Tinjauan Fiqih Muamalah terhadap Praktik Upah Mengupah Inseminasi Buatan pada Sapi Antara Masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bone
Surya Karmila Sari/01.18.3050 - Personal Name
Skripsi ini membahas mengenai Tinjuan Fiqh Muamalah terhadap Praktik Upah
Mengupah Inseminasi Buatan pada Sapi antara Masyarakat dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Bone. Bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan fiqh muamalah
terhadap upah mengupah inseminasi buatan antara masyarakat dan pemerintah daerah
kabupaten Bone jika dilihat dari syarat upah mengupah agar diketahui keabsahan
akadnya.
Untuk memperoleh data dari masalah tersebut, penulis menggunakan metode
pendekatan kualitatif deskriptif dengan melakukan wawancara dan dokumentasi. Data
yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Proses analisis data yang
dilakukan ada tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan.
Berdasarkan data yang diperoleh, maka hasil dari penelitian ini adalah terdapat
ketidasesuaian praktik upah mengupah inseminasi buatan pada hewan ternak dengan
syarat upah mengupah berdasarkan fiqh muamalah sehingga upah mengupah ini tidak
boleh dilakukan. Dilihat dari syarat penentuan upah yang tidak sesuai karena
dilakukan setelah pekerjaan selesai sementara dalam syarat upah mengupah untuk
penentuan upah harus dilakukan sebelum pekerjaan dilakukan. Selanjutnya, karena
petugas merupakan pegawai pemerintah maka tidak dibolehkan mengambil upah atas
inseminasi buatan.
A. SIMPULAN
1. Proses inseminasi buatan dimulai dengan peternak melihat tanda-tanda
birahi pada hewan ternak. Setelah peternak memastikan tanda-tanda
tersebut, peternak menghubungi petugas untuk melakukan inseminasi
buatan pada sapi betina. Ketika menghubungi petugas, peternak
menyebutkan tanda-tanda birahi dan kapan tanda-tanda tersebut muncul
serta jenis bibit yang diinginkan. Ketika tanda-tanda birahi terlihat di pagi
hari maka inseminasi buatan pada sapi betina dilakukan pada sore hari.
Setelah petugas sampai di lokasi peternak, petugas inseminasi buatan
memeriksa terlebih dahulu keadaan sapi betina apakah benar-benar sudah
siap untuk dilakukan inseminasi buatan. Jika dinilai sudah siap maka
inseminasi buatan dilakukan dengan menyuntikkan bibit sapi sebanyak 9
ml. Setelah inseminasi selesai dilakukan, peternak memberi sejumlah uang
kepada petugas karena sudah melakukan inseminasi buatan pada sapi
milik peternak.
2. Ditinjau dari syarat upah mengupah dalam fiqh muamalah, terdapat syarat
yang tidak terpenuhi yaitu syarat upah. Pertama mengenai jumlah upah
yang diberikan. Dalam syarat upah mengupah, upah yang diberikan harus
disepakati diawal sebelum pekerjaan dilakukan, tetapi dalam praktik
inseminasi buatan di Kabupaten Bone upah diketahui setelah pekerjaan
selesai sehingga syarat ini tidak terpenuhi. Kedua, dalam syarat upah
mengupah pegawai pemerintah seperti hakim tidak boleh menerima upah
dari masyarakat, begitupun dengan petugas inseminasi buatan, karena
petugas inseminasi buatan merupakan pegawai dari pemerintahan maka
tidak dibolehkan mengambil upah dari masyarakat karena bisa saja
menjadi jalan terbukanya pintu risywah. Sehingga akad upah mengupah
inseminasi buatan antara masyarakat dan petugas inseminasi ini batal atau
tidak sah jika ditinjau berdasarkan fiqh muamalah.
B. SARAN
1. Sebagai umat muslim, dalam melakukan transaksi ekonomi sebaiknya
lebih diperhatikan lagi rukun dan syarat terkait dengan transaksi yang
akan dilakukan agar transaksi yang dilakukan senantiasa tetap sesuai
dengan aturan syariat.
2. Dalam praktik inseminasi buatan pada sapi ini sebaiknya petugas tidak
mengambil upah yang diberikan oleh peternak karena petugas merupakan
pegawai pemerintah yang dimana berdasarkan pembahasan pada bab
sebelumnya pegawai dari pemerintah tidak boleh menerima upah dari
masyarakat sebab kedepannya bisa menjadi jalan terbukanya pintu
risywah.
Mengupah Inseminasi Buatan pada Sapi antara Masyarakat dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Bone. Bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan fiqh muamalah
terhadap upah mengupah inseminasi buatan antara masyarakat dan pemerintah daerah
kabupaten Bone jika dilihat dari syarat upah mengupah agar diketahui keabsahan
akadnya.
Untuk memperoleh data dari masalah tersebut, penulis menggunakan metode
pendekatan kualitatif deskriptif dengan melakukan wawancara dan dokumentasi. Data
yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Proses analisis data yang
dilakukan ada tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan.
Berdasarkan data yang diperoleh, maka hasil dari penelitian ini adalah terdapat
ketidasesuaian praktik upah mengupah inseminasi buatan pada hewan ternak dengan
syarat upah mengupah berdasarkan fiqh muamalah sehingga upah mengupah ini tidak
boleh dilakukan. Dilihat dari syarat penentuan upah yang tidak sesuai karena
dilakukan setelah pekerjaan selesai sementara dalam syarat upah mengupah untuk
penentuan upah harus dilakukan sebelum pekerjaan dilakukan. Selanjutnya, karena
petugas merupakan pegawai pemerintah maka tidak dibolehkan mengambil upah atas
inseminasi buatan.
A. SIMPULAN
1. Proses inseminasi buatan dimulai dengan peternak melihat tanda-tanda
birahi pada hewan ternak. Setelah peternak memastikan tanda-tanda
tersebut, peternak menghubungi petugas untuk melakukan inseminasi
buatan pada sapi betina. Ketika menghubungi petugas, peternak
menyebutkan tanda-tanda birahi dan kapan tanda-tanda tersebut muncul
serta jenis bibit yang diinginkan. Ketika tanda-tanda birahi terlihat di pagi
hari maka inseminasi buatan pada sapi betina dilakukan pada sore hari.
Setelah petugas sampai di lokasi peternak, petugas inseminasi buatan
memeriksa terlebih dahulu keadaan sapi betina apakah benar-benar sudah
siap untuk dilakukan inseminasi buatan. Jika dinilai sudah siap maka
inseminasi buatan dilakukan dengan menyuntikkan bibit sapi sebanyak 9
ml. Setelah inseminasi selesai dilakukan, peternak memberi sejumlah uang
kepada petugas karena sudah melakukan inseminasi buatan pada sapi
milik peternak.
2. Ditinjau dari syarat upah mengupah dalam fiqh muamalah, terdapat syarat
yang tidak terpenuhi yaitu syarat upah. Pertama mengenai jumlah upah
yang diberikan. Dalam syarat upah mengupah, upah yang diberikan harus
disepakati diawal sebelum pekerjaan dilakukan, tetapi dalam praktik
inseminasi buatan di Kabupaten Bone upah diketahui setelah pekerjaan
selesai sehingga syarat ini tidak terpenuhi. Kedua, dalam syarat upah
mengupah pegawai pemerintah seperti hakim tidak boleh menerima upah
dari masyarakat, begitupun dengan petugas inseminasi buatan, karena
petugas inseminasi buatan merupakan pegawai dari pemerintahan maka
tidak dibolehkan mengambil upah dari masyarakat karena bisa saja
menjadi jalan terbukanya pintu risywah. Sehingga akad upah mengupah
inseminasi buatan antara masyarakat dan petugas inseminasi ini batal atau
tidak sah jika ditinjau berdasarkan fiqh muamalah.
B. SARAN
1. Sebagai umat muslim, dalam melakukan transaksi ekonomi sebaiknya
lebih diperhatikan lagi rukun dan syarat terkait dengan transaksi yang
akan dilakukan agar transaksi yang dilakukan senantiasa tetap sesuai
dengan aturan syariat.
2. Dalam praktik inseminasi buatan pada sapi ini sebaiknya petugas tidak
mengambil upah yang diberikan oleh peternak karena petugas merupakan
pegawai pemerintah yang dimana berdasarkan pembahasan pada bab
sebelumnya pegawai dari pemerintah tidak boleh menerima upah dari
masyarakat sebab kedepannya bisa menjadi jalan terbukanya pintu
risywah.
Ketersediaan
| SFEBI20220179 | 179/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
179/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Arab
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi FEBI
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
