Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XII/2023 Terhadap perubahan Batas Usia Capres Dan Cawapres (Studi Kritis Terhadap Norma Baru Dengan Tinjaun Siyasah Syariah)
Andi Prita Andini/742352020044 - Personal Name
Skripsi ini membahas mengenai putusan Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-
XII/2023 tentang syarat usia capres dan cawapres yang dalam putusannya Mahkamah
Konstitusi telah menambahkan norma yang semestinya tidak sesuai dengan konsep
awal pembentukan Mahkamah Konstitusi, yakni menguji norma yang sudah ada
untuk dinilai konstitusional atau inkonstitusional. Sedangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi ini mengabulkan permohonan untuk sebagian yang dalam
amar putusannya menambahkan norma baru yang sebelumnya tidak ada atau tidak
diatur. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) melalui
pendekatan per-undang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach),yang dibahas dengan menggunakan metode menganalisis data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan dalam membentuk norma
hukum merupakan kewenangan dari pembentuk Undang-Undang Tidak ada dasar
hukum yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi dapat membentuk norma
hukum baru, namun dalam keadaan yang mendesak dan berkaitan dengan Hak Asasi
Manusia, Mahkamah Konstitusi dapat membuat norma hukum baru pembentukan
norma hukum baru oleh Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk mencegah
kekosongan hukum. sehingga sepanjang putusan tersebut dilandasi oleh argumentasi
yang kuat demi memberi rasa keadilan.Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku
kekuasaan kahakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan demi menegakkan
hukum dan keadilan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah untuk
menghindari kekosongan hukum. Sehingga Mahkamah Konstitusi melakukan
inovasi, penemuan, dan terobosan dalam membuat suatu putusan, sehingga sepanjang
putusan tersebut dilandasi oleh argumentasi yang kuat demi memberi rasa keadilan,
maka putusan tersebut harus diterima semua pihak. Mahkamah Konstitusi
mengedepankan keadilan substantif yaitu keadilan yang lebih didasarkan pada adanya
kebenaran materil dari pada kebenaran formal procedural.implikasi putusan
Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XXI/2023 dapat dilihat bahwa Mahkamah
Konstitusi mengambil alih fungsi legislasi atau pembuatan Undang-Undang yang
seharusnya menjadi kewenangan DPR RI dan pemerintah. Adapun peran Mahkamah
Konstitusi sebagai negative legislator yaitu membatalkan secara materi putusan
No.90/PUU-XXI/2023 yang di keluarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang diketuai
oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang memuat beberapa isu
antara lain open legal policy, konflik kepentingan, dan negative legislator Dampak
dari putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat positif legislator dalam perspektif
maqasid syariah ini telah memberikan keadilan Didalam hukum Islam, diistilahkan
sebagai ijtihad, hakim dituntut untuk berijtihat terlebih dahulu sebelum memutus
perkara Sepanjang putusan berdasarkan perundang-undangan tersebut dilandasi oleh
argumentasi yang kuat demi memberi rasa keadilan, maka putusan tersebut harus
diterima semua pihak. Karena inti dari maqashid assyar’iyyah, adalah kemaslahatan.
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis penulis, maka penulis menyimpulkan:
1. Kewenangan dalam membentuk norma hukum merupakan kewenangan dari
pembentuk Undang-Undang Tidak ada dasar hukum yang menyatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi dapat membentuk norma hukum baru, namun
dalam keadaan yang mendesak dan berkaitan dengan Hak Asasi Manusia,
Mahkamah Konsitusi dapat membuat norma hukum baru pembentukan
norma hukum baru oleh Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk mencegah
kekosongan hukum jika Mahkamah Konstitusi telah membatalkan suatu
materi yang bertentangan dengan konstitusi.
2. Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kahakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan demi menegakkan hukum dan keadilan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut adalah untuk menghindari kekosongan
hukum. Sehingga Mahkamah Konstitusi melakukan inovasi, penemuan, dan
terobosan dalam membuat suatu putusan, sehingga sepanjang putusan
tersebut dilandasi oleh argumentasi yang kuat demi memberi rasa keadilan,
maka putusan tersebut harus diterima semua pihak. Mahkamah Konstitusi
mengedepankan keadilan substantif yaitu keadilan yang lebih didasarkan
pada adanya kebenaran materil dari pada kebenaran formal procedural.
3. implikasi putusan Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XXI/2023 dapat
dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi mengambil alih fungsi legislasi atau
pembuatan Undang-Undang yang seharusnya menjadi kewenangan DPR RI
dan pemerintah. Adapun peran Mahkamah Konstitusi sebagai negative
legislator yaitu membatalkan atau menyatakan tidak sah terhadap norma-
norma yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945, secara materi putusan
No.90/PUU-XXI/2023 yang di keluarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang
diketuai oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memuat
beberapa isu antara lain open legal policy, konflik kepentingan, dan
negative legislator Dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi yang
bersifat positif legislator dalam perspektif maqasid syariah ini telah
memberikan keadilan Didalam hukum Islam, diistilahkan sebagai ijtihad,
hakim dituntut untuk berijtihat terlebih dahulu sebelum memutus perkara
Sepanjang putusan berdasarkan perundang-undangan tersebut dilandasi oleh
argumentasi yang kuat demi memberi rasa keadilan, maka putusan tersebut
harus diterima semua pihak. Karena inti dari maqashid assyar’iyyah, adalah
kemaslahatan.
B. Saran
1. Bagi pembentuk Undang-Undang agar mempertimbankan pembentukan
dasar hukum berupa batasan-batasan yang jelas bagi Mahkamah Konstitusi
untuk membentuk norma hukum baru di dalamnya. Selain itu, diharapkan
pembentuk Undang-Undang lebih sigap dalam menanggapi putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan perkara, sehingga pada nantinya,
Mahkamah Konstitusi tidak perlu lagi berperan sebagai positive legislator
2. Bagi hakim Mahkamah Konstitusi, perlu di pertimbangkan semangat
pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator,
sehingga diharapkan Mahkamah Konstitusi dapat mengurangi intervensi
dalam pembentukan norma hukum yang merupakan kewenangan
pembentuk Undang-Undang Bagi masyarakat, diperlukan meningkatkan
kesadaran bahwa yang memiliki kewenangan untuk membentuk Undang-
Undang adalah DPR bersama-sama dengan presiden, dan kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator hanya membatalkan
Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
3. Kepada Mahkamah Konstitusi seharusnya menuliskan ketentuan yang pasti
mengenai ketidakadilan yang intolerable yang dimaksud, hal ini menjadi
penting sebab publik dan pembentuk Undang-Undang khususnya dapat
membedakan dengan pasti mana Open Legal Policy yang merupakan
kewenangan pembentuk Undang-Undang, dan mana Open Legal Policy
yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal
ketidakadilan yang intolerable, frasa “ketidakadilan yang intolerable” ini
benar-benar membingungkan. Harusnya, agar bisa menjamin kepasian
hukum, disebutkan ukuran-ukuran konkret suatu norma Undang-Undang
tidak adil dalam makna ditoleransi dan tidak adil dalam makna tidak
ditoleransi (intolerable) ambiguitas semacam ini seharusnya tidak terjadi
dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding.
4. Bagi perguruan tinggi agar tetap melakukan penelitian terkhusus tentang
kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator agar bisa
dijadikan rujukan dalam ilmu pengetahuan
XII/2023 tentang syarat usia capres dan cawapres yang dalam putusannya Mahkamah
Konstitusi telah menambahkan norma yang semestinya tidak sesuai dengan konsep
awal pembentukan Mahkamah Konstitusi, yakni menguji norma yang sudah ada
untuk dinilai konstitusional atau inkonstitusional. Sedangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi ini mengabulkan permohonan untuk sebagian yang dalam
amar putusannya menambahkan norma baru yang sebelumnya tidak ada atau tidak
diatur. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) melalui
pendekatan per-undang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach),yang dibahas dengan menggunakan metode menganalisis data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan dalam membentuk norma
hukum merupakan kewenangan dari pembentuk Undang-Undang Tidak ada dasar
hukum yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi dapat membentuk norma
hukum baru, namun dalam keadaan yang mendesak dan berkaitan dengan Hak Asasi
Manusia, Mahkamah Konstitusi dapat membuat norma hukum baru pembentukan
norma hukum baru oleh Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk mencegah
kekosongan hukum. sehingga sepanjang putusan tersebut dilandasi oleh argumentasi
yang kuat demi memberi rasa keadilan.Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku
kekuasaan kahakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan demi menegakkan
hukum dan keadilan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah untuk
menghindari kekosongan hukum. Sehingga Mahkamah Konstitusi melakukan
inovasi, penemuan, dan terobosan dalam membuat suatu putusan, sehingga sepanjang
putusan tersebut dilandasi oleh argumentasi yang kuat demi memberi rasa keadilan,
maka putusan tersebut harus diterima semua pihak. Mahkamah Konstitusi
mengedepankan keadilan substantif yaitu keadilan yang lebih didasarkan pada adanya
kebenaran materil dari pada kebenaran formal procedural.implikasi putusan
Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XXI/2023 dapat dilihat bahwa Mahkamah
Konstitusi mengambil alih fungsi legislasi atau pembuatan Undang-Undang yang
seharusnya menjadi kewenangan DPR RI dan pemerintah. Adapun peran Mahkamah
Konstitusi sebagai negative legislator yaitu membatalkan secara materi putusan
No.90/PUU-XXI/2023 yang di keluarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang diketuai
oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang memuat beberapa isu
antara lain open legal policy, konflik kepentingan, dan negative legislator Dampak
dari putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat positif legislator dalam perspektif
maqasid syariah ini telah memberikan keadilan Didalam hukum Islam, diistilahkan
sebagai ijtihad, hakim dituntut untuk berijtihat terlebih dahulu sebelum memutus
perkara Sepanjang putusan berdasarkan perundang-undangan tersebut dilandasi oleh
argumentasi yang kuat demi memberi rasa keadilan, maka putusan tersebut harus
diterima semua pihak. Karena inti dari maqashid assyar’iyyah, adalah kemaslahatan.
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis penulis, maka penulis menyimpulkan:
1. Kewenangan dalam membentuk norma hukum merupakan kewenangan dari
pembentuk Undang-Undang Tidak ada dasar hukum yang menyatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi dapat membentuk norma hukum baru, namun
dalam keadaan yang mendesak dan berkaitan dengan Hak Asasi Manusia,
Mahkamah Konsitusi dapat membuat norma hukum baru pembentukan
norma hukum baru oleh Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk mencegah
kekosongan hukum jika Mahkamah Konstitusi telah membatalkan suatu
materi yang bertentangan dengan konstitusi.
2. Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kahakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan demi menegakkan hukum dan keadilan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut adalah untuk menghindari kekosongan
hukum. Sehingga Mahkamah Konstitusi melakukan inovasi, penemuan, dan
terobosan dalam membuat suatu putusan, sehingga sepanjang putusan
tersebut dilandasi oleh argumentasi yang kuat demi memberi rasa keadilan,
maka putusan tersebut harus diterima semua pihak. Mahkamah Konstitusi
mengedepankan keadilan substantif yaitu keadilan yang lebih didasarkan
pada adanya kebenaran materil dari pada kebenaran formal procedural.
3. implikasi putusan Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XXI/2023 dapat
dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi mengambil alih fungsi legislasi atau
pembuatan Undang-Undang yang seharusnya menjadi kewenangan DPR RI
dan pemerintah. Adapun peran Mahkamah Konstitusi sebagai negative
legislator yaitu membatalkan atau menyatakan tidak sah terhadap norma-
norma yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945, secara materi putusan
No.90/PUU-XXI/2023 yang di keluarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang
diketuai oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memuat
beberapa isu antara lain open legal policy, konflik kepentingan, dan
negative legislator Dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi yang
bersifat positif legislator dalam perspektif maqasid syariah ini telah
memberikan keadilan Didalam hukum Islam, diistilahkan sebagai ijtihad,
hakim dituntut untuk berijtihat terlebih dahulu sebelum memutus perkara
Sepanjang putusan berdasarkan perundang-undangan tersebut dilandasi oleh
argumentasi yang kuat demi memberi rasa keadilan, maka putusan tersebut
harus diterima semua pihak. Karena inti dari maqashid assyar’iyyah, adalah
kemaslahatan.
B. Saran
1. Bagi pembentuk Undang-Undang agar mempertimbankan pembentukan
dasar hukum berupa batasan-batasan yang jelas bagi Mahkamah Konstitusi
untuk membentuk norma hukum baru di dalamnya. Selain itu, diharapkan
pembentuk Undang-Undang lebih sigap dalam menanggapi putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan perkara, sehingga pada nantinya,
Mahkamah Konstitusi tidak perlu lagi berperan sebagai positive legislator
2. Bagi hakim Mahkamah Konstitusi, perlu di pertimbangkan semangat
pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator,
sehingga diharapkan Mahkamah Konstitusi dapat mengurangi intervensi
dalam pembentukan norma hukum yang merupakan kewenangan
pembentuk Undang-Undang Bagi masyarakat, diperlukan meningkatkan
kesadaran bahwa yang memiliki kewenangan untuk membentuk Undang-
Undang adalah DPR bersama-sama dengan presiden, dan kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator hanya membatalkan
Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
3. Kepada Mahkamah Konstitusi seharusnya menuliskan ketentuan yang pasti
mengenai ketidakadilan yang intolerable yang dimaksud, hal ini menjadi
penting sebab publik dan pembentuk Undang-Undang khususnya dapat
membedakan dengan pasti mana Open Legal Policy yang merupakan
kewenangan pembentuk Undang-Undang, dan mana Open Legal Policy
yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal
ketidakadilan yang intolerable, frasa “ketidakadilan yang intolerable” ini
benar-benar membingungkan. Harusnya, agar bisa menjamin kepasian
hukum, disebutkan ukuran-ukuran konkret suatu norma Undang-Undang
tidak adil dalam makna ditoleransi dan tidak adil dalam makna tidak
ditoleransi (intolerable) ambiguitas semacam ini seharusnya tidak terjadi
dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding.
4. Bagi perguruan tinggi agar tetap melakukan penelitian terkhusus tentang
kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator agar bisa
dijadikan rujukan dalam ilmu pengetahuan
Ketersediaan
| SSYA20240084 | 84/2024 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
84/2024
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2024
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
