Pembebasan Bersyarat Bagi Pelaku Extraordinary Crime (Analisis Empiris dan Maqashid Syariah)
Nurul Fadhilah/742352020018 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Pembebasan Bersyarat bagi Pelaku Extraordinary Crime dengan
Analisis Empiris dan Maqashid Syariah di Lembaga Pemsyarakatan Kelas II A Watampone.
Pokok permasalahan penelitian ini implementasi prosedural pemberian pembebasan bersyarat
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Watampone dan penerapan prinsip keadilan dalam
hukum di Indonesia dan tinjauan maqashid syariah terhadap pembebasan bersyarat Undang-
Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan terhadap pelaku Extraordinary Crime.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pembebasan bersyarat bagi pelaku
extraordinary crime diatur dalam Pasal 94 sampai Pasal 101 Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia No. 3 Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi,
Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan
Cuti Bersyarat. Ditinjau dari hukum positif tetap mengamini prinsip keadilan berdasar pada
ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD RI 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”. Dikuatkan dengan asas equality before the law artinya setiap orang sama dimata
hukum. Dan dari tinjauan Maqasid Syariah pun juga mengamini prinsip keadilan berdasar pada
Maqasid 'ammah yaitu Al-Musawah (Kesetaraan) maka pembebasan bersyarat dapat berlaku
untuk setiap narapidana termasuk narapidana pelaku extraordinary crime sebagai bentuk
pembinaan bagi narapidana.
Implikasi dari penelitian ini adalah 1) Optimalisasi penyelenggaraan kebijakan regulasi sebagai
wujud pengetatan seperti putusan hakim harus sesuai dengan tindak kejahatan, tidak ada
intervensi dari berbagai pihak terhadap pemberian kebijakan pembebasan bersyarat seperti
rekomendasi dari penegak hukum yang lain ketika telah menjadi warga binaan
pemasyarakatan; 2) Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa
prosedural dan syarat kebijakan pembebasan bersyarat pelaku extraordinary crime berbeda
dengan pelaku kejahatan lainnya, sebagaimana adagium hukum Moneat Lex Priusquam Feriat
artinya Undang-Undang harus disosialisasikan terlebih dahulu sebelum digunakan agar tidak
adanya penafsiran tumpang tindih prinsip keadilan.
A. Simpulan
1. Prosedur pemberian kebijakan pembebasan bersyarat diatur dalam Pasal 94
sampai Pasal 101 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 3
Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti
Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan
Cuti Bersyarat. Dengan ketentuan narapidana telah berkelakuan baik selama
menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana, telah mengikuti program pembinaan
dengan baik, dan masyarakat menerima program kegiatan pembinaan
narapidana. Prosedural Pembebasan bersyarat yaitu mengajukan nama
narapidana yang memenuhi persyaratan; Melaksanakan sidang; Kepala Lapas
mengusulkan pemberian PB; Kanwil melaksanakan siding, disampaikan
kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan menyampaikan pertimbangan
pemberian PB kepada Menteri, Penetapan PB, Lapas menerima SK
pembebasan bersyarat dan melaksanakan SK pemberian pembebasan bersyarat.
2. Pasal 10 Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan pada
kebijakan pembebasan bersyarat bagi pelaku extraordinary crime ditinjau dari
hukum positif tetap mengamini prinsip keadilan berdasar pada ketentuan Pasal
28 D ayat (1) UUD RI 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum”. Dikuatkan dengan asas equality before the law
artinya setiap orang sama dimata hukum. Dari tinjauan Maqasid Syariah pun
juga mengamini prinsip keadilan berdasar pada Maqasid 'ammah yaitu Al-
Musawah (Kesetaraan) maka pembebasan bersyarat dapat berlaku untuk setiap
narapidana termasuk narapidana pelaku extraordinary crime sebagai bentuk
pembinaan bagi narapidana.
B. Saran
1. Pembebasan bersyarat bagi pelaku kejahatan umum dan extraordinary crime
harus berbeda secara prosedural dan ada harus ada pengetatan sebagai upaya
preventif, deterrence, reformatif untuk melindungi masyarakat, menimbulkan
rasa takut pada pelaku dan mengubah sikap pelaku agar tidak terjadi residivis.
2. Melakukan optimalisasi penyelenggaraan kebijakan regulasi sebagai wujud
pengetatan seperti putusan hakim harus sesuai dengan tindak kejahatan, tidak
ada intervensi dari berbagai pihak terhadap pemberian kebijakan pembebasan
bersyarat seperti rekomendasi dari penegak hukum yang lain ketika telah
menjadi warga binaan pemasyarakatan.
3. Sebaiknya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai pembebasan
bersyarat harus sesuai dengan tujuan utama Maqasid Syariah maslahah ad-
daruriyyah ada lima unsur utama yang harus diperhatikan, yaitu: (1) menjaga
agama (hifdz din); (2) menjaga nyawa (hifdz nafs); (3) menjaga keturunan (hifdz
nasl); (4) menjaga akal (hifdz aql) dan (5) menjaga harta (hifdz māl). Dan
memperhatikan prinsip Maqasid 'ammah di antaranya adalah Al-Musawah
(Kesetaraan).
4. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa prosedural
dan syarat kebijakan pembebasan bersyarat pelaku extraordinary crime berbeda
dengan pelaku kejahatan lainnya, sebagaimana adagium hukum Moneat Lex
Priusquam Feriat artinya Undang-Undang harus disosialisasikan terlebih
dahulu sebelum digunakan agar tidak adanya penafsiran tumpang tindih prinsip
keadilan.
Analisis Empiris dan Maqashid Syariah di Lembaga Pemsyarakatan Kelas II A Watampone.
Pokok permasalahan penelitian ini implementasi prosedural pemberian pembebasan bersyarat
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Watampone dan penerapan prinsip keadilan dalam
hukum di Indonesia dan tinjauan maqashid syariah terhadap pembebasan bersyarat Undang-
Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan terhadap pelaku Extraordinary Crime.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pembebasan bersyarat bagi pelaku
extraordinary crime diatur dalam Pasal 94 sampai Pasal 101 Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia No. 3 Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi,
Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan
Cuti Bersyarat. Ditinjau dari hukum positif tetap mengamini prinsip keadilan berdasar pada
ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD RI 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”. Dikuatkan dengan asas equality before the law artinya setiap orang sama dimata
hukum. Dan dari tinjauan Maqasid Syariah pun juga mengamini prinsip keadilan berdasar pada
Maqasid 'ammah yaitu Al-Musawah (Kesetaraan) maka pembebasan bersyarat dapat berlaku
untuk setiap narapidana termasuk narapidana pelaku extraordinary crime sebagai bentuk
pembinaan bagi narapidana.
Implikasi dari penelitian ini adalah 1) Optimalisasi penyelenggaraan kebijakan regulasi sebagai
wujud pengetatan seperti putusan hakim harus sesuai dengan tindak kejahatan, tidak ada
intervensi dari berbagai pihak terhadap pemberian kebijakan pembebasan bersyarat seperti
rekomendasi dari penegak hukum yang lain ketika telah menjadi warga binaan
pemasyarakatan; 2) Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa
prosedural dan syarat kebijakan pembebasan bersyarat pelaku extraordinary crime berbeda
dengan pelaku kejahatan lainnya, sebagaimana adagium hukum Moneat Lex Priusquam Feriat
artinya Undang-Undang harus disosialisasikan terlebih dahulu sebelum digunakan agar tidak
adanya penafsiran tumpang tindih prinsip keadilan.
A. Simpulan
1. Prosedur pemberian kebijakan pembebasan bersyarat diatur dalam Pasal 94
sampai Pasal 101 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 3
Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti
Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan
Cuti Bersyarat. Dengan ketentuan narapidana telah berkelakuan baik selama
menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana, telah mengikuti program pembinaan
dengan baik, dan masyarakat menerima program kegiatan pembinaan
narapidana. Prosedural Pembebasan bersyarat yaitu mengajukan nama
narapidana yang memenuhi persyaratan; Melaksanakan sidang; Kepala Lapas
mengusulkan pemberian PB; Kanwil melaksanakan siding, disampaikan
kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan menyampaikan pertimbangan
pemberian PB kepada Menteri, Penetapan PB, Lapas menerima SK
pembebasan bersyarat dan melaksanakan SK pemberian pembebasan bersyarat.
2. Pasal 10 Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan pada
kebijakan pembebasan bersyarat bagi pelaku extraordinary crime ditinjau dari
hukum positif tetap mengamini prinsip keadilan berdasar pada ketentuan Pasal
28 D ayat (1) UUD RI 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum”. Dikuatkan dengan asas equality before the law
artinya setiap orang sama dimata hukum. Dari tinjauan Maqasid Syariah pun
juga mengamini prinsip keadilan berdasar pada Maqasid 'ammah yaitu Al-
Musawah (Kesetaraan) maka pembebasan bersyarat dapat berlaku untuk setiap
narapidana termasuk narapidana pelaku extraordinary crime sebagai bentuk
pembinaan bagi narapidana.
B. Saran
1. Pembebasan bersyarat bagi pelaku kejahatan umum dan extraordinary crime
harus berbeda secara prosedural dan ada harus ada pengetatan sebagai upaya
preventif, deterrence, reformatif untuk melindungi masyarakat, menimbulkan
rasa takut pada pelaku dan mengubah sikap pelaku agar tidak terjadi residivis.
2. Melakukan optimalisasi penyelenggaraan kebijakan regulasi sebagai wujud
pengetatan seperti putusan hakim harus sesuai dengan tindak kejahatan, tidak
ada intervensi dari berbagai pihak terhadap pemberian kebijakan pembebasan
bersyarat seperti rekomendasi dari penegak hukum yang lain ketika telah
menjadi warga binaan pemasyarakatan.
3. Sebaiknya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai pembebasan
bersyarat harus sesuai dengan tujuan utama Maqasid Syariah maslahah ad-
daruriyyah ada lima unsur utama yang harus diperhatikan, yaitu: (1) menjaga
agama (hifdz din); (2) menjaga nyawa (hifdz nafs); (3) menjaga keturunan (hifdz
nasl); (4) menjaga akal (hifdz aql) dan (5) menjaga harta (hifdz māl). Dan
memperhatikan prinsip Maqasid 'ammah di antaranya adalah Al-Musawah
(Kesetaraan).
4. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa prosedural
dan syarat kebijakan pembebasan bersyarat pelaku extraordinary crime berbeda
dengan pelaku kejahatan lainnya, sebagaimana adagium hukum Moneat Lex
Priusquam Feriat artinya Undang-Undang harus disosialisasikan terlebih
dahulu sebelum digunakan agar tidak adanya penafsiran tumpang tindih prinsip
keadilan.
Ketersediaan
| SSYA20240040 | 40.2024 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
40/2024
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2024
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
