Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA). (Tinjauan Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022).
Nurhana Reski/742352020172 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam
Mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA).
(Tinjauan Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-
XX/2022). Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan hukum
putusan Mahkamah Konstitusi di dalam UUD 1945 dan Implikasi Putusan MK Nomor
85/PUU-XX/2022 terhadap kepastian hukum. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
kedudukan hukum putusan MK di dalam UUD 1945 dan mengetahui implikasi dari
putusan yang dikeluarkan yakni putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 agar menjamin
kepastian hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum kualitatif deskriftif
analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan hukum putusan Mahkamah
Konstitusi final dan mengikat yang dalam artian putusan selesai dan tidak ada upaya
hukum lagi dan putusan yang dikeluarkan bersifat mengikat, putusan MK memiliki
kedudukan tertinggi setelah keputusan MPR karna MK lah yang hanya berwenang
melakukan penafsiran UUD 1945 yang mana UUD tersebut merupakan konstitusi yang
menjadi dasar bagi negara hukum. Melihat dari sejarah dibentuknya lembaga MK
dimana salah satu tujuan dibentuknya adalah sebagai the guardian of constitution
(pelindung konstitusi) maka dari itu MK adalah benteng pertahanan bagi UUD 1945.
Implikasi dari putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 dimana terdapat dua hal
diantaranya; MK adalah lembaga peradilan yang akan menangani perkara hasil
pemilihan umum kepala daerah secara permanen sehingga dalam artian MK lah yang
berwenang secara mutlak dan adanya perubahan makna kewenangan MK yang diatur
dalam Pasal 24C ayat (1) tentang redaksi kata “memutus perselisihan hasil Pemilu”
yang bukan lagi sebatas sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR,
DPD, DPRD melainkan masuk ke dalam ranah pemerintahan daerah yakni sengketa
hasil pemilihan kepala daerah untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati
dan wakil bupati, dan walikota dan wakil walikota. Hal ini pula di dukung dengan
putusan MK nomor 85/PUU-XX/2022 dan undang-undang yang mengatur hal yang
sama dimana tidak lagi membedakan antara pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan
kepala daerah (Pilkada) sehingga Pilkada berubah menjadi pemilihan umum kepala
daerah (Pemilukada).
A. Simpulan
Berdasarkan analisis Peneliti, maka Peneliti menyimpulkan:
1. Kedudukan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dilihat dari kedudukan dan
kewenangan MK di dalam UUD 1945, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final dan mengikat”, dari ketentuan tersebut
mencerminkan kekuatan hukum putusan yang dikeluarkan MK. Jika dilihat dari
kata “final” dan “mengikat”, final yang artinya bahwa sifat putusan MK adalah
langsung dapat dilaksanakan. Sebab proses peradilan MK merupakan proses
peradilan yang pertama dan terakhir, dengan kata lain, setelah mendapat
putusan, maka tidak ada lagi forum peradilan yang dapat ditempuh. Selain itu
sifat final dan mengikat juga ini diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK, sifat
putusan MK final dan binding artinya putusan MK langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat
ditempuh. Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum
mengikat (final and binding). Maka dari itu dengan sifat putusan yang dimiliki,
MK seharusnya lebih mempertegas kedudukannya melalui putusan yang
dikeluarkan agar orang yang membaca atau mendengar putusan tersebut tidak
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 tentang Kewenangan MK
Mengadili Hasil Pemilihan Kepala Daerah menjadikan MK sebagai pemegang
kewenangan secara permanen, yang dipertegas di dalam amar putusan yang
menyatakan “Badan peradilan khusus tidak lagi akan dibentuk dan
penyelesaian perselisihan hasil pilkada diselesaikan oleh MK secara
permanen”, dari amar putusan memberikan penegasan bahwa badan peradilan
khusus tidak lagi akan dibentuk dan yang memegang kewenangan mengadili
perkara hasil pilkada adalah MK. Adanya putusan ini menjadikan Pasal 157
ayat (1) dan ayat (2) UU pilkada Nomor 10 tahun 2016 tidak lagi mempunyai
kekuatan hukum, dimana di dalam Pasal tersebut mengatur keberadaan badan
peradilan khusus yang akan menangani perkara hasil pilkada, dan sifat
kesementaraan MK menjadi hilang.
B. Saran
1. Melakukan perubahan/amandemen UUD 1945 agar lebih memberikan
kepastian hukum, terutama melakukan perubahan pada Pasal 24C ayat (1) yang
mengatur tentang kewenangan MK. Perlunya penambahan kewenangan MK
dalam mengadili perkara hasil Pemilihan Kepala Daerah menjadi kewenangan
MK dengan tujuan untuk memberikan legitimasi dan memberikan kepastian,
kemanfaatan dan menjamin keadilan bagi seluruh warga negara. Dengan
diaturnya kewenangan tersebut di dalam UUD Tahun 1945 maka tidak ada lagi
gugatan mengenai kewenangan MK yang diajukan karna telah diatur di dalam
Konstitusi.
2. Lembaga legislatif harus melakukan perubahan di dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dengan menambahkan Pasal dan
atau/menggantikan bunyi Pasal 157 ayat (1) menjadi “Mahkamah Konstitusi
adalah lembaga yang berwenang mengadili perkara hasil pemilihan kepala
daerah” ayat (2) “Perkara hasil pemilihan kepala daerah diselesaikan oleh
Mahkamah Konstitusi sesuai kewenangannya yang diatur di dalam Konstitusi”.
Mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA).
(Tinjauan Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-
XX/2022). Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan hukum
putusan Mahkamah Konstitusi di dalam UUD 1945 dan Implikasi Putusan MK Nomor
85/PUU-XX/2022 terhadap kepastian hukum. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
kedudukan hukum putusan MK di dalam UUD 1945 dan mengetahui implikasi dari
putusan yang dikeluarkan yakni putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 agar menjamin
kepastian hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum kualitatif deskriftif
analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan hukum putusan Mahkamah
Konstitusi final dan mengikat yang dalam artian putusan selesai dan tidak ada upaya
hukum lagi dan putusan yang dikeluarkan bersifat mengikat, putusan MK memiliki
kedudukan tertinggi setelah keputusan MPR karna MK lah yang hanya berwenang
melakukan penafsiran UUD 1945 yang mana UUD tersebut merupakan konstitusi yang
menjadi dasar bagi negara hukum. Melihat dari sejarah dibentuknya lembaga MK
dimana salah satu tujuan dibentuknya adalah sebagai the guardian of constitution
(pelindung konstitusi) maka dari itu MK adalah benteng pertahanan bagi UUD 1945.
Implikasi dari putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 dimana terdapat dua hal
diantaranya; MK adalah lembaga peradilan yang akan menangani perkara hasil
pemilihan umum kepala daerah secara permanen sehingga dalam artian MK lah yang
berwenang secara mutlak dan adanya perubahan makna kewenangan MK yang diatur
dalam Pasal 24C ayat (1) tentang redaksi kata “memutus perselisihan hasil Pemilu”
yang bukan lagi sebatas sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR,
DPD, DPRD melainkan masuk ke dalam ranah pemerintahan daerah yakni sengketa
hasil pemilihan kepala daerah untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati
dan wakil bupati, dan walikota dan wakil walikota. Hal ini pula di dukung dengan
putusan MK nomor 85/PUU-XX/2022 dan undang-undang yang mengatur hal yang
sama dimana tidak lagi membedakan antara pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan
kepala daerah (Pilkada) sehingga Pilkada berubah menjadi pemilihan umum kepala
daerah (Pemilukada).
A. Simpulan
Berdasarkan analisis Peneliti, maka Peneliti menyimpulkan:
1. Kedudukan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dilihat dari kedudukan dan
kewenangan MK di dalam UUD 1945, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final dan mengikat”, dari ketentuan tersebut
mencerminkan kekuatan hukum putusan yang dikeluarkan MK. Jika dilihat dari
kata “final” dan “mengikat”, final yang artinya bahwa sifat putusan MK adalah
langsung dapat dilaksanakan. Sebab proses peradilan MK merupakan proses
peradilan yang pertama dan terakhir, dengan kata lain, setelah mendapat
putusan, maka tidak ada lagi forum peradilan yang dapat ditempuh. Selain itu
sifat final dan mengikat juga ini diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK, sifat
putusan MK final dan binding artinya putusan MK langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat
ditempuh. Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum
mengikat (final and binding). Maka dari itu dengan sifat putusan yang dimiliki,
MK seharusnya lebih mempertegas kedudukannya melalui putusan yang
dikeluarkan agar orang yang membaca atau mendengar putusan tersebut tidak
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 tentang Kewenangan MK
Mengadili Hasil Pemilihan Kepala Daerah menjadikan MK sebagai pemegang
kewenangan secara permanen, yang dipertegas di dalam amar putusan yang
menyatakan “Badan peradilan khusus tidak lagi akan dibentuk dan
penyelesaian perselisihan hasil pilkada diselesaikan oleh MK secara
permanen”, dari amar putusan memberikan penegasan bahwa badan peradilan
khusus tidak lagi akan dibentuk dan yang memegang kewenangan mengadili
perkara hasil pilkada adalah MK. Adanya putusan ini menjadikan Pasal 157
ayat (1) dan ayat (2) UU pilkada Nomor 10 tahun 2016 tidak lagi mempunyai
kekuatan hukum, dimana di dalam Pasal tersebut mengatur keberadaan badan
peradilan khusus yang akan menangani perkara hasil pilkada, dan sifat
kesementaraan MK menjadi hilang.
B. Saran
1. Melakukan perubahan/amandemen UUD 1945 agar lebih memberikan
kepastian hukum, terutama melakukan perubahan pada Pasal 24C ayat (1) yang
mengatur tentang kewenangan MK. Perlunya penambahan kewenangan MK
dalam mengadili perkara hasil Pemilihan Kepala Daerah menjadi kewenangan
MK dengan tujuan untuk memberikan legitimasi dan memberikan kepastian,
kemanfaatan dan menjamin keadilan bagi seluruh warga negara. Dengan
diaturnya kewenangan tersebut di dalam UUD Tahun 1945 maka tidak ada lagi
gugatan mengenai kewenangan MK yang diajukan karna telah diatur di dalam
Konstitusi.
2. Lembaga legislatif harus melakukan perubahan di dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dengan menambahkan Pasal dan
atau/menggantikan bunyi Pasal 157 ayat (1) menjadi “Mahkamah Konstitusi
adalah lembaga yang berwenang mengadili perkara hasil pemilihan kepala
daerah” ayat (2) “Perkara hasil pemilihan kepala daerah diselesaikan oleh
Mahkamah Konstitusi sesuai kewenangannya yang diatur di dalam Konstitusi”.
Ketersediaan
| SSYA20240123 | 123/2024 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
123/2024
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2024
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
