Kebijakan Hukum Terbuka Tentang Presidential Threshold (Studi Terhadap Putusan MK Nomor: 52/PUU-XX/2022)
Rani Novita Ramadhan/742352020022 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang “Kebijakan Hukum Terbuka Tentang
Presidential Threshold (Studi Terhadap Putusan MK No. 52/PUU-XX/2022)”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
pertimbangan hakim konstitusi tidak dapat diterima dan menolak permohonan
pemohon dalam putusan Mahkama Konstitusi No. 52/PUU-XX/2022 dan
pemahaman pembentuk undang-undang terkait kebijakan hukum terbuka tentang
presidential threshold dalam UU Pemilu No. 7 Tahun 2017. Jenis penelitian yang
digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan jenis penelitian hukum normatif
dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Teknik pengumpulan data
pustaka yaitu studi dokumen dan penelusuran digital, serta dianalisis dengan teknik
analisis data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertimbangan hakim konstitusi menolak permohonan pemohon dalam putusan
Mahkama Konstitusi No. 52/PUU-XX/2022 dimaksudkan untuk menguatkan sistem
pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan
pemerintahan yang efektif dan hakim konstitusi menganggap permohonan pemohon I
tidak memiliki kedudukan hukum 2) Penafsiran pembentuk undang-undang dalam
menafsirkan kebijakan hukum terbuka tentang presidential threshold dalam UU No.
7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yaitu: Pertama, karena presidential threshold adalah
kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan mutlak pembentuk undang-
undang untuk mengatur lebih lanjut suatu pengaturan dalam undang-undang. Hal-hal
yang masuk dalam kebijakan hukum terbuka, seperti presidential threshold dalam
undang-undang lazimnya tidak boleh dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi kalau
tidak secara nyata bertentangan dengan konstitusi. Kedua, presidential threshold
merupakan kebijakan yang bisa memberikan keadilan kepada Parpol berdasarkan
suara yang diperoleh dari Pemilu sebelumnya. Ketiga, presidential threshold
memperkuat sistem presidensial.
A. Simpulan
1. Faktor yang mempengaruhi pertimbangan hakim konstitusi tidak dapat diterima
dan menolak permohonan pemohon pada putusan Mahkamah Konstitusi No.
52/PUU-XX/2022 yaitu: pertama, penguatan sistem pemerintahan presidensial
berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang
efektif, dimana Mahkamah menyatakan bahwa syarat ambang batas pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden yaitu 20% sebagaimana telah disepakati oleh
pembuat undang-undang adalah konstitusional. Sementara itu, terkait dengan
besar atau kecilnya persentase presidential threshold, merupakan kebijakan
terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk undang-undang. Pendirian
Mahkamah tersebut, jelas Aswanto, berpijak pada pentingnya penguatan sistem
pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan
pemerintahan yang efektif.
Dalam pandangan Mahkamah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu
dirancang untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan Presidensial.
Sistem presidensial tidak hanya terkait legitimasi Presiden dan Wakil Presiden
terpilih, namun juga dalam hubungannya dengan institusi DPR. Sehingga
mendorong efektivitas proses politik di DPR menjadi lebih sederhana dan
efisien dalam kerangka check and balances secara proporsional. Dalam
kerangka tersebut, adanya syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadi salah satu cara
untuk menyeimbangkan hubungan Presiden dengan DPR secara proporsional
dalam sistem pemerintahan presidensial yang menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi Indonesia serta hak konstitusional warga negara, dan hal tersebut
tidak bertentangan dengan konstitusi. Kedua, Mahkamah Konstitusi
menganggap pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Terkait dengan
pemohon I, sebagaimana Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.
66/PUU-XIX/2021, Mahkamah telah menegaskan pendiriannya terkait pihak
yang memiliki kedudukan hukum dalam pengujian norma Pasal 222 UU
Pemilihan Umum adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta
Pemilihan Umum.
Sebab kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian
Pasal 222 UU Pemilihan Umum tersebut sejalan dengan amanat Pasal 6A Ayat
(2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan bahwa
pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan
pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilihan Umum hanyalah partai
politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum. Sebaliknya
bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.
2. Pemahaman pembentuk undang-undang terkait kebijakan hukum terbuka
tentang presidential threshold dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
yaitu: Pertama, karena presidential threshold adalah kebijakan hukum terbuka
yang merupakan kewenangan mutlak pembentuk undang-undang untuk
mengatur lebih lanjut suatu pengaturan dalam undang-undang. Hal-hal yang
masuk dalam kebijakan hukum terbuka, seperti presidential threshold dalam
undang-undang lazimnya tidak boleh dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
kalau tidak secara nyata bertentangan dengan konstitusi. Kedua, presidential
threshold merupakan kebijakan yang dianggap dapat memberikan keadilan
kepada Parpol berdasarkan suara yang diperoleh dari Pemilu sebelumnya.
Ketiga, presidential threshold memperkuat sistem presidensial.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran dimana
dalam pembuatan undang-undang pemerintah harus melibatkan sebanyak mungkin
masyarakat, agar para pihak yang ingin memberikan kritik memilik ruang untuk
menyampaikannya. Mahkamah Konstitusi dalam memberikan putusanya terutana
terhadap isu presidential threshold perlu melakukan koreksi terhadap putusanya
terutama terkait legal standing. Intinya, Mahkamah Konstitusi perlu mengelaborasi
lagi soal legal standing bahwa semestinya perorangan dapat mencalonkan Presiden
dan Wakil Presiden sebagaimana partai politik. Dengan demikian, semestinya seluruh
masyarakat Indonesia mempunyai hak pilih dan juga legal standing dalam kaitanya
dengan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Sebagai masyarakat, sudah
selayaknya kita harus tunduk dan patuh terhadap isi putusan Hakim Mahkamah
Konstitusi. Sebagaimana yang terdapat dalam adagium hukum interpretatio cessat in
claris yang artinya jika suatu teks atau redaksi undang-undang telah terang benderang
dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap
kata-kata yang sudah jelas sekali berarti adalah penghancuran.
Presidential Threshold (Studi Terhadap Putusan MK No. 52/PUU-XX/2022)”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
pertimbangan hakim konstitusi tidak dapat diterima dan menolak permohonan
pemohon dalam putusan Mahkama Konstitusi No. 52/PUU-XX/2022 dan
pemahaman pembentuk undang-undang terkait kebijakan hukum terbuka tentang
presidential threshold dalam UU Pemilu No. 7 Tahun 2017. Jenis penelitian yang
digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan jenis penelitian hukum normatif
dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Teknik pengumpulan data
pustaka yaitu studi dokumen dan penelusuran digital, serta dianalisis dengan teknik
analisis data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertimbangan hakim konstitusi menolak permohonan pemohon dalam putusan
Mahkama Konstitusi No. 52/PUU-XX/2022 dimaksudkan untuk menguatkan sistem
pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan
pemerintahan yang efektif dan hakim konstitusi menganggap permohonan pemohon I
tidak memiliki kedudukan hukum 2) Penafsiran pembentuk undang-undang dalam
menafsirkan kebijakan hukum terbuka tentang presidential threshold dalam UU No.
7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yaitu: Pertama, karena presidential threshold adalah
kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan mutlak pembentuk undang-
undang untuk mengatur lebih lanjut suatu pengaturan dalam undang-undang. Hal-hal
yang masuk dalam kebijakan hukum terbuka, seperti presidential threshold dalam
undang-undang lazimnya tidak boleh dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi kalau
tidak secara nyata bertentangan dengan konstitusi. Kedua, presidential threshold
merupakan kebijakan yang bisa memberikan keadilan kepada Parpol berdasarkan
suara yang diperoleh dari Pemilu sebelumnya. Ketiga, presidential threshold
memperkuat sistem presidensial.
A. Simpulan
1. Faktor yang mempengaruhi pertimbangan hakim konstitusi tidak dapat diterima
dan menolak permohonan pemohon pada putusan Mahkamah Konstitusi No.
52/PUU-XX/2022 yaitu: pertama, penguatan sistem pemerintahan presidensial
berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang
efektif, dimana Mahkamah menyatakan bahwa syarat ambang batas pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden yaitu 20% sebagaimana telah disepakati oleh
pembuat undang-undang adalah konstitusional. Sementara itu, terkait dengan
besar atau kecilnya persentase presidential threshold, merupakan kebijakan
terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk undang-undang. Pendirian
Mahkamah tersebut, jelas Aswanto, berpijak pada pentingnya penguatan sistem
pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan
pemerintahan yang efektif.
Dalam pandangan Mahkamah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu
dirancang untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan Presidensial.
Sistem presidensial tidak hanya terkait legitimasi Presiden dan Wakil Presiden
terpilih, namun juga dalam hubungannya dengan institusi DPR. Sehingga
mendorong efektivitas proses politik di DPR menjadi lebih sederhana dan
efisien dalam kerangka check and balances secara proporsional. Dalam
kerangka tersebut, adanya syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadi salah satu cara
untuk menyeimbangkan hubungan Presiden dengan DPR secara proporsional
dalam sistem pemerintahan presidensial yang menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi Indonesia serta hak konstitusional warga negara, dan hal tersebut
tidak bertentangan dengan konstitusi. Kedua, Mahkamah Konstitusi
menganggap pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Terkait dengan
pemohon I, sebagaimana Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.
66/PUU-XIX/2021, Mahkamah telah menegaskan pendiriannya terkait pihak
yang memiliki kedudukan hukum dalam pengujian norma Pasal 222 UU
Pemilihan Umum adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta
Pemilihan Umum.
Sebab kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian
Pasal 222 UU Pemilihan Umum tersebut sejalan dengan amanat Pasal 6A Ayat
(2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan bahwa
pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan
pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilihan Umum hanyalah partai
politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum. Sebaliknya
bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.
2. Pemahaman pembentuk undang-undang terkait kebijakan hukum terbuka
tentang presidential threshold dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
yaitu: Pertama, karena presidential threshold adalah kebijakan hukum terbuka
yang merupakan kewenangan mutlak pembentuk undang-undang untuk
mengatur lebih lanjut suatu pengaturan dalam undang-undang. Hal-hal yang
masuk dalam kebijakan hukum terbuka, seperti presidential threshold dalam
undang-undang lazimnya tidak boleh dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
kalau tidak secara nyata bertentangan dengan konstitusi. Kedua, presidential
threshold merupakan kebijakan yang dianggap dapat memberikan keadilan
kepada Parpol berdasarkan suara yang diperoleh dari Pemilu sebelumnya.
Ketiga, presidential threshold memperkuat sistem presidensial.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran dimana
dalam pembuatan undang-undang pemerintah harus melibatkan sebanyak mungkin
masyarakat, agar para pihak yang ingin memberikan kritik memilik ruang untuk
menyampaikannya. Mahkamah Konstitusi dalam memberikan putusanya terutana
terhadap isu presidential threshold perlu melakukan koreksi terhadap putusanya
terutama terkait legal standing. Intinya, Mahkamah Konstitusi perlu mengelaborasi
lagi soal legal standing bahwa semestinya perorangan dapat mencalonkan Presiden
dan Wakil Presiden sebagaimana partai politik. Dengan demikian, semestinya seluruh
masyarakat Indonesia mempunyai hak pilih dan juga legal standing dalam kaitanya
dengan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Sebagai masyarakat, sudah
selayaknya kita harus tunduk dan patuh terhadap isi putusan Hakim Mahkamah
Konstitusi. Sebagaimana yang terdapat dalam adagium hukum interpretatio cessat in
claris yang artinya jika suatu teks atau redaksi undang-undang telah terang benderang
dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap
kata-kata yang sudah jelas sekali berarti adalah penghancuran.
Ketersediaan
| SSYA20240053 | 53/2024 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
53/2024
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2024
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
