Problematika Mahar Pasca Perkawinan dan Perceraian di Kelurahan Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone
Ervina Dwiyanti/742302021032 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Problematika Mahar Pasca Perkawinan dan
Perceraian di Kelurahan Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk problematika mahar pasca perkawinan
dan perceraian, dampak problematika mahar pasca perkawinan dan perceraian, serta
penyelesaian problematika mahar pasca perkawinan dan perceraian di Kelurahan
Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bentuk problematika mahar pasca perkawinan dan perceraian, dampak
problematika mahar, dan strategi dalam menyelesaikan problematika mahar pasca
perkawinan dan perceraian di Kelurahan Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan
sosiologi, antropologi hukum, psikologi hukum, dan normatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa problematika mahar pasca perkawinan
dan perceraian yang terjadi di Kelurahan Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone
adalah penyalahgunaan mahar oleh pihak keluarga suami selama perkawinan dan
mahar diambil kembali oleh keluarga suami setelah perceraian. Faktor utama yang
memicu terjadinya permasalahan ini adalah tidak adanya alas hak yang jelas sebagai
bukti kepemilikan mahar tanah oleh istri. Adapun faktor pendukungnya mencakup:
Pertama, sebagian masyarakat masih belum mengetahui kedudukan mahar dalam
perkawinan. Mereka menganggap bahwa mahar hanya penyerahan simbolis saja
kepada mempelai wanita. Kedua, istri merasa sungkan untuk meminta mahar karena
khawatir akan dicap sebagai perempuan yang materialistis. Ketiga, pihak yang
mengelola mahar cenderung bersikap otoriter dan keras sehingga dikhawatirkan
ketika meminta mahar justru akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Keempat,
adanya kecintaan berlebihan terhadap harta menjadikan oknum pengelola mahar
mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dampak yang ditimbulkan dari problematika
mahar pasca perkawinan dan perceraian cukup kompleks, di antaranya konflik dan
ketidakharmonisan dalam keluarga, masalah ekonomi, serta tekanan sosial dan
budaya. Penyelesaian problematika mahar pasca perkawinan dan perceraian
dilakukan melalui mediasi terlebih dahulu, dan jika tidak berhasil maka diselesaikan
secara litigasi.
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti serta analisis data dengan
judul penelitian “Problematika Mahar Pasca Perkawinan dan Perceraian di Kelurahan
Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone”, maka diperoleh simpulan sebagai
berikut:
1. Problematika mahar pasca perkawinan dan perceraian yang terjadi di Kelurahan
Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone yakni penyalahgunaan mahar oleh
pihak keluarga suami selama perkawinan dan mahar diambil kembali oleh
keluarga suami setelah perceraian. Faktor utama yang memicu terjadinya
permasalahan ini adalah tidak adanya alas hak yang jelas sebagai bukti
kepemilikan mahar tanah oleh istri. Adapun faktor pendukungnya mencakup:
Pertama, sebagian masyarakat masih belum mengetahui kedudukan mahar dalam
perkawinan. Mereka menganggap bahwa mahar hanya penyerahan simbolis saja
kepada mempelai wanita. Kedua, istri merasa sungkan untuk meminta mahar
karena khawatir akan dicap sebagai perempuan yang materialistis. Ketiga, pihak
yang mengelola mahar cenderung bersikap otoriter dan keras sehingga
dikhawatirkan ketika meminta mahar justru akan menimbulkan konflik yang
lebih besar. Keempat, adanya kecintaan berlebihan terhadap harta menjadikan
oknum pengelola mahar mengambil sesuatu yang bukan haknya.
2. Dampak yang ditimbulkan dari problematika mahar pasca perkawinan dan
perceraian cukup kompleks dan mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan
rumah tangga dan sosial, di antaranya menimbulkan konflik dan
ketidakharmonisan dalam keluarga, masalah ekonomi bagi istri, serta mendapat
tekanan sosial di lingkungan masyarakat.
3. Penyelesaian problematika mahar pasca perkawinan dan perceraian diawali
dengan upaya mediasi, baik di lingkungan keluarga maupun dengan bantuan
aparat pemerintah setempat atau mediator di luar pengadilan. Apabila upaya
tersebut tidak membuahkan hasil, maka penyelesaian dilanjutkan melalui proses
litigasi atau jalur hukum di pengadilan.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1. Sebelum melangsungkan akad perkawinan, pihak KUA perlu memberikan
penegasan kepada calon mempelai dan keluarganya bahwa mahar adalah hak
mutlak istri dan tidak boleh diganggu gugat.
2. Bagi pasangan yang hendak menikah, jika maharnya adalah aset tetap berupa
tanah, maka sebaiknya sebelum melangsungkan akad nikah dilakukan balik nama
sertifikat mahar menjadi atas nama istri untuk mencegah terjadinya sengketa
mahar di kemudian hari.
3. Apabila mahar tanah dikelola oleh pihak lain, maka sebaiknya dibuatkan
perjanjian perkawinan terlebih dahulu yang diuraikan secara detail mengenai
kepemilikan, pengelolaan, dan bagi hasil sehingga tidak ada kerancuan.
Perjanjian ini dapat melindungi hak istri atas mahar yang diberikan sehingga
mahar tidak disalahgunakan atau diklaim pihak lain secara sepihak.
4. Regulasi terkait mahar perlu didiskusikan lagi oleh pemerintah, baik itu
Kementerian Agama, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta Mahkamah
Agung, karena hingga saat ini peralihan hak milik mahar tanah hanya dapat
dilakukan melalui hibah.
Perceraian di Kelurahan Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk problematika mahar pasca perkawinan
dan perceraian, dampak problematika mahar pasca perkawinan dan perceraian, serta
penyelesaian problematika mahar pasca perkawinan dan perceraian di Kelurahan
Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bentuk problematika mahar pasca perkawinan dan perceraian, dampak
problematika mahar, dan strategi dalam menyelesaikan problematika mahar pasca
perkawinan dan perceraian di Kelurahan Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan
sosiologi, antropologi hukum, psikologi hukum, dan normatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa problematika mahar pasca perkawinan
dan perceraian yang terjadi di Kelurahan Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone
adalah penyalahgunaan mahar oleh pihak keluarga suami selama perkawinan dan
mahar diambil kembali oleh keluarga suami setelah perceraian. Faktor utama yang
memicu terjadinya permasalahan ini adalah tidak adanya alas hak yang jelas sebagai
bukti kepemilikan mahar tanah oleh istri. Adapun faktor pendukungnya mencakup:
Pertama, sebagian masyarakat masih belum mengetahui kedudukan mahar dalam
perkawinan. Mereka menganggap bahwa mahar hanya penyerahan simbolis saja
kepada mempelai wanita. Kedua, istri merasa sungkan untuk meminta mahar karena
khawatir akan dicap sebagai perempuan yang materialistis. Ketiga, pihak yang
mengelola mahar cenderung bersikap otoriter dan keras sehingga dikhawatirkan
ketika meminta mahar justru akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Keempat,
adanya kecintaan berlebihan terhadap harta menjadikan oknum pengelola mahar
mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dampak yang ditimbulkan dari problematika
mahar pasca perkawinan dan perceraian cukup kompleks, di antaranya konflik dan
ketidakharmonisan dalam keluarga, masalah ekonomi, serta tekanan sosial dan
budaya. Penyelesaian problematika mahar pasca perkawinan dan perceraian
dilakukan melalui mediasi terlebih dahulu, dan jika tidak berhasil maka diselesaikan
secara litigasi.
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti serta analisis data dengan
judul penelitian “Problematika Mahar Pasca Perkawinan dan Perceraian di Kelurahan
Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone”, maka diperoleh simpulan sebagai
berikut:
1. Problematika mahar pasca perkawinan dan perceraian yang terjadi di Kelurahan
Apala Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone yakni penyalahgunaan mahar oleh
pihak keluarga suami selama perkawinan dan mahar diambil kembali oleh
keluarga suami setelah perceraian. Faktor utama yang memicu terjadinya
permasalahan ini adalah tidak adanya alas hak yang jelas sebagai bukti
kepemilikan mahar tanah oleh istri. Adapun faktor pendukungnya mencakup:
Pertama, sebagian masyarakat masih belum mengetahui kedudukan mahar dalam
perkawinan. Mereka menganggap bahwa mahar hanya penyerahan simbolis saja
kepada mempelai wanita. Kedua, istri merasa sungkan untuk meminta mahar
karena khawatir akan dicap sebagai perempuan yang materialistis. Ketiga, pihak
yang mengelola mahar cenderung bersikap otoriter dan keras sehingga
dikhawatirkan ketika meminta mahar justru akan menimbulkan konflik yang
lebih besar. Keempat, adanya kecintaan berlebihan terhadap harta menjadikan
oknum pengelola mahar mengambil sesuatu yang bukan haknya.
2. Dampak yang ditimbulkan dari problematika mahar pasca perkawinan dan
perceraian cukup kompleks dan mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan
rumah tangga dan sosial, di antaranya menimbulkan konflik dan
ketidakharmonisan dalam keluarga, masalah ekonomi bagi istri, serta mendapat
tekanan sosial di lingkungan masyarakat.
3. Penyelesaian problematika mahar pasca perkawinan dan perceraian diawali
dengan upaya mediasi, baik di lingkungan keluarga maupun dengan bantuan
aparat pemerintah setempat atau mediator di luar pengadilan. Apabila upaya
tersebut tidak membuahkan hasil, maka penyelesaian dilanjutkan melalui proses
litigasi atau jalur hukum di pengadilan.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1. Sebelum melangsungkan akad perkawinan, pihak KUA perlu memberikan
penegasan kepada calon mempelai dan keluarganya bahwa mahar adalah hak
mutlak istri dan tidak boleh diganggu gugat.
2. Bagi pasangan yang hendak menikah, jika maharnya adalah aset tetap berupa
tanah, maka sebaiknya sebelum melangsungkan akad nikah dilakukan balik nama
sertifikat mahar menjadi atas nama istri untuk mencegah terjadinya sengketa
mahar di kemudian hari.
3. Apabila mahar tanah dikelola oleh pihak lain, maka sebaiknya dibuatkan
perjanjian perkawinan terlebih dahulu yang diuraikan secara detail mengenai
kepemilikan, pengelolaan, dan bagi hasil sehingga tidak ada kerancuan.
Perjanjian ini dapat melindungi hak istri atas mahar yang diberikan sehingga
mahar tidak disalahgunakan atau diklaim pihak lain secara sepihak.
4. Regulasi terkait mahar perlu didiskusikan lagi oleh pemerintah, baik itu
Kementerian Agama, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta Mahkamah
Agung, karena hingga saat ini peralihan hak milik mahar tanah hanya dapat
dilakukan melalui hibah.
Ketersediaan
| SSYA20250232 | 232/2025 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
232/2025
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2025
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
