Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Perbandingan)
Muhammad Agim Nastiar/742302020109 - Personal Name
Skripsi ini membahas mengenai kekerasan dalam rumah tangga menurut
hukum positif dan hukum Islam. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bentuk-
bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum positif dan hukum Islam serta
persamaan dan perbedaan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut
hukum positif dan hukum Islam. Jenis penelitian adalah penelitian pustaka (library
research).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah
tangga menurut hukum positif dan hukum Islam yaitu dari aspek hukum positif,
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dikategorikan menjadi beberapa bentuk,
yaitu kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga, dengan
fokus pada perlindungan hukum bagi korban dan sanksi bagi pelaku. Dalam konteks
Hukum Islam, KDRT juga dapat terjadi dalam bentuk kekerasan fisik yang dibatasi
oleh prinsip nasihat, kekerasan seksual yang mencakup penolakan hubungan seksual,
kekerasan psikologis yang menuntut keadilan dalam pernikahan, serta kekerasan
ekonomi yang berkaitan dengan tanggung jawab finansial suami. Bentuk-bentuk
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) antara hukum positif dan hukum Islam
memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan. Hukum positif dan hukum Islam sama-
sama mengakui berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), seperti
kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran, serta menekankan
perlindungan terhadap korban. Perbedaannya, hukum positif mengatur secara rinci
melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dengan pendekatan formal dan
sanksi pidana, sedangkan hukum Islam lebih menekankan pendekatan moral dan
spiritual, membatasi kekerasan fisik hanya sebagai langkah terakhir tanpa menyakiti,
serta mengenal bentuk kekerasan lain seperti ila’, zhihar, dan penelantaran nafkah
sebagai pelanggaran hak istri. Hukum positif dan hukum Islam sama-sama mengatur
sanksi terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai bentuk
perlindungan terhadap korban dan penegakan keadilan. Keduanya memberikan
sanksi berupa hukuman badan, denda, serta membuka ruang untuk pemaafan.
Perbedaannya terletak pada sumber hukum, di mana hukum positif bersumber dari
undang-undang seperti UU No. 23 Tahun 2004, sedangkan hukum Islam bersumber
dari Al-Qur’an, Hadis, dan ijtihad ulama. Hukum Islam memiliki klasifikasi sanksi
seperti qiṣāṣ, diyat, dan ta’zîr, serta lebih menekankan aspek moral dan spiritual,
sedangkan hukum positif bersifat formal dan prosedural.
A. Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum positif dan
hukum Islam yaitu dari aspek hukum positif, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) dikategorikan menjadi beberapa bentuk, yaitu kekerasan fisik,
psikologis, seksual, penelantaran rumah tangga dan kekerasan terhadap suami
dengan fokus pada perlindungan hukum bagi korban dan sanksi bagi pelaku.
Dalam Hukum Islam, KDRT juga dapat terjadi dalam bentuk kekerasan fisik
yang dibatasi oleh prinsip nasihat, kekerasan seksual yang mencakup penolakan
hubungan seksual, kekerasan psikologis yang menuntut keadilan dalam
pernikahan, serta kekerasan ekonomi yang berkaitan dengan tanggung jawab
finansial suami. Selain itu Sanksi KDRT dalam hukum positif diatur dalam UU
No. 23 Tahun 2004 dengan pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda
maksimal Rp15 juta. Sedangkan dalam hukum Islam, KDRT dipandang sebagai
penganiayaan dengan sanksi qiṣāṣ, diyât, atau ta’zîr sesuai kadar pelanggaran;
qiṣāṣ atau diyât untuk kasus yang menimbulkan luka, dan ta’zîr jika tidak
menimbulkan cedera.
2. Persamaan dan perbedaan bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) antara hukum positif dan hukum Islam adalah dalam Hukum positif dan
hukum Islam sama-sama mengakui berbagai bentuk kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), seperti kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran,
serta menekankan perlindungan terhadap korban. Sama-sama mengatur sanksi
terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai bentuk
perlindungan terhadap korban dan penegakan keadilan. Keduanya memberikan
sanksi berupa hukuman badan, denda, serta membuka ruang untuk pemaafan.
Adapun perbedaannya, hukum positif mengatur secara rinci melalui Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 dengan pendekatan formal dan sanksi pidana,
sedangkan hukum Islam lebih menekankan pendekatan moral dan spiritual,
membatasi kekerasan fisik hanya sebagai langkah terakhir tanpa menyakiti, serta
mengenal bentuk kekerasan lain seperti ila’, ẓihār, dan penelantaran nafkah
sebagai pelanggaran hak istri. Dari aspek sanksi hukum, perbedaannya terletak
pada sumber hukum, di mana hukum positif bersumber dari undang-undang
seperti UU No. 23 Tahun 2004, sedangkan hukum Islam bersumber dari
al-Qur’an, Hadis, dan ijtihad ulama. Hukum Islam memiliki klasifikasi sanksi
seperti qiṣāṣ, diyat, dan ta’zîr, serta lebih menekankan aspek moral dan spiritual,
sedangkan hukum positif bersifat formal dan prosedural.
B. Saran
Bagi penegak hukum, diharapkan agar lebih tegas dan konsisten dalam
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Penegakan hukum harus
berpihak kepada korban dengan memberikan perlindungan maksimal, baik secara
hukum maupun psikologis. Selain itu, penting bagi penegak hukum untuk
memahami substansi hukum Islam terkait KDRT sebagai pertimbangan nilai moral
dan spiritual dalam penyelesaian perkara, sehingga penanganan kasus tidak hanya
berorientasi pada sanksi, tetapi juga pada pemulihan keutuhan keluarga dan keadilan
yang menyeluruh. Diperlukan pula peningkatan kapasitas aparat melalui pelatihan
hukum berperspektif gender dan keislaman agar proses penegakan hukum berjalan
lebih humanis dan berkeadilan.
hukum positif dan hukum Islam. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bentuk-
bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum positif dan hukum Islam serta
persamaan dan perbedaan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut
hukum positif dan hukum Islam. Jenis penelitian adalah penelitian pustaka (library
research).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah
tangga menurut hukum positif dan hukum Islam yaitu dari aspek hukum positif,
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dikategorikan menjadi beberapa bentuk,
yaitu kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga, dengan
fokus pada perlindungan hukum bagi korban dan sanksi bagi pelaku. Dalam konteks
Hukum Islam, KDRT juga dapat terjadi dalam bentuk kekerasan fisik yang dibatasi
oleh prinsip nasihat, kekerasan seksual yang mencakup penolakan hubungan seksual,
kekerasan psikologis yang menuntut keadilan dalam pernikahan, serta kekerasan
ekonomi yang berkaitan dengan tanggung jawab finansial suami. Bentuk-bentuk
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) antara hukum positif dan hukum Islam
memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan. Hukum positif dan hukum Islam sama-
sama mengakui berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), seperti
kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran, serta menekankan
perlindungan terhadap korban. Perbedaannya, hukum positif mengatur secara rinci
melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dengan pendekatan formal dan
sanksi pidana, sedangkan hukum Islam lebih menekankan pendekatan moral dan
spiritual, membatasi kekerasan fisik hanya sebagai langkah terakhir tanpa menyakiti,
serta mengenal bentuk kekerasan lain seperti ila’, zhihar, dan penelantaran nafkah
sebagai pelanggaran hak istri. Hukum positif dan hukum Islam sama-sama mengatur
sanksi terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai bentuk
perlindungan terhadap korban dan penegakan keadilan. Keduanya memberikan
sanksi berupa hukuman badan, denda, serta membuka ruang untuk pemaafan.
Perbedaannya terletak pada sumber hukum, di mana hukum positif bersumber dari
undang-undang seperti UU No. 23 Tahun 2004, sedangkan hukum Islam bersumber
dari Al-Qur’an, Hadis, dan ijtihad ulama. Hukum Islam memiliki klasifikasi sanksi
seperti qiṣāṣ, diyat, dan ta’zîr, serta lebih menekankan aspek moral dan spiritual,
sedangkan hukum positif bersifat formal dan prosedural.
A. Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum positif dan
hukum Islam yaitu dari aspek hukum positif, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) dikategorikan menjadi beberapa bentuk, yaitu kekerasan fisik,
psikologis, seksual, penelantaran rumah tangga dan kekerasan terhadap suami
dengan fokus pada perlindungan hukum bagi korban dan sanksi bagi pelaku.
Dalam Hukum Islam, KDRT juga dapat terjadi dalam bentuk kekerasan fisik
yang dibatasi oleh prinsip nasihat, kekerasan seksual yang mencakup penolakan
hubungan seksual, kekerasan psikologis yang menuntut keadilan dalam
pernikahan, serta kekerasan ekonomi yang berkaitan dengan tanggung jawab
finansial suami. Selain itu Sanksi KDRT dalam hukum positif diatur dalam UU
No. 23 Tahun 2004 dengan pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda
maksimal Rp15 juta. Sedangkan dalam hukum Islam, KDRT dipandang sebagai
penganiayaan dengan sanksi qiṣāṣ, diyât, atau ta’zîr sesuai kadar pelanggaran;
qiṣāṣ atau diyât untuk kasus yang menimbulkan luka, dan ta’zîr jika tidak
menimbulkan cedera.
2. Persamaan dan perbedaan bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) antara hukum positif dan hukum Islam adalah dalam Hukum positif dan
hukum Islam sama-sama mengakui berbagai bentuk kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), seperti kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran,
serta menekankan perlindungan terhadap korban. Sama-sama mengatur sanksi
terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai bentuk
perlindungan terhadap korban dan penegakan keadilan. Keduanya memberikan
sanksi berupa hukuman badan, denda, serta membuka ruang untuk pemaafan.
Adapun perbedaannya, hukum positif mengatur secara rinci melalui Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 dengan pendekatan formal dan sanksi pidana,
sedangkan hukum Islam lebih menekankan pendekatan moral dan spiritual,
membatasi kekerasan fisik hanya sebagai langkah terakhir tanpa menyakiti, serta
mengenal bentuk kekerasan lain seperti ila’, ẓihār, dan penelantaran nafkah
sebagai pelanggaran hak istri. Dari aspek sanksi hukum, perbedaannya terletak
pada sumber hukum, di mana hukum positif bersumber dari undang-undang
seperti UU No. 23 Tahun 2004, sedangkan hukum Islam bersumber dari
al-Qur’an, Hadis, dan ijtihad ulama. Hukum Islam memiliki klasifikasi sanksi
seperti qiṣāṣ, diyat, dan ta’zîr, serta lebih menekankan aspek moral dan spiritual,
sedangkan hukum positif bersifat formal dan prosedural.
B. Saran
Bagi penegak hukum, diharapkan agar lebih tegas dan konsisten dalam
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Penegakan hukum harus
berpihak kepada korban dengan memberikan perlindungan maksimal, baik secara
hukum maupun psikologis. Selain itu, penting bagi penegak hukum untuk
memahami substansi hukum Islam terkait KDRT sebagai pertimbangan nilai moral
dan spiritual dalam penyelesaian perkara, sehingga penanganan kasus tidak hanya
berorientasi pada sanksi, tetapi juga pada pemulihan keutuhan keluarga dan keadilan
yang menyeluruh. Diperlukan pula peningkatan kapasitas aparat melalui pelatihan
hukum berperspektif gender dan keislaman agar proses penegakan hukum berjalan
lebih humanis dan berkeadilan.
Ketersediaan
| SSYA20250255 | 255/2025 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
255/2025
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2025
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
