum optimalnya sistem
zipper dalam penempatan calon. Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan
kuota 30% keterwakilan perempuan, diperlukan reformasi internal partai politik
dalam rekrutmen kaderisasi perempuan, dan dukungan melalui kolaborasi
antara pemerintah, partai politik, dan organisasi masyarakat sipil.
2. Kendala yang dihadapi adalah pengaruh budaya patriarki yang kuat di
masyarakat Bugis Bone, keterbatasan akses pendidikan, dukungan finansial,
jaringan sosial yang lemah, dan kurangnya rasa percaya diri perempuan untuk
terlibat dalam politik juga berperan. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama
antara pemerintah, partai politik, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah
melalui kampanye kesadaran, sosialisasi, program mentoring, dan edukasi
untuk mengubah pola pikir masyarakat dan membangun kepercayaan diri
perempuan agar dapat berpartisipasi aktif dalam politik, Sehingga menciptakan
lingkungan politik yang lebih inklusif dan responsif gender, sehingga
kesetaraan gender dalam politik dapat terwujud secara substantif, bukan hanya
sebagai formalitas pemenuhan administrasi.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti memberikan saran sebagai
berikut:
1. Diperlukan kerjasama sinergis antara pemerintah, partai politik, masyarakat,
dan organisasi non-pemerintah melalui kampanye kesadaran yang masif
mengenai pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik, dan edukasi
untuk mengubah pola pikir masyarakat serta membangun kepercayaan diri
perempuan agar dapat berpartisipasi aktif dalam politik sebagai langkah menuju
masyarakat yang lebih adil dan setara.
2. Pemerintah harus memperkuat regulasi terkait kuota keterwakilan perempuan
dengan menambahkan sanksi yang lebih tegas bagi partai politik yang tidak
memenuhi ketentuan. Hal ini diharapkan dapat mendorong partai politik untuk
lebih serius dalam merekrut dan mengusung calon perempuan.
perempuan di parlemen tahun 2024 di Kabupaten Bone. Permasalahan dalam penelitian
ini adalah efektivitas penerapan kuota 30% keterwakilan perempuan tahun 2024 di
parlemen Kabupaten Bone dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan efektivitas
keterwakilan perempuan di parlemen tahun 2024 di Kabupaten Bone. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui efektivitas penerapan kuota 30% keterwakilan perempuan tahun
2024 di parlemen Kabupaten Bone dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
efektivitas keterwakilan perempuan di parlemen tahun 2024 di Kabupaten Bone.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (fied research) dengan pendekatan
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Kebijakan affirmative action ini telah
memiliki landasan hukum yang kuat melalui berbagai instrumen hukum nasional
seperti UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik, dan PKPU No. 10 Tahun 2023, serta telah diterapkan secara administratif
dengan baik oleh 15 partai politik peserta pemilu yang rata-rata memenuhi persyaratan
kuota 30% dalam pencalonan, namun efektivitas implementasinya masih belum
optimal. Meskipun terdapat peningkatan keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten
Bone dengan terpilihnya 6 perempuan dari 45 kursi pada periode 2024-2029, angka ini
masih jauh dari target kuota 30% keterwakilan perempuan. Selain itu, kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan ketetapan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen
Kabupaten Bone, meliputi budaya patriarki yang kuat, stereotip gender, serta
kurangnya dukungan dan akses bagi perempuan, yang semuanya menghambat
partisipasi aktif mereka dalam politik.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan, maka peneliti
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebijakan affirmative action memiliki landasan hukum yang kuat, yaitu UU
No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik, dan PKPU No. 10 Tahun 2023. Kebijakan ini telah diterapkan
dengan baik oleh 15 partai politik peserta pemilu, yang rata-rata memenuhi
kuota 30% dalam pencalonan. Namun, efektivitasnya masih belum optimal.
Hasil pemilu menunjukkan hanya 6 perempuan terpilih dari 45 kursi DPRD
Kabupaten Bone (sekitar 13,3%), meskipun meningkat dari 4 orang
sebelumnya, tetapi masih jauh dari target 30%. Ketidakefektifan ini disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti budaya patriarki yang kuat di masyarakat Bugis,
keterbatasan akses finansial dan relasi politik, kurangnya kepercayaan diri,
minimnya dukungan keluarga dan masyarakat, serta belum optimalnya sistem
zipper dalam penempatan calon. Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan
kuota 30% keterwakilan perempuan, diperlukan reformasi internal partai politik
dalam rekrutmen kaderisasi perempuan, dan dukungan melalui kolaborasi
antara pemerintah, partai politik, dan organisasi masyarakat sipil.
2. Kendala yang dihadapi adalah pengaruh budaya patriarki yang kuat di
masyarakat Bugis Bone, keterbatasan akses pendidikan, dukungan finansial,
jaringan sosial yang lemah, dan kurangnya rasa percaya diri perempuan untuk
terlibat dalam politik juga berperan. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama
antara pemerintah, partai politik, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah
melalui kampanye kesadaran, sosialisasi, program mentoring, dan edukasi
untuk mengubah pola pikir masyarakat dan membangun kepercayaan diri
perempuan agar dapat berpartisipasi aktif dalam politik, Sehingga menciptakan
lingkungan politik yang lebih inklusif dan responsif gender, sehingga
kesetaraan gender dalam politik dapat terwujud secara substantif, bukan hanya
sebagai formalitas pemenuhan administrasi.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti memberikan saran sebagai
berikut:
1. Diperlukan kerjasama sinergis antara pemerintah, partai politik, masyarakat,
dan organisasi non-pemerintah melalui kampanye kesadaran yang masif
mengenai pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik, dan edukasi
untuk mengubah pola pikir masyarakat serta membangun kepercayaan diri
perempuan agar dapat berpartisipasi aktif dalam politik sebagai langkah menuju
masyarakat yang lebih adil dan setara.
2. Pemerintah harus memperkuat regulasi terkait kuota keterwakilan perempuan
dengan menambahkan sanksi yang lebih tegas bagi partai politik yang tidak
memenuhi ketentuan. Hal ini diharapkan dapat mendorong partai politik untuk
lebih serius dalam merekrut dan mengusung calon perempuan.
Ketersediaan
| SSYA20250160 | 160/2025 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
160/2025
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2025
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
