Asas Retroaktif dan Non Kadaluwarsa Menurut KUHP Pasal 136 dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Ditinjau Dari Perspektif Siyasah Syar’iyyah
A.Atifah/742352020011 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Asas Retroaktif dan Non Kadaluwarsa Menurut
Pasal 136 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Ditinjau
Dari Perspektif Siyasah Syar’iyyah. Permasalahan dalam penelitian ini mencakup
konsep dan kesesuain penerapan asas-asas tersebut dengan prinsip-prinsip Siyasah
Syar’iyyah.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (Normative law research)
dengan cara meneliti bahan pustaka atau sekunder terkait asas retroaktif, non
kadaluwarsa, dan kadaluwarsa yang merupakan masalah pokok penelitian dengan
menggunakan pendekatan kualitatif, konseptual, imperatif, perbandingan, dan teologis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hukum pidana positif, asas
retroaktif dan non kadaluwarsa terbatas pada pelanggaran HAM berat saja, sedangkan
dalam hukum pidana Islam diterapkan lebih luas, selain dalam hal penghilangan nyawa
juga pada perkara hirâbat; qadzf atau li’ân; dan zhihâr untuk asas retroaktif dan untuk
asas non kadaluwarsa berlaku untuk semua jarimah. Sebaliknya asas kadaluwarsa
dalam hukum pidana positif mencakup penuntutan dan pelaksanaan hukuman luas
cakupannya, berbeda dengan hukum pidana Islam yang hanya mencakup pelaksanaan
hukuman saja. Penerapan asas ini mencerminkan usaha menyelaraskan keadilan,
HAM, dan persamaan dengan prinsip-prinsip siyasah syari'ah. Sehingga temuan dari
penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengidentifikasi perbaikan-perbaikan
yang diperlukan dalam regulasi hukum yang relevan agar lebih sejalan dengan nilai
dan prinsip-prinsip siyasah syar'iyyah.
A. Simpulan
1. Keberlakuan asas retroaktif berdasrkan Undang-undang No.39 tahun 1999
tentang HAM dengan pengimplimentasiannya yang ada dalam Undang-undang
No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada dasarnya sama dengan asas
retroaktif yang ada dalam hukum Islam yakni sama-sama asas yang bersifat
pengecualiaan. Namun penggunaan asas ini dalam Undang-undang No. 26
tahun 2000 hanya terbatas pada kasus pembunuhan atau penghilangan nyawa
seseorang saja, dibandingkan dengan yang ada dalam hukum islam penggunaan
asas retroaktif lebih luas cakupannya berdasarkan sejarah Islam yang ada
karena pernah di pergunakan dalam kasus hirâbat, qadzf atau li’ân, dan zhihâr.
Sedang jika melihat asas non-kadaluarsa dalam Undang-undang No.26 tahun
2000 hanya terbatas penggunaannya pada kasus pelanggaran HAM berat saja
karena keberadaannya yang bersifat Lex Specialis. Berbeda halnya dalam
hukum pidana Islam dimana penggunaan asas non kadaluarsa ini dipergunakan
untuk semua tindak pidana yang ada dengan dasar asas legalitas mengacu pada
QS. Al-Isra/ 17: 15. Sebab dalam hal penuntutan asas kadaluarsa tidak
diberlakukan sama sekali namun hanya di berlakukan dalam pelaksanaan
putusan pidana saja, walaupun terdapat perbedaan pendapat dikalangan
Fuqaha. Dimana mazhab maliki; Syafi’i; dan Ahmad menyatakan
penggunaannya hanya pada jarimah ta’zir saja tidak untuk jarimah hudud dan
qisas namun lain halnya dengan mazhab hanafiah dan muridnya (kecuali zafar)
beranggapan bahwa penggunaannya bisa untuk semua jarimah ta’zir, qisas, dan
hudud kecuali qadzaf (bagian jarimah hudud) sebab delik aduan, yang mana
untuk membuktikannya harus menggunakan kesaksiaan bukan pengakuan
(iqrar). Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sendiri penggunaan asas
ini diberlakukan pada proses penuntutan dan juga pelaksanaan putusan
berdasarkan keberadaan pasal 136 dan pasal 140 Undang-Undang No. 1 Tahun
2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Pasal 78 dan Pasal
84 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan belanda.
2. Asas retroaktif, non kadaluarsa, dan kadaluarsa dalam konteks hukum positif
Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM dan Pasal 136 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menunjukkan upaya untuk menegakkan
keadilan, melindungi hak asasi manusia, dan mencapai keseimbangan hukum.
Secara umum, asas retroaktif dapat dianggap sebagai instrumen yang efektif
dalam mengejar keadilan terutama dalam penanganan pelanggaran HAM berat.
Meskipun potensial menimbulkan ketidakpastian hukum, namun penerapannya
terbatas pada kasus-kasus tertentu, seperti kejahatan kemanusiaan dan
genosida. Asas non kadaluarsa, dalam konteks Pengadilan HAM, menjamin
perlindungan hak asasi manusia tanpa batas waktu. Penerapannya sejalan
dengan prinsip-prinsip siyasah syar'iyyah yang menekankan keadilan,
kebenaran, dan perlindungan hak asasi manusia. Hal ini mencerminkan
komitmen untuk menegakkan nilai-nilai keadilan Islam, terutama dalam
menghadapi pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan. Di sisi
lain, asas kadaluarsa memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu,
sejalan dengan prinsip keadilan dan persamaan dalam hukum Islam. Meskipun
menetapkan batas waktu untuk penuntutan, asas kadaluarsa memiliki tujuan
melindungi hak-hak individu dari risiko kehilangan bukti dan kesulitan
pembuktian akibat penuntutan yang terlalu lama. Secara keseluruhan,
penerapan asas retroaktif, non kadaluarsa, dan kadaluarsa dalam hukum positif
Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM dan Pasal 136 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, mencerminkan usaha untuk
menggabungkan nilai-nilai keadilan, hak asasi manusia, dan persamaan, sejalan
dengan prinsip-prinsip siyasah syar'iyyah. Meskipun tidak secara langsung
mengadopsi prinsip-prinsip tersebut, hukum positif Indonesia berupaya
menciptakan landasan yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika Islam
dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat.
B. Saran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep asas retroaktif dalam hukum
pidana positif Indonesia sejalan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Namun, ada
sedikit perbedaan dalam konsep asas non kadaluarsa dan kadaluarsa antara hukum
pidana positif dan hukum pidana islam. Meskipun demikian, semua asas ini tetap sesuai
dengan prinsip-prinsip siyasah syar'iyyah yang universal. Pentingnya harmonisasi
antara hukum pidana positif dan prinsip-prinsip siyasah syar'iyyah sangat terlihat
dalam menanggapi isu-isu hukum, khususnya terkait pelanggaran HAM berat. Oleh
karena itu, penelitian selanjutnya disarankan untuk mengkaji penerapan asas-asas
tersebut dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Dengan demikian,
akan lebih memahami dinamika dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
atau kegagalan asas-asas tersebut dalam menegakkan keadilan. Selain itu, penting juga
untuk menganalisis dampak sosial dari penerapan asas retroaktif, non kadaluarsa, dan
kadaluarsa terhadap masyarakat, khususnya terhadap korban pelanggaran HAM berat
dan keluarga mereka. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang
signifikan dalam pemahaman yang lebih mendalam tentang implementasi asas-asas
tersebut dalam hukum pidana positif Indonesia, dengan mempertimbangkan perspektif
hukum Islam (siyasah syar'iyyah). Temuan ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi
perbaikan regulasi yang relevan, demi menciptakan sistem hukum yang lebih konsisten
dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Siyasah Syar’iyyah.
Pasal 136 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Ditinjau
Dari Perspektif Siyasah Syar’iyyah. Permasalahan dalam penelitian ini mencakup
konsep dan kesesuain penerapan asas-asas tersebut dengan prinsip-prinsip Siyasah
Syar’iyyah.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (Normative law research)
dengan cara meneliti bahan pustaka atau sekunder terkait asas retroaktif, non
kadaluwarsa, dan kadaluwarsa yang merupakan masalah pokok penelitian dengan
menggunakan pendekatan kualitatif, konseptual, imperatif, perbandingan, dan teologis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hukum pidana positif, asas
retroaktif dan non kadaluwarsa terbatas pada pelanggaran HAM berat saja, sedangkan
dalam hukum pidana Islam diterapkan lebih luas, selain dalam hal penghilangan nyawa
juga pada perkara hirâbat; qadzf atau li’ân; dan zhihâr untuk asas retroaktif dan untuk
asas non kadaluwarsa berlaku untuk semua jarimah. Sebaliknya asas kadaluwarsa
dalam hukum pidana positif mencakup penuntutan dan pelaksanaan hukuman luas
cakupannya, berbeda dengan hukum pidana Islam yang hanya mencakup pelaksanaan
hukuman saja. Penerapan asas ini mencerminkan usaha menyelaraskan keadilan,
HAM, dan persamaan dengan prinsip-prinsip siyasah syari'ah. Sehingga temuan dari
penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengidentifikasi perbaikan-perbaikan
yang diperlukan dalam regulasi hukum yang relevan agar lebih sejalan dengan nilai
dan prinsip-prinsip siyasah syar'iyyah.
A. Simpulan
1. Keberlakuan asas retroaktif berdasrkan Undang-undang No.39 tahun 1999
tentang HAM dengan pengimplimentasiannya yang ada dalam Undang-undang
No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada dasarnya sama dengan asas
retroaktif yang ada dalam hukum Islam yakni sama-sama asas yang bersifat
pengecualiaan. Namun penggunaan asas ini dalam Undang-undang No. 26
tahun 2000 hanya terbatas pada kasus pembunuhan atau penghilangan nyawa
seseorang saja, dibandingkan dengan yang ada dalam hukum islam penggunaan
asas retroaktif lebih luas cakupannya berdasarkan sejarah Islam yang ada
karena pernah di pergunakan dalam kasus hirâbat, qadzf atau li’ân, dan zhihâr.
Sedang jika melihat asas non-kadaluarsa dalam Undang-undang No.26 tahun
2000 hanya terbatas penggunaannya pada kasus pelanggaran HAM berat saja
karena keberadaannya yang bersifat Lex Specialis. Berbeda halnya dalam
hukum pidana Islam dimana penggunaan asas non kadaluarsa ini dipergunakan
untuk semua tindak pidana yang ada dengan dasar asas legalitas mengacu pada
QS. Al-Isra/ 17: 15. Sebab dalam hal penuntutan asas kadaluarsa tidak
diberlakukan sama sekali namun hanya di berlakukan dalam pelaksanaan
putusan pidana saja, walaupun terdapat perbedaan pendapat dikalangan
Fuqaha. Dimana mazhab maliki; Syafi’i; dan Ahmad menyatakan
penggunaannya hanya pada jarimah ta’zir saja tidak untuk jarimah hudud dan
qisas namun lain halnya dengan mazhab hanafiah dan muridnya (kecuali zafar)
beranggapan bahwa penggunaannya bisa untuk semua jarimah ta’zir, qisas, dan
hudud kecuali qadzaf (bagian jarimah hudud) sebab delik aduan, yang mana
untuk membuktikannya harus menggunakan kesaksiaan bukan pengakuan
(iqrar). Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sendiri penggunaan asas
ini diberlakukan pada proses penuntutan dan juga pelaksanaan putusan
berdasarkan keberadaan pasal 136 dan pasal 140 Undang-Undang No. 1 Tahun
2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Pasal 78 dan Pasal
84 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan belanda.
2. Asas retroaktif, non kadaluarsa, dan kadaluarsa dalam konteks hukum positif
Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM dan Pasal 136 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menunjukkan upaya untuk menegakkan
keadilan, melindungi hak asasi manusia, dan mencapai keseimbangan hukum.
Secara umum, asas retroaktif dapat dianggap sebagai instrumen yang efektif
dalam mengejar keadilan terutama dalam penanganan pelanggaran HAM berat.
Meskipun potensial menimbulkan ketidakpastian hukum, namun penerapannya
terbatas pada kasus-kasus tertentu, seperti kejahatan kemanusiaan dan
genosida. Asas non kadaluarsa, dalam konteks Pengadilan HAM, menjamin
perlindungan hak asasi manusia tanpa batas waktu. Penerapannya sejalan
dengan prinsip-prinsip siyasah syar'iyyah yang menekankan keadilan,
kebenaran, dan perlindungan hak asasi manusia. Hal ini mencerminkan
komitmen untuk menegakkan nilai-nilai keadilan Islam, terutama dalam
menghadapi pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan. Di sisi
lain, asas kadaluarsa memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu,
sejalan dengan prinsip keadilan dan persamaan dalam hukum Islam. Meskipun
menetapkan batas waktu untuk penuntutan, asas kadaluarsa memiliki tujuan
melindungi hak-hak individu dari risiko kehilangan bukti dan kesulitan
pembuktian akibat penuntutan yang terlalu lama. Secara keseluruhan,
penerapan asas retroaktif, non kadaluarsa, dan kadaluarsa dalam hukum positif
Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM dan Pasal 136 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, mencerminkan usaha untuk
menggabungkan nilai-nilai keadilan, hak asasi manusia, dan persamaan, sejalan
dengan prinsip-prinsip siyasah syar'iyyah. Meskipun tidak secara langsung
mengadopsi prinsip-prinsip tersebut, hukum positif Indonesia berupaya
menciptakan landasan yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika Islam
dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat.
B. Saran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep asas retroaktif dalam hukum
pidana positif Indonesia sejalan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Namun, ada
sedikit perbedaan dalam konsep asas non kadaluarsa dan kadaluarsa antara hukum
pidana positif dan hukum pidana islam. Meskipun demikian, semua asas ini tetap sesuai
dengan prinsip-prinsip siyasah syar'iyyah yang universal. Pentingnya harmonisasi
antara hukum pidana positif dan prinsip-prinsip siyasah syar'iyyah sangat terlihat
dalam menanggapi isu-isu hukum, khususnya terkait pelanggaran HAM berat. Oleh
karena itu, penelitian selanjutnya disarankan untuk mengkaji penerapan asas-asas
tersebut dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Dengan demikian,
akan lebih memahami dinamika dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
atau kegagalan asas-asas tersebut dalam menegakkan keadilan. Selain itu, penting juga
untuk menganalisis dampak sosial dari penerapan asas retroaktif, non kadaluarsa, dan
kadaluarsa terhadap masyarakat, khususnya terhadap korban pelanggaran HAM berat
dan keluarga mereka. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang
signifikan dalam pemahaman yang lebih mendalam tentang implementasi asas-asas
tersebut dalam hukum pidana positif Indonesia, dengan mempertimbangkan perspektif
hukum Islam (siyasah syar'iyyah). Temuan ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi
perbaikan regulasi yang relevan, demi menciptakan sistem hukum yang lebih konsisten
dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Siyasah Syar’iyyah.
Ketersediaan
| SSYA20240006 | 06/23024 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
06/2024
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2024
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
