Penerapan Asas Retroaktif Dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia Perspektif Hukum Positif dan Maqashid Syar'iah
Sukmawati/01.18.4018 - Personal Name
Skripsi ini membahas penerapan asas retroaktif dalam kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, dengan perspektif hukum positif dan maqashid
syar'iah. Penelitian ini mengidentifikasi tiga permasalahan utama, yaitu pertama,
penerapan asas retroaktif dalam Undang-Undang Pengadilan HAM yang dianggap
bertentangan dengan asas legalitas dalam UUD 1945; kedua, perspektif hukum positif
dan maqashid syar'iyah terhadap penerapan asas retroaktif dalam kasus pelanggaran
HAM; dan ketiga, tantangan atau konflik antara asas legalitas dan retroaktivitas dalam
konteks pelanggaran HAM. Penelitian ini bertujuan untuk menyinkronkan penerapan
asas retroaktif dengan hukum positif dan maqashid syar'iyah dalam upaya menegakkan
keadilan. Metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research)
dengan pendekatan yuridis normatif dan teologis normatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Penerapan asas retroaktif dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bertujuan
memastikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat, meskipun bertentangan
dengan asas legalitas. Dalam hukum positif, asas ini dipandang sebagai pengecualian
yang perlu diterapkan dengan hati-hati untuk menghindari penyalahgunaan. Sementara
itu, dari perspektif maqashid syar'iyah, asas retroaktif dibenarkan untuk menegakkan
keadilan dan melindungi hak asasi manusia. Penerapan asas ini pada kasus-kasus
seperti Tanjung Priok dan Timor Timur penting untuk memberikan keadilan, asalkan
dilakukan dengan seimbang dan menjaga hak dasar pelaku dan korban. Konflik antara
asas legalitas dan retroaktivitas dalam pelanggaran HAM berat terletak pada kebutuhan
menegakkan keadilan bagi korban tanpa mengorbankan kepastian hukum dan risiko
penyalahgunaan kekuasaan.
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, adapun kesimpulan pada Skripsi ini, yaitu:
1. Penerapan asas retroaktif dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM bertujuan menghadirkan keadilan atas pelanggaran HAM berat seperti
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan
kewajiban internasional Indonesia, seperti Statuta Roma 1998. Asas ini
merupakan pengecualian atas asas legalitas demi keadilan substantif, dengan
syarat penerapannya ketat dan hanya untuk kejahatan yang diakui secara
universal sebagai pelanggaran berat.
2. Penerapan asas retroaktif dalam pelanggaran HAM dapat dilihat dari dua
perspektif. Dalam hukum positif, Asas retroaktif hanya diterapkan pada
kejahatan luar biasa yang diakui secara universal, seperti genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat memberikan keadilan substantif
bagi korban pelanggaran HAM berat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum
yang mendasari. Pengadilan HAM harus transparan dan profesional, dengan
memastikan asas retroaktif digunakan untuk menegakkan keadilan, bukan
untuk tujuan politik. Namun, dalam maqashid syar'iyah, asas retroaktif
dibenarkan jika bertujuan menegakkan keadilan dan melindungi hak asasi
manusia. Dalam perspektif maqashid syar'iyah, asas retroaktif dapat diterima
jika digunakan untuk mencapai keadilan dan menghindari kerusakan yang lebih
besar.
3. Penerapan asas retroaktif dalam kasus pelanggaran HAM berat seperti tragedi
Tanjung Priok dan Timor Timur bertujuan memastikan keadilan bagi korban,
meskipun berpotensi bertentangan dengan asas legalitas. Asas ini memberi
harapan keadilan bagi korban, terutama untuk kejahatan sebelum hukum yang
relevan berlaku, tetapi juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan
risiko penyalahgunaan. Oleh karena itu, penerapannya harus seimbang,
memperhatikan keadilan sosial, maqashid syar'iyah, dan hak-hak pelaku serta
korban. Hal ini penting untuk menegakkan HAM dengan tetap menjaga
keseimbangan hukum dan keadilan.
B. Saran
1. penting untuk terus mengkaji dan mengembangkan pemahaman tentang
penerapan asas retroaktif dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
dengan pendekatan yang lebih holistik. Dalam penelitian lebih lanjut, para
akademisi dapat mengeksplorasi integrasi antara prinsip-prinsip hukum positif
dan maqashid syar'iyah untuk menghasilkan solusi yang lebih seimbang dalam
menegakkan keadilan, tanpa mengabaikan prinsip kepastian hukum yang
menjadi dasar dalam sistem hukum nasional. Pendekatan interdisipliner yang
melibatkan studi hukum internasional, hukum pidana, dan hukum Islam dapat
memberikan wawasan yang lebih mendalam untuk mengatasi tantangan yang
dihadapi dalam penerapan asas retroaktif.
2. pemahaman tentang penerapan asas retroaktif dalam kasus pelanggaran HAM
perlu diperluas, terutama terkait dengan perlindungan hak asasi manusia dan
pentingnya keadilan sosial. Masyarakat diharapkan dapat memahami bahwa
penerapan asas retroaktif, meskipun kontroversial, dapat menjadi salah satu
cara untuk mengatasi kejahatan HAM yang tidak dapat dibiarkan tanpa
hukuman, terutama dalam konteks keadilan bagi korban. Selain itu, masyarakat
perlu mendukung sistem hukum yang adil dan transparan, serta aktif terlibat
dalam diskursus hukum yang memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan sosial, agar hukum dapat berfungsi sebagai instrumen yang
melindungi dan memajukan kesejahteraan bersama.
3. Pembuat kebijakan perlu memperkuat regulasi terkait penerapan asas retroaktif
dalam pengadilan HAM, dengan menetapkan prosedur yang jelas dan
transparan untuk memastikan bahwa penerapan asas ini tidak melanggar hak
asasi manusia terdakwa dan tetap mempertahankan prinsip keadilan. Kebijakan
hukum nasional dapat memperhatikan prinsip-prinsip maqashid syar'iyah,
seperti perlindungan jiwa dan kehormatan manusia, dengan memasukkan
pertimbangan nilai-nilai moral Islam dalam penegakan hukum, tanpa
mengabaikan asas legalitas yang berlaku.
Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, dengan perspektif hukum positif dan maqashid
syar'iah. Penelitian ini mengidentifikasi tiga permasalahan utama, yaitu pertama,
penerapan asas retroaktif dalam Undang-Undang Pengadilan HAM yang dianggap
bertentangan dengan asas legalitas dalam UUD 1945; kedua, perspektif hukum positif
dan maqashid syar'iyah terhadap penerapan asas retroaktif dalam kasus pelanggaran
HAM; dan ketiga, tantangan atau konflik antara asas legalitas dan retroaktivitas dalam
konteks pelanggaran HAM. Penelitian ini bertujuan untuk menyinkronkan penerapan
asas retroaktif dengan hukum positif dan maqashid syar'iyah dalam upaya menegakkan
keadilan. Metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research)
dengan pendekatan yuridis normatif dan teologis normatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Penerapan asas retroaktif dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bertujuan
memastikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat, meskipun bertentangan
dengan asas legalitas. Dalam hukum positif, asas ini dipandang sebagai pengecualian
yang perlu diterapkan dengan hati-hati untuk menghindari penyalahgunaan. Sementara
itu, dari perspektif maqashid syar'iyah, asas retroaktif dibenarkan untuk menegakkan
keadilan dan melindungi hak asasi manusia. Penerapan asas ini pada kasus-kasus
seperti Tanjung Priok dan Timor Timur penting untuk memberikan keadilan, asalkan
dilakukan dengan seimbang dan menjaga hak dasar pelaku dan korban. Konflik antara
asas legalitas dan retroaktivitas dalam pelanggaran HAM berat terletak pada kebutuhan
menegakkan keadilan bagi korban tanpa mengorbankan kepastian hukum dan risiko
penyalahgunaan kekuasaan.
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, adapun kesimpulan pada Skripsi ini, yaitu:
1. Penerapan asas retroaktif dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM bertujuan menghadirkan keadilan atas pelanggaran HAM berat seperti
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan
kewajiban internasional Indonesia, seperti Statuta Roma 1998. Asas ini
merupakan pengecualian atas asas legalitas demi keadilan substantif, dengan
syarat penerapannya ketat dan hanya untuk kejahatan yang diakui secara
universal sebagai pelanggaran berat.
2. Penerapan asas retroaktif dalam pelanggaran HAM dapat dilihat dari dua
perspektif. Dalam hukum positif, Asas retroaktif hanya diterapkan pada
kejahatan luar biasa yang diakui secara universal, seperti genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat memberikan keadilan substantif
bagi korban pelanggaran HAM berat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum
yang mendasari. Pengadilan HAM harus transparan dan profesional, dengan
memastikan asas retroaktif digunakan untuk menegakkan keadilan, bukan
untuk tujuan politik. Namun, dalam maqashid syar'iyah, asas retroaktif
dibenarkan jika bertujuan menegakkan keadilan dan melindungi hak asasi
manusia. Dalam perspektif maqashid syar'iyah, asas retroaktif dapat diterima
jika digunakan untuk mencapai keadilan dan menghindari kerusakan yang lebih
besar.
3. Penerapan asas retroaktif dalam kasus pelanggaran HAM berat seperti tragedi
Tanjung Priok dan Timor Timur bertujuan memastikan keadilan bagi korban,
meskipun berpotensi bertentangan dengan asas legalitas. Asas ini memberi
harapan keadilan bagi korban, terutama untuk kejahatan sebelum hukum yang
relevan berlaku, tetapi juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan
risiko penyalahgunaan. Oleh karena itu, penerapannya harus seimbang,
memperhatikan keadilan sosial, maqashid syar'iyah, dan hak-hak pelaku serta
korban. Hal ini penting untuk menegakkan HAM dengan tetap menjaga
keseimbangan hukum dan keadilan.
B. Saran
1. penting untuk terus mengkaji dan mengembangkan pemahaman tentang
penerapan asas retroaktif dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
dengan pendekatan yang lebih holistik. Dalam penelitian lebih lanjut, para
akademisi dapat mengeksplorasi integrasi antara prinsip-prinsip hukum positif
dan maqashid syar'iyah untuk menghasilkan solusi yang lebih seimbang dalam
menegakkan keadilan, tanpa mengabaikan prinsip kepastian hukum yang
menjadi dasar dalam sistem hukum nasional. Pendekatan interdisipliner yang
melibatkan studi hukum internasional, hukum pidana, dan hukum Islam dapat
memberikan wawasan yang lebih mendalam untuk mengatasi tantangan yang
dihadapi dalam penerapan asas retroaktif.
2. pemahaman tentang penerapan asas retroaktif dalam kasus pelanggaran HAM
perlu diperluas, terutama terkait dengan perlindungan hak asasi manusia dan
pentingnya keadilan sosial. Masyarakat diharapkan dapat memahami bahwa
penerapan asas retroaktif, meskipun kontroversial, dapat menjadi salah satu
cara untuk mengatasi kejahatan HAM yang tidak dapat dibiarkan tanpa
hukuman, terutama dalam konteks keadilan bagi korban. Selain itu, masyarakat
perlu mendukung sistem hukum yang adil dan transparan, serta aktif terlibat
dalam diskursus hukum yang memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan sosial, agar hukum dapat berfungsi sebagai instrumen yang
melindungi dan memajukan kesejahteraan bersama.
3. Pembuat kebijakan perlu memperkuat regulasi terkait penerapan asas retroaktif
dalam pengadilan HAM, dengan menetapkan prosedur yang jelas dan
transparan untuk memastikan bahwa penerapan asas ini tidak melanggar hak
asasi manusia terdakwa dan tetap mempertahankan prinsip keadilan. Kebijakan
hukum nasional dapat memperhatikan prinsip-prinsip maqashid syar'iyah,
seperti perlindungan jiwa dan kehormatan manusia, dengan memasukkan
pertimbangan nilai-nilai moral Islam dalam penegakan hukum, tanpa
mengabaikan asas legalitas yang berlaku.
Ketersediaan
| SSYA20250003 | 03/2025 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
03/2025
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2025
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
