Nafkah Rumah Tangga Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif ditinjau dari Perspektif Maqāṣid al-Syarī’ah
Ria Ristika/742302020049 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang nafkah rumah tangga menurut hukum Islam dan
hukum positif ditinjau dari perspektif maqāṣid al-syarī’ah. Adapun tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami pentingnya pemenuhan nafkah
dalam rumah tangga menurut hukum Islam dan hukum positif, kemudian akan
ditinjau dari perspektif maqāṣid al-syarī’ah. Jenis penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan atau Library research. Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah
pendekatan teologis normatif dan pendekatan yuridis normatif. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah pengutipan bahan-bahan pustaka yang berhubungan
dengan pokok penelitian yakni pengutipan langsung dan tidak langsung. Hasil
penelitian menujukkan bahwa pertama, nafkah rumah tangga menurut hukum Islam
merupakan sebuah kewajiban yang harus diprioritaskan oleh seorang suami yakni
nafkah lahir dan batin. Para fuqaha memberikan pandangan mengenai nafkah sebagai
biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam
tanggungannya, meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan,
termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabot rumah tangga. Jika ditinjau dari
perspektif maqāṣid al-syarī’ah, nafkah rumah tangga menurut hukum Islam memiliki
relevansi yang kuat dengan lima aspek utama maqāṣid al-syarī’ah yakni memelihara
agama (hifẓ al-dīn), memelihara jiwa (hifẓ al-nafs), memelihara akal (hifẓ al-‘aql),
memelihara keturunan (hifẓ al-naṣl), dan memelihara harta (hifẓ al-māl).
Kedua, menurut hukum positif dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan inpres No. 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam,
menjelaskan tentang kewajiban nafkah suami terhadap istri. Namun, undang-undang
tentang perkawinan tidak mengatur secara rinci mengenai tanggungan seorang suami.
Hal itu berbeda dengan kompilasi hukum Islam yang mana lebih terperinci mengenai
tanggungan seorang suami yang dijelaskan pada pasal 80 dan 81. Bahwa seorang
suami sebagai pembimbing, pelindung dan memberikan segala sesuatu keperluan
keluarga salah satunya dijelaskan tentang kewajiban nafkah yang harus diberikan
oleh seorang suami kepada keluarganya meliputi nafkah kiswah (pakaian), tempat
kediaman, biaya rumah tangga, dan biaya pendidikan bagi anak sesuai dengan
kemampuanya. Secara garis besar menurut hukum Islam dan hukum positif sama
terkait persoalan nafkah dalam rumah tangga yang membedakan dalam hukum Islam
dijelaskan lebih terperinci.
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dari bab-bab sebelumnya, dalam penelitian ini
penulis dapat menyampaikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Nafkaf rumah tangga dalam hukum Islam merupakan sebuah kewajiban
yang harus diprioritaskan oleh seorang suami yaitu memberikan nafkah
meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan, termasuk
juga kebutuhan sekunder seperti perabot rumah tangga. Dalam kehidupan
berumah tangga, suami dan istri sama-sama mempunyai hak dan
kewajiban. Meskipun hak dan kewajiban tersebut berbeda sehubungan
dengan adanya perbedaan fungsi antara mereka. Jika ditinjau dari
perspektif maqāṣid al-syarī’ah, nafkah rumah tangga menurut hukum
Islam memiliki relevansi yang kuat dengan lima aspek utama maqāṣid al-
syarī’ah yakni memelihara agama (hifẓ al-dīn), jiwa (hifẓ al-nafs), akal
(hifẓ al-‘aql), keturunan (hifẓ al-naṣl), dan harta (hifẓ al-māl).
2. Menurut hukum positif dalam pasal 34 undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan dan pasal 80 dan 81 kompilasi hukum Islam,
menjelaskan tentang kewajiban nafkah suami terhadap istri. Namun,
undang-undang tentang perkawinan tidak mengatur secara rinci mengenai
tanggungan seorang suami. Hal itu berbeda dengan kompilasi hukum
Islam yang mana lebih terperinci mengenai tanggungan seorang suami.
Bahwa seorang suami sebagai pembimbing, pelindung dan memberikan
segala sesuatu keperluan keluarga salah satunya dijelaskan tentang
kewajiban nafkah yang harus diberikan oleh seorang suami kepada
keluarganya meliputi nafkah kiswah (pakaian), tempat kediaman, biaya
rumah tangga, dan biaya pendidikan bagi anak sesuai dengan
kemampuanya. Secara garis besar menurut hukum Islam dan hukum
positif sama terkait persoalan nafkah dalam rumah tangga yang
membedakan dalam hukum Islam dijelaskan lebih terperinci.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas maka penulis memberikan saran yang
sekiranya dapat dijadikan sebagai pertimbangan diantaranya:
1. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang dilakukan dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Dan
setelah adanya ikatan perkawinan tersebut akan timbul tanggung jawab
yang besar salah satunya kewajiban nafkah untuk kebutuhan dalam
berumah tangga. Saran dari penulis, sebelum berniat melakukan
perkawinan seharusnya memahami terlebih dahulu kewajiban-kewajiban
setelah berumah tangga nantinya.
2. Seorang suami sebaiknya lebih mengeksplor pengetahuan tentang nafkah,
karena nafkah merupakan kebutuhan dasar dalam berumah tangga
sehingga apabila nafkah tidak terpenuhi dengan baik maka akan
mengancam lima aspek utama maqāṣid al-syarī’ah yakni mengancam
pemeliharaan agama (hifẓ al-dīn), jiwa (hifẓ al-nafs), akal (hifẓ al-‘aql),
keturunan (hifẓ al-naṣl), dan harta (hifẓ al-māl).
hukum positif ditinjau dari perspektif maqāṣid al-syarī’ah. Adapun tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami pentingnya pemenuhan nafkah
dalam rumah tangga menurut hukum Islam dan hukum positif, kemudian akan
ditinjau dari perspektif maqāṣid al-syarī’ah. Jenis penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan atau Library research. Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah
pendekatan teologis normatif dan pendekatan yuridis normatif. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah pengutipan bahan-bahan pustaka yang berhubungan
dengan pokok penelitian yakni pengutipan langsung dan tidak langsung. Hasil
penelitian menujukkan bahwa pertama, nafkah rumah tangga menurut hukum Islam
merupakan sebuah kewajiban yang harus diprioritaskan oleh seorang suami yakni
nafkah lahir dan batin. Para fuqaha memberikan pandangan mengenai nafkah sebagai
biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam
tanggungannya, meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan,
termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabot rumah tangga. Jika ditinjau dari
perspektif maqāṣid al-syarī’ah, nafkah rumah tangga menurut hukum Islam memiliki
relevansi yang kuat dengan lima aspek utama maqāṣid al-syarī’ah yakni memelihara
agama (hifẓ al-dīn), memelihara jiwa (hifẓ al-nafs), memelihara akal (hifẓ al-‘aql),
memelihara keturunan (hifẓ al-naṣl), dan memelihara harta (hifẓ al-māl).
Kedua, menurut hukum positif dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan inpres No. 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam,
menjelaskan tentang kewajiban nafkah suami terhadap istri. Namun, undang-undang
tentang perkawinan tidak mengatur secara rinci mengenai tanggungan seorang suami.
Hal itu berbeda dengan kompilasi hukum Islam yang mana lebih terperinci mengenai
tanggungan seorang suami yang dijelaskan pada pasal 80 dan 81. Bahwa seorang
suami sebagai pembimbing, pelindung dan memberikan segala sesuatu keperluan
keluarga salah satunya dijelaskan tentang kewajiban nafkah yang harus diberikan
oleh seorang suami kepada keluarganya meliputi nafkah kiswah (pakaian), tempat
kediaman, biaya rumah tangga, dan biaya pendidikan bagi anak sesuai dengan
kemampuanya. Secara garis besar menurut hukum Islam dan hukum positif sama
terkait persoalan nafkah dalam rumah tangga yang membedakan dalam hukum Islam
dijelaskan lebih terperinci.
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dari bab-bab sebelumnya, dalam penelitian ini
penulis dapat menyampaikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Nafkaf rumah tangga dalam hukum Islam merupakan sebuah kewajiban
yang harus diprioritaskan oleh seorang suami yaitu memberikan nafkah
meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan, termasuk
juga kebutuhan sekunder seperti perabot rumah tangga. Dalam kehidupan
berumah tangga, suami dan istri sama-sama mempunyai hak dan
kewajiban. Meskipun hak dan kewajiban tersebut berbeda sehubungan
dengan adanya perbedaan fungsi antara mereka. Jika ditinjau dari
perspektif maqāṣid al-syarī’ah, nafkah rumah tangga menurut hukum
Islam memiliki relevansi yang kuat dengan lima aspek utama maqāṣid al-
syarī’ah yakni memelihara agama (hifẓ al-dīn), jiwa (hifẓ al-nafs), akal
(hifẓ al-‘aql), keturunan (hifẓ al-naṣl), dan harta (hifẓ al-māl).
2. Menurut hukum positif dalam pasal 34 undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan dan pasal 80 dan 81 kompilasi hukum Islam,
menjelaskan tentang kewajiban nafkah suami terhadap istri. Namun,
undang-undang tentang perkawinan tidak mengatur secara rinci mengenai
tanggungan seorang suami. Hal itu berbeda dengan kompilasi hukum
Islam yang mana lebih terperinci mengenai tanggungan seorang suami.
Bahwa seorang suami sebagai pembimbing, pelindung dan memberikan
segala sesuatu keperluan keluarga salah satunya dijelaskan tentang
kewajiban nafkah yang harus diberikan oleh seorang suami kepada
keluarganya meliputi nafkah kiswah (pakaian), tempat kediaman, biaya
rumah tangga, dan biaya pendidikan bagi anak sesuai dengan
kemampuanya. Secara garis besar menurut hukum Islam dan hukum
positif sama terkait persoalan nafkah dalam rumah tangga yang
membedakan dalam hukum Islam dijelaskan lebih terperinci.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas maka penulis memberikan saran yang
sekiranya dapat dijadikan sebagai pertimbangan diantaranya:
1. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang dilakukan dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Dan
setelah adanya ikatan perkawinan tersebut akan timbul tanggung jawab
yang besar salah satunya kewajiban nafkah untuk kebutuhan dalam
berumah tangga. Saran dari penulis, sebelum berniat melakukan
perkawinan seharusnya memahami terlebih dahulu kewajiban-kewajiban
setelah berumah tangga nantinya.
2. Seorang suami sebaiknya lebih mengeksplor pengetahuan tentang nafkah,
karena nafkah merupakan kebutuhan dasar dalam berumah tangga
sehingga apabila nafkah tidak terpenuhi dengan baik maka akan
mengancam lima aspek utama maqāṣid al-syarī’ah yakni mengancam
pemeliharaan agama (hifẓ al-dīn), jiwa (hifẓ al-nafs), akal (hifẓ al-‘aql),
keturunan (hifẓ al-naṣl), dan harta (hifẓ al-māl).
Ketersediaan
| SSYA20240164 | 164/2024 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
164/2024
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2024
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
