Eksistensi Wali Dalam Pernikahan Gadis dan Janda (Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Islam)
Fadli Nugraha/742302020002 - Personal Name
Penelitian ini mengkaji peran dan kedudukan wali dalam pernikahan gadis
dan janda ditinjau dari perspektif hukum positif dan hukum Islam. Dalam hukum
Islam, keberadaan wali merupakan syarat sahnya pernikahan, terutama bagi gadis.
Sedangkan untuk janda, ada perbedaan pandangan dikalangan ulama terkait
kebutuhan akan wali.
Hukum positif di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga mengakui
peran wali, meskipun terdapat beberapa ketentuan yang membedakannya dengan
hukum Islam.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka (Library Research)
dengan menggunakan pendekatan teologis normatif dan yuridis formal dengan
analisis deskriptif dan komparatif antara kedua sistem hukum tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa eksistensi wali dalam pernikahan gadis dianggap
wajib baik dalam hukum positif maupun hukum Islam, sedangkan bagi janda terdapat
fleksibilitas yang lebih besar tergantung pada kondisi tertentu.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka peneliti dapat memberikan
kesimpulan bahwa:
1. Eksistensi wali dalam pernikahan gadis dan janda menurut hukum positif,
yakni wali mempunyai peranan yang sangat penting. Peran wali di dalam
hukum positif diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Eksistensi wali dalam hal perwalian
antara gadis dan janda berbeda. Dalam perwalian terhadap gadis sebagaimana
yang diterapkan dalam KHI, wali nikah adalah rukun pernikahan. Peran wali
dianggap penting untuk melindungi hak gadis dalam pernikahan. Sedangkan
bagi janda, kewajiban adanya wali tidak sepenting pada pernikahan gadis.
Janda dianggap lebih mandiri dalam menentukan pernikahannya. Meski
demikian, KHI tetap mensyaratkan adanya wali, tetapi lebih fleksibel
dibandingkan dengan gadis. Jadi hukum positif mengakui pentingnya wali
terutama dalam pernikahan gadis untuk melindungi hak-haknya dan janda
lebih bersifat formalitas dan fleksibel sesuai dengan keadaan sosialnya.
Fleksibel dalam artian biasanya gadis wajib diwalikan dari pihak keluarga.
Namun bagi janda jika pihak keluarga menolak atau tidak ada, maka
pengadilan agama dapat menunjuk wali hakim untuk menjadi wali nikahnya.
2. Eksistensi wali dalam pernikahan gadis dan janda menurut hukum Islam,
yakni dalam pernikahan gadis, hal ini didasarkan pada pendapat jumhur ulama
65
(terutama dari mazhab Syafī‟ī, Malikī, dan Hambalī), seorang gadis tidak
boleh menikah tanpa persetujuan dan kehadiran wali. Hal ini didasarkan pada
hadis yang menyatakan “Tidak sah Pernikahan, kecuali dengan wali”. Wali
gadis biasanya adalah ayahnya. Sedangkan perwalian bagi pernikahan janda,
janda memiliki otoritas lebih besar dan kelonggaran dalam menentukan
pernikahan dibanding gadis. Menurut sebagian ulama diantaranya imām
Ḥanafī menyatakan bahwa janda memiliki hak untuk menikahkan dirinya
sendiri tanpa keharusan persetujuan wali, meskipun wali masih dianjurkan
hadir sebagai bentuk pengesahan dan menjaga hubungan sosial. Hal ini
didasarkan pada hadis “Janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada
walinya”. Namun pendapat yang lebih ketat seperti mazhab Syāfi‟ī
menyatakan bahwa kehadiran wali adalah wajib baik untuk gadis maupun
janda. Hanya saja hak veto wali dalam pernikahan janda lebih terbatas karena
janda dianggap lebih berpengalaman dalam berumah tangga.
Dengan demikian, pandangan dari jumhur ulama mengenai persoalan
perwalian dalam Islam sendiri, menikah harus menyertakan wali (Gadis dan
Janda), sementara Imām Ḥanafī menyatakan harus menghadirkan wali jika
calon suaminya itu tidak sekufu dan belum dewasa. Menurut jumhur ulama
syarat wali itu adalah laki-laki, sedangkan menurut Imām Ḥanafī, wanita yang
balig dan berakal boleh menikahkan dirinya sendiri, keduanya mempunyai
landasan hukum masing-masing dan dipengaruhi oleh sudut pandang masing-
masing.
Jika melihat dari segi kemaslahatannya tentu saja pendapat dari jumhur
ulama itu terkesan lebih ke arah kehati-hatian jika dibandingkan dengan
pendapat Imām Ḥanafī. Hal ini dikarenakan jika menikah tidak harus
menggunakan wali, maka akan banyak orang yang menikah seenaknya tanpa
diketahui oleh walinya. Tentu saja hal ini menimbulkan banyak kemuḍaratan
di kalangan wanita itu sendiri, seperti tidak diakui dalam hukum positif dan
akan menimbulkan konflik dalam keluarga. Jika dikaitkan dengan aturan
hukum positif yang ada yang mengacu pada pendapat dari jumhur ulama yang
mewajibkan akan adanya perwalian dalam pernikahan, maka tentulah akan
mencapai yang namanya kemaslahatan bersama karena hukum positif itu
bersifat legalitas dan mengikat dalam sebuah pemerintahan dalam suatu
negara.
perbedaan letak antara hukum positif dan hukum Islam terhadap peran
wali terletak pada pendekatan hukumnya, dimana hukum positif lebih
menekankan aspek legal dan regulasi negara, sedangkan hukum Islam lebih
menekankan aspek spiritual dan moral dalam menjalankan peran wali.
B. Saran
1. Diharapkan agar masyarakat, khususnya calon pengantin dan keluarga, lebih
memahami posisi dan peran wali dalam pernikahan sesuai dengan hukum
positif dan hukum Islam. Sosialisasi mengenai hal ini dapat dilakukan melalui
seminar, workshop, atau penyuluhan.
2. Pemanfaatan media sosial dan platform digital untuk menyebarkan informasi
yang benar dan bermanfaat mengenai eksistensi wali dalam pernikahan, agar
dapat menjangkau audiens yang lebih luas.
3. Masyarakat diharapkan untuk lebih aktif dalam mendiskusikan dan
memahami pentingnya peran wali dalam pernikahan, termasuk dalam forum-
forum komunitas atau majelis taklim.
dan janda ditinjau dari perspektif hukum positif dan hukum Islam. Dalam hukum
Islam, keberadaan wali merupakan syarat sahnya pernikahan, terutama bagi gadis.
Sedangkan untuk janda, ada perbedaan pandangan dikalangan ulama terkait
kebutuhan akan wali.
Hukum positif di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga mengakui
peran wali, meskipun terdapat beberapa ketentuan yang membedakannya dengan
hukum Islam.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka (Library Research)
dengan menggunakan pendekatan teologis normatif dan yuridis formal dengan
analisis deskriptif dan komparatif antara kedua sistem hukum tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa eksistensi wali dalam pernikahan gadis dianggap
wajib baik dalam hukum positif maupun hukum Islam, sedangkan bagi janda terdapat
fleksibilitas yang lebih besar tergantung pada kondisi tertentu.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka peneliti dapat memberikan
kesimpulan bahwa:
1. Eksistensi wali dalam pernikahan gadis dan janda menurut hukum positif,
yakni wali mempunyai peranan yang sangat penting. Peran wali di dalam
hukum positif diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Eksistensi wali dalam hal perwalian
antara gadis dan janda berbeda. Dalam perwalian terhadap gadis sebagaimana
yang diterapkan dalam KHI, wali nikah adalah rukun pernikahan. Peran wali
dianggap penting untuk melindungi hak gadis dalam pernikahan. Sedangkan
bagi janda, kewajiban adanya wali tidak sepenting pada pernikahan gadis.
Janda dianggap lebih mandiri dalam menentukan pernikahannya. Meski
demikian, KHI tetap mensyaratkan adanya wali, tetapi lebih fleksibel
dibandingkan dengan gadis. Jadi hukum positif mengakui pentingnya wali
terutama dalam pernikahan gadis untuk melindungi hak-haknya dan janda
lebih bersifat formalitas dan fleksibel sesuai dengan keadaan sosialnya.
Fleksibel dalam artian biasanya gadis wajib diwalikan dari pihak keluarga.
Namun bagi janda jika pihak keluarga menolak atau tidak ada, maka
pengadilan agama dapat menunjuk wali hakim untuk menjadi wali nikahnya.
2. Eksistensi wali dalam pernikahan gadis dan janda menurut hukum Islam,
yakni dalam pernikahan gadis, hal ini didasarkan pada pendapat jumhur ulama
65
(terutama dari mazhab Syafī‟ī, Malikī, dan Hambalī), seorang gadis tidak
boleh menikah tanpa persetujuan dan kehadiran wali. Hal ini didasarkan pada
hadis yang menyatakan “Tidak sah Pernikahan, kecuali dengan wali”. Wali
gadis biasanya adalah ayahnya. Sedangkan perwalian bagi pernikahan janda,
janda memiliki otoritas lebih besar dan kelonggaran dalam menentukan
pernikahan dibanding gadis. Menurut sebagian ulama diantaranya imām
Ḥanafī menyatakan bahwa janda memiliki hak untuk menikahkan dirinya
sendiri tanpa keharusan persetujuan wali, meskipun wali masih dianjurkan
hadir sebagai bentuk pengesahan dan menjaga hubungan sosial. Hal ini
didasarkan pada hadis “Janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada
walinya”. Namun pendapat yang lebih ketat seperti mazhab Syāfi‟ī
menyatakan bahwa kehadiran wali adalah wajib baik untuk gadis maupun
janda. Hanya saja hak veto wali dalam pernikahan janda lebih terbatas karena
janda dianggap lebih berpengalaman dalam berumah tangga.
Dengan demikian, pandangan dari jumhur ulama mengenai persoalan
perwalian dalam Islam sendiri, menikah harus menyertakan wali (Gadis dan
Janda), sementara Imām Ḥanafī menyatakan harus menghadirkan wali jika
calon suaminya itu tidak sekufu dan belum dewasa. Menurut jumhur ulama
syarat wali itu adalah laki-laki, sedangkan menurut Imām Ḥanafī, wanita yang
balig dan berakal boleh menikahkan dirinya sendiri, keduanya mempunyai
landasan hukum masing-masing dan dipengaruhi oleh sudut pandang masing-
masing.
Jika melihat dari segi kemaslahatannya tentu saja pendapat dari jumhur
ulama itu terkesan lebih ke arah kehati-hatian jika dibandingkan dengan
pendapat Imām Ḥanafī. Hal ini dikarenakan jika menikah tidak harus
menggunakan wali, maka akan banyak orang yang menikah seenaknya tanpa
diketahui oleh walinya. Tentu saja hal ini menimbulkan banyak kemuḍaratan
di kalangan wanita itu sendiri, seperti tidak diakui dalam hukum positif dan
akan menimbulkan konflik dalam keluarga. Jika dikaitkan dengan aturan
hukum positif yang ada yang mengacu pada pendapat dari jumhur ulama yang
mewajibkan akan adanya perwalian dalam pernikahan, maka tentulah akan
mencapai yang namanya kemaslahatan bersama karena hukum positif itu
bersifat legalitas dan mengikat dalam sebuah pemerintahan dalam suatu
negara.
perbedaan letak antara hukum positif dan hukum Islam terhadap peran
wali terletak pada pendekatan hukumnya, dimana hukum positif lebih
menekankan aspek legal dan regulasi negara, sedangkan hukum Islam lebih
menekankan aspek spiritual dan moral dalam menjalankan peran wali.
B. Saran
1. Diharapkan agar masyarakat, khususnya calon pengantin dan keluarga, lebih
memahami posisi dan peran wali dalam pernikahan sesuai dengan hukum
positif dan hukum Islam. Sosialisasi mengenai hal ini dapat dilakukan melalui
seminar, workshop, atau penyuluhan.
2. Pemanfaatan media sosial dan platform digital untuk menyebarkan informasi
yang benar dan bermanfaat mengenai eksistensi wali dalam pernikahan, agar
dapat menjangkau audiens yang lebih luas.
3. Masyarakat diharapkan untuk lebih aktif dalam mendiskusikan dan
memahami pentingnya peran wali dalam pernikahan, termasuk dalam forum-
forum komunitas atau majelis taklim.
Ketersediaan
| SSYA20240228 | 228/2024 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
228/2024
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2024
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
