Analisis Pengembalian Uang panaik Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Nomor 717/pdt.G/2019/PA Wtp.)
Muh. Akram S/742302019204 - Personal Name
Skripsi ini membahas mengenai analisis pengembalian uang panaik
perspektif hukum Islam (Studi Putusan Nomor 717/pdt.G/2019/PA Wtp.). Tujuan
penelitian ini yaitu untuk mengetahui konsep uang panaik dalam tradisi pernikahan
masyarakat Bugis serta pandangan hukum Islam terhadap pengembalian uang
panaik pada Putusan Nomor 717/Pdt.G/2019/PA Wtp. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian pustaka (library research).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa uang panaik dalam tradisi pernikahan
masyarakat Bugis berfungsi sebagai simbol penghargaan dan tanggung jawab
seorang laki-laki terhadap keluarga perempuan. Tradisi ini mencerminkan nilai
sosial, religius, dan budaya Bugis, serta dilaksanakan melalui beberapa tahap adat
seperti mappesek-pesek, madduta, dan mappettu ada, yang penting untuk keabsahan
perkawinan secara adat. Uang panaik bahkan sering dianggap lebih penting
daripada mahar, meskipun dalam hukum Islam yang wajib hanyalah mahar. Tradisi
ini juga sejalan dengan nilai-nilai Bugis seperti sipakatau (saling memanusiakan),
sipakalebbi (saling menghargai), dan sipakainge (saling mengingatkan) yang
menjadi dasar membangun keluarga yang harmonis. Dalam kasus Putusan Nomor
717/Pdt.G/2019/PA.Wtp, hakim dinilai keliru karena menyamakan uang panaik
dengan mahar. Padahal, mahar adalah rukun sah pernikahan yang wajib dan
menjadi hak istri, sedangkan uang panaik hanyalah hibah adat sebagai bentuk
penghormatan dan kontribusi sosial. Dalam Islam, uang panaik sah sepanjang tidak
memberatkan dan tidak menghalangi pernikahan, tetapi tidak dapat ditarik kembali
kecuali ada perjanjian awal. Karena itu, putusan tersebut tidak sesuai dengan prinsip
syariat maupun nilai-nilai adat Bugis, serta mengabaikan keadilan dalam hubungan
sosial dan pernikahan.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik beberapa
kesimpulan diantaranya:
1. Konsep uang panaik dalam tradisi pernikahan masyarakat Bugis merupakan
simbol penghargaan dan tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan, yang
mencerminkan nilai sosial, kepribadian, religius, dan pengetahuan dalam
budaya Bugis. Tradisi ini dilaksanakan melalui beberapa tahap adat seperti
mappesek-pesek, madduta, dan mappettu ada, yang jika diabaikan dapat
menyebabkan perkawinan dianggap tidak sah secara adat. Uang panaik
dipandang sebagai unsur penting yang bahkan lebih diperhatikan daripada
mahar, meski dalam Islam yang wajib hanyalah mahar. Tradisi ini erat
kaitannya dengan nilai-nilai budaya Bugis seperti sipakatau (saling
memanusiakan), sipakalebbi (saling menghargai), dan sipakainge (saling
mengingatkan), yang menjadi fondasi dalam membangun keluarga yang
harmonis, saling mendukung, dan berakhlak mulia.
2. Pandangan hukum Islam terhadap pengembalian uang panaik dalam Putusan
Nomor 717/Pdt.G/2019/PA.Wtp., menunjukkan bahwa hakim keliru
menyamakan uang panaik dengan mahar, padahal keduanya berbeda secara
konsep dan hukum; mahar adalah rukun sah pernikahan yang wajib dan
menjadi hak istri, sementara uang panaik adalah hibah adat yang diberikan
kepada keluarga perempuan sebagai bentuk penghormatan dan kontribusi
sosial. Dalam Islam, uang panaik sah selama tidak memberatkan dan tidak
menghalangi pernikahan, namun tidak dapat dikembalikan kecuali ada
kesepakatan awal. Putusan tersebut dinilai tidak sesuai dengan prinsip syariat
maupun nilai-nilai adat Bugis, serta mengabaikan kaidah hukum Islam dan
prinsip keadilan dalam hubungan sosial dan pernikahan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai
berikut.
1. Kepada masyarakat Bugis, khususnya para orang tua dan tokoh adat,
disarankan untuk mempertimbangkan kembali penetapan jumlah uang panaik
agar tidak menjadi beban yang menghalangi terlaksananya pernikahan. Nilai
uang panaik sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan calon mempelai laki-
laki, tanpa mengurangi makna penghormatan terhadap pihak perempuan.
2. Kepada para hakim dan praktisi hukum di lingkungan peradilan agama,
diharapkan untuk lebih cermat membedakan antara konsep adat dan syariat,
serta tidak menyamakan uang panaik dengan mahar tanpa dasar yang sah
menurut hukum Islam. Pendekatan hukum harus memperhatikan kearifan lokal
sekaligus tetap selaras dengan prinsip-prinsip syariat.
3. Kepada pemerintah daerah dan lembaga keagamaan, disarankan untuk
memberikan edukasi hukum dan agama secara berkala kepada masyarakat
tentang pentingnya memahami perbedaan antara adat dan ketentuan syariat
Islam dalam perkawinan, agar tidak terjadi kesalahpahaman dan pelanggaran
nilai-nilai agama maupun sosial.
perspektif hukum Islam (Studi Putusan Nomor 717/pdt.G/2019/PA Wtp.). Tujuan
penelitian ini yaitu untuk mengetahui konsep uang panaik dalam tradisi pernikahan
masyarakat Bugis serta pandangan hukum Islam terhadap pengembalian uang
panaik pada Putusan Nomor 717/Pdt.G/2019/PA Wtp. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian pustaka (library research).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa uang panaik dalam tradisi pernikahan
masyarakat Bugis berfungsi sebagai simbol penghargaan dan tanggung jawab
seorang laki-laki terhadap keluarga perempuan. Tradisi ini mencerminkan nilai
sosial, religius, dan budaya Bugis, serta dilaksanakan melalui beberapa tahap adat
seperti mappesek-pesek, madduta, dan mappettu ada, yang penting untuk keabsahan
perkawinan secara adat. Uang panaik bahkan sering dianggap lebih penting
daripada mahar, meskipun dalam hukum Islam yang wajib hanyalah mahar. Tradisi
ini juga sejalan dengan nilai-nilai Bugis seperti sipakatau (saling memanusiakan),
sipakalebbi (saling menghargai), dan sipakainge (saling mengingatkan) yang
menjadi dasar membangun keluarga yang harmonis. Dalam kasus Putusan Nomor
717/Pdt.G/2019/PA.Wtp, hakim dinilai keliru karena menyamakan uang panaik
dengan mahar. Padahal, mahar adalah rukun sah pernikahan yang wajib dan
menjadi hak istri, sedangkan uang panaik hanyalah hibah adat sebagai bentuk
penghormatan dan kontribusi sosial. Dalam Islam, uang panaik sah sepanjang tidak
memberatkan dan tidak menghalangi pernikahan, tetapi tidak dapat ditarik kembali
kecuali ada perjanjian awal. Karena itu, putusan tersebut tidak sesuai dengan prinsip
syariat maupun nilai-nilai adat Bugis, serta mengabaikan keadilan dalam hubungan
sosial dan pernikahan.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik beberapa
kesimpulan diantaranya:
1. Konsep uang panaik dalam tradisi pernikahan masyarakat Bugis merupakan
simbol penghargaan dan tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan, yang
mencerminkan nilai sosial, kepribadian, religius, dan pengetahuan dalam
budaya Bugis. Tradisi ini dilaksanakan melalui beberapa tahap adat seperti
mappesek-pesek, madduta, dan mappettu ada, yang jika diabaikan dapat
menyebabkan perkawinan dianggap tidak sah secara adat. Uang panaik
dipandang sebagai unsur penting yang bahkan lebih diperhatikan daripada
mahar, meski dalam Islam yang wajib hanyalah mahar. Tradisi ini erat
kaitannya dengan nilai-nilai budaya Bugis seperti sipakatau (saling
memanusiakan), sipakalebbi (saling menghargai), dan sipakainge (saling
mengingatkan), yang menjadi fondasi dalam membangun keluarga yang
harmonis, saling mendukung, dan berakhlak mulia.
2. Pandangan hukum Islam terhadap pengembalian uang panaik dalam Putusan
Nomor 717/Pdt.G/2019/PA.Wtp., menunjukkan bahwa hakim keliru
menyamakan uang panaik dengan mahar, padahal keduanya berbeda secara
konsep dan hukum; mahar adalah rukun sah pernikahan yang wajib dan
menjadi hak istri, sementara uang panaik adalah hibah adat yang diberikan
kepada keluarga perempuan sebagai bentuk penghormatan dan kontribusi
sosial. Dalam Islam, uang panaik sah selama tidak memberatkan dan tidak
menghalangi pernikahan, namun tidak dapat dikembalikan kecuali ada
kesepakatan awal. Putusan tersebut dinilai tidak sesuai dengan prinsip syariat
maupun nilai-nilai adat Bugis, serta mengabaikan kaidah hukum Islam dan
prinsip keadilan dalam hubungan sosial dan pernikahan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai
berikut.
1. Kepada masyarakat Bugis, khususnya para orang tua dan tokoh adat,
disarankan untuk mempertimbangkan kembali penetapan jumlah uang panaik
agar tidak menjadi beban yang menghalangi terlaksananya pernikahan. Nilai
uang panaik sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan calon mempelai laki-
laki, tanpa mengurangi makna penghormatan terhadap pihak perempuan.
2. Kepada para hakim dan praktisi hukum di lingkungan peradilan agama,
diharapkan untuk lebih cermat membedakan antara konsep adat dan syariat,
serta tidak menyamakan uang panaik dengan mahar tanpa dasar yang sah
menurut hukum Islam. Pendekatan hukum harus memperhatikan kearifan lokal
sekaligus tetap selaras dengan prinsip-prinsip syariat.
3. Kepada pemerintah daerah dan lembaga keagamaan, disarankan untuk
memberikan edukasi hukum dan agama secara berkala kepada masyarakat
tentang pentingnya memahami perbedaan antara adat dan ketentuan syariat
Islam dalam perkawinan, agar tidak terjadi kesalahpahaman dan pelanggaran
nilai-nilai agama maupun sosial.
Ketersediaan
| SYA20250133 | 133/2025 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
133/2025
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2025
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
