judicial Review Tentang Masa Jabatan Hakim Konstitusi (Telaah Putusan Mahkkamah Konstitusi Nomor 90/PUU- XVIII/2020)
Ahmad Albar/742352020087 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Penolakan Judicial Review Terkait Masa
Jabatan Hakim Konstitusi Di Indonesia, Dengan Fokus Pada Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 90/PUU-XVIII/2020. Tujuan penelitian ini untuk mengetahuai dasar
pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap penolakan judicial review terkait
masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi, dan membandingkan praktik penerapan
masa jabatan hakim konstitusi di beberapa negara.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis Normatif atau
penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif dengan analisis dokumen hukum dan literatur terkait
atau data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pihak lain, yakni
tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitianya. Bahan-bahan tersebut
disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dari masalah
yang diteliti.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa Mahkamah Konstitusi
menolak judicial review terkait masa jabatan hakim konstitusi dan menyatakan
perubahan tersebut sebagai kebijakan hukum terbuka untuk menjaga stabilitas dan
kontinuitas. Sebelum putusan ini, masa jabatan hakim konstitusi dibatasi oleh
periodisasi untuk mencegah akumulasi kekuasaan, sementara setelahnya, masa
jabatan diperpanjang hingga usia pensiun. Sistem baru ini mirip model Austria, tetapi
berbeda dengan Jerman yang menerapkan masa jabatan tetap untuk menjaga
independensi hakim. meskipun penghapusan batas masa jabatan dapat memberikan
stabilitas bagi institusi peradilan, hal tersebut juga menimbulkan potensi risiko
terhadap akumulasi kekuasaan dan pengaruh politik yang berlebihan. Penelitian ini
menekankan pentingnya keseimbangan antara stabilitas institusi dan kebutuhan akan
pembaruan serta akuntabilitas dalam lembaga peradilan. Indonesia perlu menerapkan
mekanisme pengawasan yang efektif guna menjaga integritas dan independensi
Mahkamah Konstitusi.
A. Kesimpulan
1. Dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor
90/PUU-XVIII/2020 menolak judicial review yang diajukan terkait penghapusan
masa jabatan hakim konstitusi. Dimana penolakan ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa perubahan mengenai masa jabatan hakim konstitusi dari
sistem periodisasi menjadi masa pensiun hingga usia 70 tahun adalah bagian dari
kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang diambil oleh pembentuk
undang-undang. Kebijakan ini dinilai sebagai upaya untuk menjaga kontinuitas
dan stabilitas dalam pelaksanaan tugas dan fungsi hakim konstitusi, meskipun
juga menimbulkan kekhawatiran terkait potensi penumpukan kekuasaan dan
penyalahgunaan wewenang.
2. Penerapan masa jabatan hakim konstitusi sebelum dan setelah Perubahan masa
jabatan hakim Mahkamah Konstitusi di Indonesia, dari sistem periodisasi
terbatas sebelum Putusan Nomor 90/PUU-XVIII/2020 ke sistem tanpa batasan
periode hingga pensiun setelah putusan a quo, mencerminkan upaya untuk
memperkuat stabilitas dan kualitas peradilan dengan memungkinkan hakim
menjabat hingga usia pensiun. Sementara sebelumnya pembatasan masa jabatan
dirancang untuk mencegah penumpukan kekuasaan, sistem baru ini, yang mirip
dengan model Austria, berpotensi menimbulkan risiko akumulasi kekuasaan jika
tidak diimbangi dengan pengawasan yang kuat. Berbeda dengan Indonesia,
Jerman menerapkan masa jabatan tetap selama 12 tahun tanpa perpanjangan
86
untuk menjaga independensi hakim dari pengaruh politik. Dengan perubahan ini,
Indonesia perlu memastikan adanya mekanisme pengawasan dan evaluasi yang
efektif untuk menjaga independensi dan integritas Mahkamah Konstitusi sebagai
penjaga konstitusi yang adil dan bebas dari pengaruh politik.
B. Saran
1. Dengan diubahnya masa jabatan hakim konstitusi menjadi tanpa batasan hingga
pensiun, diperlukan pengawasan dan evaluasi yang lebih ketat untuk mencegah
akumulasi kekuasaan dan potensi penyalahgunaan wewenang. Usulan
pengawasan ini melibatkan pihak eksternal independen seperti Komisi Yudisial
untuk menilai kinerja, integritas, transparansi, dan akuntabilitas hakim secara
berkala, memastikan mereka tetap mematuhi standar etika dan profesionalisme.
2. Peningkatan Transparansi dan Partisipasi Publik Dalam Proses Pembentukan
Undang-Undang
Putusan Nomor 90/PUU-XVIII/2020 menekankan pentingnya transparansi dan
partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang. Pemerintah dan DPR
perlu membuka akses informasi dan ruang dialog yang lebih luas dengan
masyarakat, termasuk melibatkan akademisi dan organisasi masyarakat sipil,
agar undang-undang yang dibuat lebih demokratis, inklusif, dan sesuai dengan
prinsip konstitusional.
Jabatan Hakim Konstitusi Di Indonesia, Dengan Fokus Pada Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 90/PUU-XVIII/2020. Tujuan penelitian ini untuk mengetahuai dasar
pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap penolakan judicial review terkait
masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi, dan membandingkan praktik penerapan
masa jabatan hakim konstitusi di beberapa negara.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis Normatif atau
penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif dengan analisis dokumen hukum dan literatur terkait
atau data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pihak lain, yakni
tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitianya. Bahan-bahan tersebut
disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dari masalah
yang diteliti.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa Mahkamah Konstitusi
menolak judicial review terkait masa jabatan hakim konstitusi dan menyatakan
perubahan tersebut sebagai kebijakan hukum terbuka untuk menjaga stabilitas dan
kontinuitas. Sebelum putusan ini, masa jabatan hakim konstitusi dibatasi oleh
periodisasi untuk mencegah akumulasi kekuasaan, sementara setelahnya, masa
jabatan diperpanjang hingga usia pensiun. Sistem baru ini mirip model Austria, tetapi
berbeda dengan Jerman yang menerapkan masa jabatan tetap untuk menjaga
independensi hakim. meskipun penghapusan batas masa jabatan dapat memberikan
stabilitas bagi institusi peradilan, hal tersebut juga menimbulkan potensi risiko
terhadap akumulasi kekuasaan dan pengaruh politik yang berlebihan. Penelitian ini
menekankan pentingnya keseimbangan antara stabilitas institusi dan kebutuhan akan
pembaruan serta akuntabilitas dalam lembaga peradilan. Indonesia perlu menerapkan
mekanisme pengawasan yang efektif guna menjaga integritas dan independensi
Mahkamah Konstitusi.
A. Kesimpulan
1. Dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor
90/PUU-XVIII/2020 menolak judicial review yang diajukan terkait penghapusan
masa jabatan hakim konstitusi. Dimana penolakan ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa perubahan mengenai masa jabatan hakim konstitusi dari
sistem periodisasi menjadi masa pensiun hingga usia 70 tahun adalah bagian dari
kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang diambil oleh pembentuk
undang-undang. Kebijakan ini dinilai sebagai upaya untuk menjaga kontinuitas
dan stabilitas dalam pelaksanaan tugas dan fungsi hakim konstitusi, meskipun
juga menimbulkan kekhawatiran terkait potensi penumpukan kekuasaan dan
penyalahgunaan wewenang.
2. Penerapan masa jabatan hakim konstitusi sebelum dan setelah Perubahan masa
jabatan hakim Mahkamah Konstitusi di Indonesia, dari sistem periodisasi
terbatas sebelum Putusan Nomor 90/PUU-XVIII/2020 ke sistem tanpa batasan
periode hingga pensiun setelah putusan a quo, mencerminkan upaya untuk
memperkuat stabilitas dan kualitas peradilan dengan memungkinkan hakim
menjabat hingga usia pensiun. Sementara sebelumnya pembatasan masa jabatan
dirancang untuk mencegah penumpukan kekuasaan, sistem baru ini, yang mirip
dengan model Austria, berpotensi menimbulkan risiko akumulasi kekuasaan jika
tidak diimbangi dengan pengawasan yang kuat. Berbeda dengan Indonesia,
Jerman menerapkan masa jabatan tetap selama 12 tahun tanpa perpanjangan
86
untuk menjaga independensi hakim dari pengaruh politik. Dengan perubahan ini,
Indonesia perlu memastikan adanya mekanisme pengawasan dan evaluasi yang
efektif untuk menjaga independensi dan integritas Mahkamah Konstitusi sebagai
penjaga konstitusi yang adil dan bebas dari pengaruh politik.
B. Saran
1. Dengan diubahnya masa jabatan hakim konstitusi menjadi tanpa batasan hingga
pensiun, diperlukan pengawasan dan evaluasi yang lebih ketat untuk mencegah
akumulasi kekuasaan dan potensi penyalahgunaan wewenang. Usulan
pengawasan ini melibatkan pihak eksternal independen seperti Komisi Yudisial
untuk menilai kinerja, integritas, transparansi, dan akuntabilitas hakim secara
berkala, memastikan mereka tetap mematuhi standar etika dan profesionalisme.
2. Peningkatan Transparansi dan Partisipasi Publik Dalam Proses Pembentukan
Undang-Undang
Putusan Nomor 90/PUU-XVIII/2020 menekankan pentingnya transparansi dan
partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang. Pemerintah dan DPR
perlu membuka akses informasi dan ruang dialog yang lebih luas dengan
masyarakat, termasuk melibatkan akademisi dan organisasi masyarakat sipil,
agar undang-undang yang dibuat lebih demokratis, inklusif, dan sesuai dengan
prinsip konstitusional.
Ketersediaan
| SSYA20240174 | 174/2024 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
174/2024
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2024
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
