Implikasi Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah ditinjau dari Perspektif Hukum Positif dan Siyasah Syar’iyyah
Hasmiyati/742352021081 - Personal Name
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang membatalkan ketentuan ambang batas minimal
pencalonan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan (3) UndangUndang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Fokus kajian ini menitikberatkan pada
peninjauan dari perspektif hukum positif dan siyasah syar’iyyah, guna melihat sejauh
mana putusan tersebut mempengaruhi mekanisme pencalonan dan dinamika
ketatanegaraan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan ini membuka ruang pencalonan yang lebih
inklusif dan kompetitif, sejalan dengan teori kedaulatan rakyat Jean Jacques Rousseau
yang menempatkan kehendak umum di atas dominasi elit politik. Dalam bingkai teori
politik hukum Mochtar Kusumaatmadja, perubahan ini merepresentasikan hukum sebagai
instrumen rekayasa sosial yang adaptif terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat.
Namun secara hukum positif, ketiadaan pembaruan norma dalam Undang-Undang
Pilkada pasca putusan tersebut berpotensi menimbulkan kekosongan hukum dan tafsir
yang beragam dalam pelaksanaannya.
Lebih jauh, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan ini menunjukkan
kecenderungan bergesernya peran dari negatif legislator menjadi positif legislator, karena
mencabut norma tanpa legislasi lanjutan, yang mengindikasikan dinamika baru dalam
sistem ketatanegaraan. Dari sudut pandang siyasah syar’iyyah, karena persoalan ini tidak
secara eksplisit diatur dalam nash, maka prinsip musyawarah, keadilan (al-‘adalah), dan
kemaslahatan (mashlahah) menjadi dasar penilaian. Sebagaimana dijelaskan oleh Yusuf
al-Qaradawi, aspek siyasah memungkinkan adanya fleksibilitas dalam menetapkan
kebijakan publik selama tidak bertentangan dengan maqashid syariah dan tetap menjaga
maslahat umat.
Implikasi dari penelitian ini adalah pentingnya penyusunan regulasi turunan yang
mengatur secara rinci pasca-putusan Mahkamah Konstitusi untuk menghindari
kekosongan hukum. Di samping itu, perlu diperkuatnya partisipasi politik masyarakat
sebagai manifestasi keadilan elektoral dalam sistem demokrasi yang selaras dengan nilainilai konstitusi dan prinsip siyasah syar’iyyah. Untuk menghindari perdebatan yang
berkepanjangan, kajian akademis mendalam dari tokoh-tokoh fikih siyasah diperlukan
sebagai landasan normatif yang kokoh dan kontekstual.
A. Simpulan
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 merupakan
respons atas permohonan uji materi oleh Partai Buruh dan Partai Gelora
terhadap Pasal 40 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang dinilai
bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi seperti kedaulatan
rakyat, kepastian hukum, dan keadilan dalam kontestasi politik.
Ketentuan tersebut dianggap merugikan secara konstitusional karena
membatasi hak partai politik yang telah memperoleh suara sah namun
belum mendapatkan kursi DPRD untuk mengusung calon kepala
daerah, sehingga menimbulkan diskriminasi politik dan ketidakpastian
hukum yang inkonsisten dengan prinsip negara hukum dan demokrasi
yang dijamin dalam UUD 1945.
2. Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dalam perspektif siyasah
syar’iyyah mencerminkan prinsip al-maslahah demi keadilan,
persamaan, dan keterwakilan. Dengan menghapus ambang batas
pencalonan berdasarkan kursi, partai tanpa kursi tapi bersuara
signifikan kini punya peluang mencalonkan kepala daerah. Dalam
kerangka maqashid syariah, hal ini memenuhi tiga tingkat
kemaslahatan: al-dharuriyat (melindungi hak politik rakyat), alhajiyyat (mempermudah akses), dan al-tahsiniyat (menjaga etika
demokrasi). Nilai al-‘adl (keadilan) dan musawah (persamaan)
ditegaskan, sesuai QS. An-Nahl: 90 yang memerintahkan berlaku adil.
Dengan demikian, putusan ini tidak hanya konstitusional secara hukum
positif, tetapi juga sesuai nilai-nilai Islam dalam mewujudkan
pemerintahan yang adil dan inklusif.
B. Saran
1. Meskipun Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 telah menyatakan
sebagian norma dalam UU Pilkada inkonstitusional bersyarat, namun
secara formal norma tersebut tetap berlaku hingga secara resmi diubah
oleh pembentuk undang-undang; padahal secara fungsional, norma
tersebut telah kehilangan daya gunanya (efficacy). Oleh karena itu,
revisi terhadap UU Pilkada perlu segera dilakukan untuk
menyesuaikan dengan putusan MK tersebut. Selain itu, penting adanya
kesepakatan bahwa perubahan substansial maupun prosedural dalam
sistem pemilu tidak dilakukan menjelang pelaksanaan, tetapi jauh hari
sebelumnya, agar seluruh pihak, baik penyelenggara, peserta, maupun
pemilih, dapat beradaptasi dengan aturan yang jelas, pasti, dan tidak
berubah-ubah demi menjaga legitimasi dan kualitas demokrasi.
2. Dalam kerangka siyāsah syar‘iyyah, pemangku kepentingan politik,
termasuk partai politik dan penyelenggara pemilu, perlu membangun
budaya politik yang berbasis pada prinsip amanah (tanggung
jawab), ‘adālah (keadilan), dan mas’ūliyyah (akuntabilitas). Putusan
MK ini semestinya dimaknai tidak hanya sebagai koreksi hukum,
tetapi sebagai momentum transformatif untuk menguatkan etika
partisipasi politik yang adil dan inklusif. Maka, dibutuhkan
internalisasi nilai-nilai etik Islam dalam proses rekrutmen politik,
seperti memastikan calon yang diusung memiliki integritas, rekam
jejak yang bersih, dan komitmen terhadap pelayanan publik. Dengan
begitu, proses demokrasi tidak sekadar prosedural, tetapi juga
mencerminkan cita-cita maqāṣid al-syarī‘ah dalam mewujudkan
kepemimpinan yang adil, maslahat, dan terpercaya.
Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang membatalkan ketentuan ambang batas minimal
pencalonan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan (3) UndangUndang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Fokus kajian ini menitikberatkan pada
peninjauan dari perspektif hukum positif dan siyasah syar’iyyah, guna melihat sejauh
mana putusan tersebut mempengaruhi mekanisme pencalonan dan dinamika
ketatanegaraan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan ini membuka ruang pencalonan yang lebih
inklusif dan kompetitif, sejalan dengan teori kedaulatan rakyat Jean Jacques Rousseau
yang menempatkan kehendak umum di atas dominasi elit politik. Dalam bingkai teori
politik hukum Mochtar Kusumaatmadja, perubahan ini merepresentasikan hukum sebagai
instrumen rekayasa sosial yang adaptif terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat.
Namun secara hukum positif, ketiadaan pembaruan norma dalam Undang-Undang
Pilkada pasca putusan tersebut berpotensi menimbulkan kekosongan hukum dan tafsir
yang beragam dalam pelaksanaannya.
Lebih jauh, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan ini menunjukkan
kecenderungan bergesernya peran dari negatif legislator menjadi positif legislator, karena
mencabut norma tanpa legislasi lanjutan, yang mengindikasikan dinamika baru dalam
sistem ketatanegaraan. Dari sudut pandang siyasah syar’iyyah, karena persoalan ini tidak
secara eksplisit diatur dalam nash, maka prinsip musyawarah, keadilan (al-‘adalah), dan
kemaslahatan (mashlahah) menjadi dasar penilaian. Sebagaimana dijelaskan oleh Yusuf
al-Qaradawi, aspek siyasah memungkinkan adanya fleksibilitas dalam menetapkan
kebijakan publik selama tidak bertentangan dengan maqashid syariah dan tetap menjaga
maslahat umat.
Implikasi dari penelitian ini adalah pentingnya penyusunan regulasi turunan yang
mengatur secara rinci pasca-putusan Mahkamah Konstitusi untuk menghindari
kekosongan hukum. Di samping itu, perlu diperkuatnya partisipasi politik masyarakat
sebagai manifestasi keadilan elektoral dalam sistem demokrasi yang selaras dengan nilainilai konstitusi dan prinsip siyasah syar’iyyah. Untuk menghindari perdebatan yang
berkepanjangan, kajian akademis mendalam dari tokoh-tokoh fikih siyasah diperlukan
sebagai landasan normatif yang kokoh dan kontekstual.
A. Simpulan
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 merupakan
respons atas permohonan uji materi oleh Partai Buruh dan Partai Gelora
terhadap Pasal 40 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang dinilai
bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi seperti kedaulatan
rakyat, kepastian hukum, dan keadilan dalam kontestasi politik.
Ketentuan tersebut dianggap merugikan secara konstitusional karena
membatasi hak partai politik yang telah memperoleh suara sah namun
belum mendapatkan kursi DPRD untuk mengusung calon kepala
daerah, sehingga menimbulkan diskriminasi politik dan ketidakpastian
hukum yang inkonsisten dengan prinsip negara hukum dan demokrasi
yang dijamin dalam UUD 1945.
2. Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dalam perspektif siyasah
syar’iyyah mencerminkan prinsip al-maslahah demi keadilan,
persamaan, dan keterwakilan. Dengan menghapus ambang batas
pencalonan berdasarkan kursi, partai tanpa kursi tapi bersuara
signifikan kini punya peluang mencalonkan kepala daerah. Dalam
kerangka maqashid syariah, hal ini memenuhi tiga tingkat
kemaslahatan: al-dharuriyat (melindungi hak politik rakyat), alhajiyyat (mempermudah akses), dan al-tahsiniyat (menjaga etika
demokrasi). Nilai al-‘adl (keadilan) dan musawah (persamaan)
ditegaskan, sesuai QS. An-Nahl: 90 yang memerintahkan berlaku adil.
Dengan demikian, putusan ini tidak hanya konstitusional secara hukum
positif, tetapi juga sesuai nilai-nilai Islam dalam mewujudkan
pemerintahan yang adil dan inklusif.
B. Saran
1. Meskipun Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 telah menyatakan
sebagian norma dalam UU Pilkada inkonstitusional bersyarat, namun
secara formal norma tersebut tetap berlaku hingga secara resmi diubah
oleh pembentuk undang-undang; padahal secara fungsional, norma
tersebut telah kehilangan daya gunanya (efficacy). Oleh karena itu,
revisi terhadap UU Pilkada perlu segera dilakukan untuk
menyesuaikan dengan putusan MK tersebut. Selain itu, penting adanya
kesepakatan bahwa perubahan substansial maupun prosedural dalam
sistem pemilu tidak dilakukan menjelang pelaksanaan, tetapi jauh hari
sebelumnya, agar seluruh pihak, baik penyelenggara, peserta, maupun
pemilih, dapat beradaptasi dengan aturan yang jelas, pasti, dan tidak
berubah-ubah demi menjaga legitimasi dan kualitas demokrasi.
2. Dalam kerangka siyāsah syar‘iyyah, pemangku kepentingan politik,
termasuk partai politik dan penyelenggara pemilu, perlu membangun
budaya politik yang berbasis pada prinsip amanah (tanggung
jawab), ‘adālah (keadilan), dan mas’ūliyyah (akuntabilitas). Putusan
MK ini semestinya dimaknai tidak hanya sebagai koreksi hukum,
tetapi sebagai momentum transformatif untuk menguatkan etika
partisipasi politik yang adil dan inklusif. Maka, dibutuhkan
internalisasi nilai-nilai etik Islam dalam proses rekrutmen politik,
seperti memastikan calon yang diusung memiliki integritas, rekam
jejak yang bersih, dan komitmen terhadap pelayanan publik. Dengan
begitu, proses demokrasi tidak sekadar prosedural, tetapi juga
mencerminkan cita-cita maqāṣid al-syarī‘ah dalam mewujudkan
kepemimpinan yang adil, maslahat, dan terpercaya.
Ketersediaan
| SSYA20250103 | 103/2025 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
103/2025
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2025
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
