Pembebasan Bersyarat Narapidana Residivis (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Watampone)
Fadhilah Eka Nur Yusma/742352019088 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Pembebasan Bersyarat Narapidana Residivis (Studi Di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Watampone). Permasalahan dalam penelitian
ini adalah bagaimana prosedur pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana
residivis dan bagaimana implikasi terhadap pemberian hak pembebasan bersyarat
bagi narapidana residivis. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui serta
mendalami prosedur pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana residivis
dan bagaimana implikasi terhadap pemberian hak pembebasan bersyarat bagi
narapidana residivis. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research)
yang melibatkan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Watampone sebagai tempat
pengujian pembebasan bersyarat bagi narapidana residivis, dianalisis dengan
pendekatan yuridis empiris dan dibahas dengan menggunakan metode analisis
deskriptif kualitatif.
Penelitian ini mengemukakan bahwa pembebasan bersyarat merupakan hak setiap
narapidana, termasuk narapidana residivis. UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor
22 tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan dan peraturan turunannya Permenkumham
Nomor 7 tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas Permenkumham Nomor 3 Tahun
2018 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi
Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang bebas dan Cuti Bersyarat telah
menjamin dan mengatur hak-hak narapidana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
setelah narapidana memenuhi persyaratan baik syarat substantif maupun syarat
administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, selanjutnya
petugas Lembaga Pemasyarakatan mendata narapidana yang ingin diusulkan
pembebasan bersyarat dilanjutkan dengan prosedur selanjutnya. Seperti melakukan
sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan), meneruskan ke Kanwil, meneruskan ke
Direktur Jendral Pemasyarakatan dan barulah kemudian di cetak SK Pembebasan
Bersyarat. Namun dalam pemberian pembebasan bersyarat ini khususnya bagi
narapidana residivis tentunya memiliki implikasi baik bagi narapidana itu sendiri,
keluarganya, masyarakat dan juga lembaga pemasyarakatan.
A. Simpulan
1. Setelah narapidana memenuhi persyaratan baik syarat substantif maupun
syarat administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, selanjutnya petugas Lapas mendata narapidana yang ingin diusulkan
pembebasan bersyarat. Adapun prosedur pelaksanaan pemberian pembebasan
bersyarat adalah sebagai berikut:
a. Petugas Lapas yang bertugas menjadi wali narapidana mengajukan nama-
nama narapidana yang telah memenuhi persyaratan baik syarat substantif
maupun administratif.
b. Pemeriksaan kelengkapan data dan dokumen.
c. Melaksanakan sidang TPP dan hasilnya disampaikan kepada kepala
Lapas.
d. Kepala Lapas menyetujui usulan dan dilanjutkan proses pengiriman dan
konsolidasi data melalui Sistem Database Pemasyarakatan (SDP).
e. Kepala Lapas meneruskan ke Kepala Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM.
f. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM melaksanakan sidang
TPP dan meneruskan hasilnya ke Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
g. Direktur Jenderal Pemasyarakatan melaksanakan sidang TPP setelah
menerima usulan dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.
h. Direktur Jenderal Pemasyarakatan menetapkan Surak Keterangan
Pembebasan Bersyarat atas Nama Menteri Hukum dan HAM
i. Lapas menerima Surat Keterangan Pembebasan Bersyarat dan melakukan
pengecekan terhadap SK tersebut.
j. Lapas melaksanakan Surat Keterangan Pembebasan Bersyarat.
2. Implikasi dari pemberian pembebasan bersyarat adalah sebagai berikut:
a. Implikasi bagi masyarakat, pemberian pembebasan bersyarat bagi
narapidana residivis bisa meningkatkan potensi ancaman kepada
masyarakat ketika kurangnya pengawasan terhadap narapidana tersebut
dan dapat menimbulkan tindak pidana lagi.
b. Implikasi bagi Lembaga Pemasyarakatan, pemberian pembebasan
bersyarat ini dapat mengurangi over kapasitas di dalam lembaga
Pemasyarakatan.
c. Implikasi bagi narapidana, pemberian pembebasan bersyarat ini dapat
memberikan kesempatan baru bagi dirinya untuk lebih berintegrasi
dengan masyarakat dan dapat memberikan efek jera bagi narapidana
tersebut. Namun, ada juga implikasi negatif bagi narapidana terhadap
pembebasan bersyarat yaitu ketika stigma sosial yang dapat
mempengaruhi kemampuan seorang narapidana untuk mendapatkan
pekerjaan dan membangun kehidupan yang stabil.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dan memperhatikan
hasinya, maka peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Ketentuan pemberian pembebasan bersyarat tidak seharusnya diberikan
kepada seluruh narapidana khususnya residivis tanpa memandang
kejahatannya terkecuali bagi narapidana yang dikenakan hukuman seumur
hidup atau pidana mati tidak konsisten dengan tujuan teori pemidanaan yang
diterapkan dalam Hukum Pidana di Indonesia. Hal ini membuat celah hukum
bagi narapidana untuk mendapatkan keringanan dalam masa tahanan.
Harusnya ada perbedaan khusus dimasing-masing perbuatan pidana dengan
melihat masa lalu yang diperbuat dan oleh karena belum jelasnya aturan
pemberian pembebasan bersyarat, maka lapas wajib mengambil tindakan
segera untuk menjamin tercapainya tujuan pemidanaan dan tujuan lembaga
pemasyarakatan.
2. Pembebasan bersyarat bagi narapidana residivis harusnya perlu ada
peningkatan koordinasi antar instansi yang terkait di lingkungan Kementerian
Hukum dan HAM, baik itu Lembaga Pemasyarakatan, Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM, Direktorat Jenderal, ataupun pihak lain yang
terkait seperti kejaksaan, pengadilan, kepolisian dan pihak-pihak lain.
Disamping itu, profesionalisme petugas lembaga Pemasyarakatan tentunya
perlu ditingkatkan baik dari segi pelayanan maupun kualitas dalam
melaksanakan proses pembinaan dan pemberian hak-hak narapidana, salah
satunya pemberian hak mendapat bebas bersyarat.
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Watampone). Permasalahan dalam penelitian
ini adalah bagaimana prosedur pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana
residivis dan bagaimana implikasi terhadap pemberian hak pembebasan bersyarat
bagi narapidana residivis. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui serta
mendalami prosedur pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana residivis
dan bagaimana implikasi terhadap pemberian hak pembebasan bersyarat bagi
narapidana residivis. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research)
yang melibatkan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Watampone sebagai tempat
pengujian pembebasan bersyarat bagi narapidana residivis, dianalisis dengan
pendekatan yuridis empiris dan dibahas dengan menggunakan metode analisis
deskriptif kualitatif.
Penelitian ini mengemukakan bahwa pembebasan bersyarat merupakan hak setiap
narapidana, termasuk narapidana residivis. UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor
22 tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan dan peraturan turunannya Permenkumham
Nomor 7 tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas Permenkumham Nomor 3 Tahun
2018 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi
Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang bebas dan Cuti Bersyarat telah
menjamin dan mengatur hak-hak narapidana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
setelah narapidana memenuhi persyaratan baik syarat substantif maupun syarat
administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, selanjutnya
petugas Lembaga Pemasyarakatan mendata narapidana yang ingin diusulkan
pembebasan bersyarat dilanjutkan dengan prosedur selanjutnya. Seperti melakukan
sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan), meneruskan ke Kanwil, meneruskan ke
Direktur Jendral Pemasyarakatan dan barulah kemudian di cetak SK Pembebasan
Bersyarat. Namun dalam pemberian pembebasan bersyarat ini khususnya bagi
narapidana residivis tentunya memiliki implikasi baik bagi narapidana itu sendiri,
keluarganya, masyarakat dan juga lembaga pemasyarakatan.
A. Simpulan
1. Setelah narapidana memenuhi persyaratan baik syarat substantif maupun
syarat administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, selanjutnya petugas Lapas mendata narapidana yang ingin diusulkan
pembebasan bersyarat. Adapun prosedur pelaksanaan pemberian pembebasan
bersyarat adalah sebagai berikut:
a. Petugas Lapas yang bertugas menjadi wali narapidana mengajukan nama-
nama narapidana yang telah memenuhi persyaratan baik syarat substantif
maupun administratif.
b. Pemeriksaan kelengkapan data dan dokumen.
c. Melaksanakan sidang TPP dan hasilnya disampaikan kepada kepala
Lapas.
d. Kepala Lapas menyetujui usulan dan dilanjutkan proses pengiriman dan
konsolidasi data melalui Sistem Database Pemasyarakatan (SDP).
e. Kepala Lapas meneruskan ke Kepala Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM.
f. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM melaksanakan sidang
TPP dan meneruskan hasilnya ke Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
g. Direktur Jenderal Pemasyarakatan melaksanakan sidang TPP setelah
menerima usulan dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.
h. Direktur Jenderal Pemasyarakatan menetapkan Surak Keterangan
Pembebasan Bersyarat atas Nama Menteri Hukum dan HAM
i. Lapas menerima Surat Keterangan Pembebasan Bersyarat dan melakukan
pengecekan terhadap SK tersebut.
j. Lapas melaksanakan Surat Keterangan Pembebasan Bersyarat.
2. Implikasi dari pemberian pembebasan bersyarat adalah sebagai berikut:
a. Implikasi bagi masyarakat, pemberian pembebasan bersyarat bagi
narapidana residivis bisa meningkatkan potensi ancaman kepada
masyarakat ketika kurangnya pengawasan terhadap narapidana tersebut
dan dapat menimbulkan tindak pidana lagi.
b. Implikasi bagi Lembaga Pemasyarakatan, pemberian pembebasan
bersyarat ini dapat mengurangi over kapasitas di dalam lembaga
Pemasyarakatan.
c. Implikasi bagi narapidana, pemberian pembebasan bersyarat ini dapat
memberikan kesempatan baru bagi dirinya untuk lebih berintegrasi
dengan masyarakat dan dapat memberikan efek jera bagi narapidana
tersebut. Namun, ada juga implikasi negatif bagi narapidana terhadap
pembebasan bersyarat yaitu ketika stigma sosial yang dapat
mempengaruhi kemampuan seorang narapidana untuk mendapatkan
pekerjaan dan membangun kehidupan yang stabil.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dan memperhatikan
hasinya, maka peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Ketentuan pemberian pembebasan bersyarat tidak seharusnya diberikan
kepada seluruh narapidana khususnya residivis tanpa memandang
kejahatannya terkecuali bagi narapidana yang dikenakan hukuman seumur
hidup atau pidana mati tidak konsisten dengan tujuan teori pemidanaan yang
diterapkan dalam Hukum Pidana di Indonesia. Hal ini membuat celah hukum
bagi narapidana untuk mendapatkan keringanan dalam masa tahanan.
Harusnya ada perbedaan khusus dimasing-masing perbuatan pidana dengan
melihat masa lalu yang diperbuat dan oleh karena belum jelasnya aturan
pemberian pembebasan bersyarat, maka lapas wajib mengambil tindakan
segera untuk menjamin tercapainya tujuan pemidanaan dan tujuan lembaga
pemasyarakatan.
2. Pembebasan bersyarat bagi narapidana residivis harusnya perlu ada
peningkatan koordinasi antar instansi yang terkait di lingkungan Kementerian
Hukum dan HAM, baik itu Lembaga Pemasyarakatan, Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM, Direktorat Jenderal, ataupun pihak lain yang
terkait seperti kejaksaan, pengadilan, kepolisian dan pihak-pihak lain.
Disamping itu, profesionalisme petugas lembaga Pemasyarakatan tentunya
perlu ditingkatkan baik dari segi pelayanan maupun kualitas dalam
melaksanakan proses pembinaan dan pemberian hak-hak narapidana, salah
satunya pemberian hak mendapat bebas bersyarat.
Ketersediaan
| SSYA20240038 | 38/2024 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
38/2024
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2024
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
