Konsep Gadai Dan Pemanfaatan Barang Gadai Ditinjau Dari Pemikiran Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq
Fajar Aswar/01.18.3106 - Personal Name
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui Konsep Gadai menurut pemikiran Sayyid
Sabiq dalam fiqih sunnah dan pemanfaatan barang gadai menurut pemikiran Sayyid Sabiq
dalam Fiqih Sunnah dibandingkan fuqaha lainnya. Metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah metode kualitatif dan penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data
yang ada di pustaka, membaca, mencatat serta mengolah bahan yang berkenan dengan
penelitian ini. Adapun sumber data penelitian ini adalah sekunder dengan bahan hukum
primer, sekunder dan tersier.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1. Bahwa kosep gadai manurut Sayyid Sabiq
yaitu akad atau perjanjian hutang piutang dengan menjadikan barang jaminan sebagai
kepercayaan atau penguat dari hutang dan orang yang memberikan pinjaman berhak
menjual atau melelang barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya (jatuh
tempo). 2. Pemanfaatan barang gadai menurut Sayyid Sabiq Akad gadai bertujuan meminta
kepercayaan dan menjamin hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Selama hal itu
demikian keadaannya,maka orang yang memegang barang gadaian tidak boleh
memanfaatkan barang gadaian sekalipun diizinkan oleh orang yang menggadaikan.
Tindakan memanfaatkan barang gadaian tidak ubahnya qiradh yang mengalirkan manfaat,
dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba. Keadaan seperti ini jika
barangnya bukan berbentuk binatang ternak yang bisa diambil susunya.
A. Kesimpulan
1. Sayyid Sabiq mendefinisikan gadai sebagai suatu akad atau perjanjian pinjam
meminjam yang barang jaminannya dipakai sebagai amanah atau sebagai penguat
utang. Pada saat ahli pinjam meminta hak (jatuh tempo), barang yang dijual dapat
dijual atau dibongkar.
2. Pemanfaatan barang gadai menurut Sayyid Sabiq tujuan dari perjanjian gadai bukan
untuk mencari uang atau mendapatkan hasil, melainkan untuk mendapatkan
kepercayaan dan menjamin hutang. Sekalipun orang yang menggadaikan barang itu
mengizinkannya, orang yang memegang barang yang digadaikan itu tidak boleh
menggunakannya selama itu. Pemanfaatan barang gadai dianalogikan dengan
qiradh, yang menghasilkan manfaat, dan riba hadir dalam setiap bentuk qiradh.
Skenario yang serupa dengan ini jika barang tersebut bukan hewan ternak yang
dapat diambil susunya.
Sementara itu, Menurut ulama Syafi'iyah, barang yang digadaikan (marhun) hanya
menjadi amanah atau agunan bagi penerima gadai (murtahin), dan rahin tetap
memilikinya. Ulama Malikiyah menegaskan bahwa murtahin harus mendapat izin
dari pemilik barang (rahin) sebelum menggunakan harta yang digadaikan. Menurut
Hanafiyah, karena barang yang digadaikan merupakan agunan dan amanah bagi
penerima gadai, maka penerima gadai memiliki penguasaan atas barang yang
digadaikan. Akan hilang kemanfaatan barang gadai jika pegadaian tidak
memanfaatkannya. barang gadai untuk murtahin dengan izin rahin dan
menyesuaikan nilai manfaat untuk mencerminkan biaya marhun.
B. Saran
1. Semua umat Islam bisa mendapatkan keuntungan dari metode gadai (ranh). Oleh
karena itu, untuk memastikan tidak ada pihak yang merasa dirugikan, diperlukan
kesepakatan di antara mereka.
2. Karena gadai adalah salah satu bentuk muamalah yang diperbolehkan dalam ajaran
Islam, maka sudah menjadi suatu keharusan bahwa dalam melakukan peraktik
gadai, haruslah tetap berada pada rambu-rambu syariat Islam.
3. Pemanfaatan barang gadai (marhun) yang dilakukan oleh pihak rahin seharusnya
mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak murtahin, karena pihak murtahin
selaku orang yang mempunyai hak untuk menahan barang gadai tersebut, dan harus
ada kesempatan antar kedua pihak.
4. Murtahin tidak boleh terlalu berlebihan memanfaatkan barang gadai, karena
mengandung resiko rusak, hilang dan berkurangnya nilai barang tersebut.
Sabiq dalam fiqih sunnah dan pemanfaatan barang gadai menurut pemikiran Sayyid Sabiq
dalam Fiqih Sunnah dibandingkan fuqaha lainnya. Metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah metode kualitatif dan penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data
yang ada di pustaka, membaca, mencatat serta mengolah bahan yang berkenan dengan
penelitian ini. Adapun sumber data penelitian ini adalah sekunder dengan bahan hukum
primer, sekunder dan tersier.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1. Bahwa kosep gadai manurut Sayyid Sabiq
yaitu akad atau perjanjian hutang piutang dengan menjadikan barang jaminan sebagai
kepercayaan atau penguat dari hutang dan orang yang memberikan pinjaman berhak
menjual atau melelang barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya (jatuh
tempo). 2. Pemanfaatan barang gadai menurut Sayyid Sabiq Akad gadai bertujuan meminta
kepercayaan dan menjamin hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Selama hal itu
demikian keadaannya,maka orang yang memegang barang gadaian tidak boleh
memanfaatkan barang gadaian sekalipun diizinkan oleh orang yang menggadaikan.
Tindakan memanfaatkan barang gadaian tidak ubahnya qiradh yang mengalirkan manfaat,
dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba. Keadaan seperti ini jika
barangnya bukan berbentuk binatang ternak yang bisa diambil susunya.
A. Kesimpulan
1. Sayyid Sabiq mendefinisikan gadai sebagai suatu akad atau perjanjian pinjam
meminjam yang barang jaminannya dipakai sebagai amanah atau sebagai penguat
utang. Pada saat ahli pinjam meminta hak (jatuh tempo), barang yang dijual dapat
dijual atau dibongkar.
2. Pemanfaatan barang gadai menurut Sayyid Sabiq tujuan dari perjanjian gadai bukan
untuk mencari uang atau mendapatkan hasil, melainkan untuk mendapatkan
kepercayaan dan menjamin hutang. Sekalipun orang yang menggadaikan barang itu
mengizinkannya, orang yang memegang barang yang digadaikan itu tidak boleh
menggunakannya selama itu. Pemanfaatan barang gadai dianalogikan dengan
qiradh, yang menghasilkan manfaat, dan riba hadir dalam setiap bentuk qiradh.
Skenario yang serupa dengan ini jika barang tersebut bukan hewan ternak yang
dapat diambil susunya.
Sementara itu, Menurut ulama Syafi'iyah, barang yang digadaikan (marhun) hanya
menjadi amanah atau agunan bagi penerima gadai (murtahin), dan rahin tetap
memilikinya. Ulama Malikiyah menegaskan bahwa murtahin harus mendapat izin
dari pemilik barang (rahin) sebelum menggunakan harta yang digadaikan. Menurut
Hanafiyah, karena barang yang digadaikan merupakan agunan dan amanah bagi
penerima gadai, maka penerima gadai memiliki penguasaan atas barang yang
digadaikan. Akan hilang kemanfaatan barang gadai jika pegadaian tidak
memanfaatkannya. barang gadai untuk murtahin dengan izin rahin dan
menyesuaikan nilai manfaat untuk mencerminkan biaya marhun.
B. Saran
1. Semua umat Islam bisa mendapatkan keuntungan dari metode gadai (ranh). Oleh
karena itu, untuk memastikan tidak ada pihak yang merasa dirugikan, diperlukan
kesepakatan di antara mereka.
2. Karena gadai adalah salah satu bentuk muamalah yang diperbolehkan dalam ajaran
Islam, maka sudah menjadi suatu keharusan bahwa dalam melakukan peraktik
gadai, haruslah tetap berada pada rambu-rambu syariat Islam.
3. Pemanfaatan barang gadai (marhun) yang dilakukan oleh pihak rahin seharusnya
mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak murtahin, karena pihak murtahin
selaku orang yang mempunyai hak untuk menahan barang gadai tersebut, dan harus
ada kesempatan antar kedua pihak.
4. Murtahin tidak boleh terlalu berlebihan memanfaatkan barang gadai, karena
mengandung resiko rusak, hilang dan berkurangnya nilai barang tersebut.
Ketersediaan
| SFEBI20220247 | 247/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
247/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi FEBI
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
