Konsep Hukum Keluarga Islam dalam Perjanjian Perkawinan Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
Nurainum/741302021004 - Personal Name
Tesis ini membahas tentang konsep pembaruan hukum keluarga Islam dalam
judicial review Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang berisi
tentang perlonggaran makna perjanjian perkawinan atas pasal 29 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974. Mahkamah Konstitusi sebagai institusi penyelenggara tentu
mempunyai kewenangan dalam pengujian Undang-Undang yang inkonstitusional
dengan UUD 1945. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui ketentuan
perjanjian perkawinan yang dibuat setelah berlakunya putusan MK Nomor 69/PUU-
XIII/2015, untuk mengetahui konsep pembaruan hukum keluarga Islam dalam
putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang perjanjian perkawinan, serta untuk
mengetahui implikasi hukum perjanjian perkawinan dalam putusan MK Nomor
69/PUU-XIII/2015.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (Normatif Law
Research), dengan menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan teologis normatif
dan yuridis normatif. Sumber bahan hukumnya berasal dari bahan hukum primer,
sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara kepustakaan (library research) dan metode analisis yang digunakan
adalah metode deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Ketentuan perjanjian perkawinan
setelah berlakunya Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, ketentuan perjanjian
perkawinan dapat dibuat dan diberlakukan kapan saja sesuai waktu yang ditentukan
oleh pihak-pihak pembuat perjanjian perkawinan tersebut. Ketentuan baru ini juga
memberi kebolehan untuk mengubah dan juga dicabut. 2) Pembaruan konsep hukum
keluarga Islam terkait dengan perjanjian perkawinan yang dapat juga dibuat selama
dalam ikatan perkawinan, hakim MK tidak luput dari pertimbangan Al-maslahah. 3)
Putusan MK berimplikasi kepada kedua belah pihak dan sifatnya mengikat; waktu
dibuatnya perjanjian perkawinan pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama
dalam ikatan perkawinan; Perjanjian perkawinan dibuat di hadapan dan disahkan oleh
pencatat perkawinan atau notaris; Isi perjanjian berlaku dan mengikat bagi suami istri
dan/atau juga terhadap pihak ketiga; Perjanjian berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan, kecuali diperjanjikan lain oleh para pihak; Perubahan atau pencabutan
perjanjian perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
A. Simpulan
Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada pembahasan sebelumnya maka
penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Ketentuan perjanjian perkawinan setelah berlakunya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, ketentuan perjanjian perkawinan dapat
dibuat dan diberlakukan kapan saja sesuai waktu yang ditentukan oleh pihak-
pihak pembuat perjanjian perkawinan tersebut. Ketentuan baru ini juga
ditetapkan kebolehan perubahan perjanjian perkawinan karena dalam putusan
MK tersebut menjadi sebuah hal baru, karena tidak ada dalam ketentuan
undang-undang sebelumnya. Putusan Mahkamah Konstitusi menghendaki
kepastian hukum, karena MK diberikan kewenangan untuk menyatakan suatu
norma ataupun UU bertentangan dengan UUD. Putusan MK tersebut
memberikan paradigma, bahwa hukum sesuai dengan perilaku hukum, yaitu
Hakim dalam putusannya harus mengakomodir keinginan publik dengan
melakukan terobosan hukum dalam mengaktualisasikan hukum sesuai dengan
ruang, waktu, dan tempat dan melakukan pemaknaan kreatif terhadap peraturan,
tanpa harus menunggu perubahan peraturan.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 merupakan
pembaruan konsep hukum keluarga Islam terkait dengan perjanjian perkawinan
yang membolehkan membuat selama masa perkawinan berlangsung, jika
disepakati oleh kedua belah pihak yang dapat dibuat dalam akta otentik di
hadapan notaris dan tanpa penetapan pengadilan. Dalam putusan MK
menggunakan metode-metode penafsiran hukum Islam, hal ini membuktikan
bahwa Mahkamah Konstitusi tidak mengesampingkan peranan hukum Islam
dalam proses peradilan dengan pertimbangan Al- maslahah. Begitu pula MK
juga membenarkan refleksi hukum Islam menjadi bahan hukum atau unsur
utama melalui produk yurisprudensi, dalam putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU-XIII/2015 terdapat nilai kemaslahatan secara langsung dirujuk
oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya.
3. Perjanjian Perkawinan Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 berimplikasi kepada kedua belah pihak dan sifatnya
mengikat; waktu dibuatnya perjanjian perkawinan adalah sebelum
dilangsungkan perkawinan maupun setelah atau dalam masa perkawinan;
Perjanjian perkawinan dibuat di hadapan dan disahkan oleh pencatat
perkawinan atau notaris; Isi perjanjian berlaku dan mengikat bagi suami istri
dan/atau juga terhadap pihak ketiga; Perjanjian berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan, kecuali diperjanjikan lain oleh para pihak dalam perjanjian
dimaksud; Cakupan perjanjian perkawinan tidak dapat diubah atau dicabut,
kecuali atas kesepakatan bersama kedua belah pihak; Perubahan atau
pencabutan perjanjian perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
B. Implikasi Penelitian
Setelah penulis menguraikan simpulan tersebut, maka di bawah ini akan
diuraikan saran-saran. Adapun saran-saran yang penulis maksudkan dalam
pembahasan tesis ini adalah sebagai berikut:
Kebolehan membuat perjanjian perkawinan selama masa perkawinan
setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, bagi masyarakat
jika tidak ada kesepakatan kedua belah pihak mulai berlakunya, maka secara otomatis
berlaku sejak tanggal perkawinan sehingga sarannya lebih baik berlaku sejak
perjanjian perkawinan dibuat sehingga tidak berlaku surut objek perjanjiannya. Serta
perjanjian perkawinan di hadapan Notaris harus pula dicatatkan dan disahkan di
Pegawai Pencatat Perkawinan sebagai instansi yang berwenang sehingga memenuhi
asas publisitas.
Selanjutnya mengenai perjanjian perkawinan pada umumnya dibuat oleh
pasangan suami istri mempunyai harta yang tergolong banyak, Masyarakat juga
beranggapan bahwa perjanjian perkawinan bukan menjadi soal yang wajib. Maka
semestinya pemerintah membentuk suatu lembaga yang bisa mewadahi masyarakat
dalam menyelesaikan sengketa dalam bidang keluarga bahkan sebelum sengketa itu
terjadi, penting untuk mensosialisasikan perjanjian perkawinan pada calon pengantin
atau bahkan pasangan suami istri, agar mengerti apabila ada kemungkinan akibat
hukum yang timbul lantaran tidak ada perjanjian perkawinan.
judicial review Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang berisi
tentang perlonggaran makna perjanjian perkawinan atas pasal 29 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974. Mahkamah Konstitusi sebagai institusi penyelenggara tentu
mempunyai kewenangan dalam pengujian Undang-Undang yang inkonstitusional
dengan UUD 1945. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui ketentuan
perjanjian perkawinan yang dibuat setelah berlakunya putusan MK Nomor 69/PUU-
XIII/2015, untuk mengetahui konsep pembaruan hukum keluarga Islam dalam
putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang perjanjian perkawinan, serta untuk
mengetahui implikasi hukum perjanjian perkawinan dalam putusan MK Nomor
69/PUU-XIII/2015.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (Normatif Law
Research), dengan menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan teologis normatif
dan yuridis normatif. Sumber bahan hukumnya berasal dari bahan hukum primer,
sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara kepustakaan (library research) dan metode analisis yang digunakan
adalah metode deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Ketentuan perjanjian perkawinan
setelah berlakunya Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, ketentuan perjanjian
perkawinan dapat dibuat dan diberlakukan kapan saja sesuai waktu yang ditentukan
oleh pihak-pihak pembuat perjanjian perkawinan tersebut. Ketentuan baru ini juga
memberi kebolehan untuk mengubah dan juga dicabut. 2) Pembaruan konsep hukum
keluarga Islam terkait dengan perjanjian perkawinan yang dapat juga dibuat selama
dalam ikatan perkawinan, hakim MK tidak luput dari pertimbangan Al-maslahah. 3)
Putusan MK berimplikasi kepada kedua belah pihak dan sifatnya mengikat; waktu
dibuatnya perjanjian perkawinan pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama
dalam ikatan perkawinan; Perjanjian perkawinan dibuat di hadapan dan disahkan oleh
pencatat perkawinan atau notaris; Isi perjanjian berlaku dan mengikat bagi suami istri
dan/atau juga terhadap pihak ketiga; Perjanjian berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan, kecuali diperjanjikan lain oleh para pihak; Perubahan atau pencabutan
perjanjian perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
A. Simpulan
Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada pembahasan sebelumnya maka
penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Ketentuan perjanjian perkawinan setelah berlakunya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, ketentuan perjanjian perkawinan dapat
dibuat dan diberlakukan kapan saja sesuai waktu yang ditentukan oleh pihak-
pihak pembuat perjanjian perkawinan tersebut. Ketentuan baru ini juga
ditetapkan kebolehan perubahan perjanjian perkawinan karena dalam putusan
MK tersebut menjadi sebuah hal baru, karena tidak ada dalam ketentuan
undang-undang sebelumnya. Putusan Mahkamah Konstitusi menghendaki
kepastian hukum, karena MK diberikan kewenangan untuk menyatakan suatu
norma ataupun UU bertentangan dengan UUD. Putusan MK tersebut
memberikan paradigma, bahwa hukum sesuai dengan perilaku hukum, yaitu
Hakim dalam putusannya harus mengakomodir keinginan publik dengan
melakukan terobosan hukum dalam mengaktualisasikan hukum sesuai dengan
ruang, waktu, dan tempat dan melakukan pemaknaan kreatif terhadap peraturan,
tanpa harus menunggu perubahan peraturan.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 merupakan
pembaruan konsep hukum keluarga Islam terkait dengan perjanjian perkawinan
yang membolehkan membuat selama masa perkawinan berlangsung, jika
disepakati oleh kedua belah pihak yang dapat dibuat dalam akta otentik di
hadapan notaris dan tanpa penetapan pengadilan. Dalam putusan MK
menggunakan metode-metode penafsiran hukum Islam, hal ini membuktikan
bahwa Mahkamah Konstitusi tidak mengesampingkan peranan hukum Islam
dalam proses peradilan dengan pertimbangan Al- maslahah. Begitu pula MK
juga membenarkan refleksi hukum Islam menjadi bahan hukum atau unsur
utama melalui produk yurisprudensi, dalam putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU-XIII/2015 terdapat nilai kemaslahatan secara langsung dirujuk
oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya.
3. Perjanjian Perkawinan Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 berimplikasi kepada kedua belah pihak dan sifatnya
mengikat; waktu dibuatnya perjanjian perkawinan adalah sebelum
dilangsungkan perkawinan maupun setelah atau dalam masa perkawinan;
Perjanjian perkawinan dibuat di hadapan dan disahkan oleh pencatat
perkawinan atau notaris; Isi perjanjian berlaku dan mengikat bagi suami istri
dan/atau juga terhadap pihak ketiga; Perjanjian berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan, kecuali diperjanjikan lain oleh para pihak dalam perjanjian
dimaksud; Cakupan perjanjian perkawinan tidak dapat diubah atau dicabut,
kecuali atas kesepakatan bersama kedua belah pihak; Perubahan atau
pencabutan perjanjian perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
B. Implikasi Penelitian
Setelah penulis menguraikan simpulan tersebut, maka di bawah ini akan
diuraikan saran-saran. Adapun saran-saran yang penulis maksudkan dalam
pembahasan tesis ini adalah sebagai berikut:
Kebolehan membuat perjanjian perkawinan selama masa perkawinan
setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, bagi masyarakat
jika tidak ada kesepakatan kedua belah pihak mulai berlakunya, maka secara otomatis
berlaku sejak tanggal perkawinan sehingga sarannya lebih baik berlaku sejak
perjanjian perkawinan dibuat sehingga tidak berlaku surut objek perjanjiannya. Serta
perjanjian perkawinan di hadapan Notaris harus pula dicatatkan dan disahkan di
Pegawai Pencatat Perkawinan sebagai instansi yang berwenang sehingga memenuhi
asas publisitas.
Selanjutnya mengenai perjanjian perkawinan pada umumnya dibuat oleh
pasangan suami istri mempunyai harta yang tergolong banyak, Masyarakat juga
beranggapan bahwa perjanjian perkawinan bukan menjadi soal yang wajib. Maka
semestinya pemerintah membentuk suatu lembaga yang bisa mewadahi masyarakat
dalam menyelesaikan sengketa dalam bidang keluarga bahkan sebelum sengketa itu
terjadi, penting untuk mensosialisasikan perjanjian perkawinan pada calon pengantin
atau bahkan pasangan suami istri, agar mengerti apabila ada kemungkinan akibat
hukum yang timbul lantaran tidak ada perjanjian perkawinan.
Ketersediaan
| 741302021004 | 10/2024 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
10/2024
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2024
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Tesis HKI
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
