Analisis Yuridis Putusan Nomor 1116/PDT.G/2021/PA.WTP dalam Menetapkan Nafkah Mut’ah dan ‘Iddah Dengan Rekonven
Al-Ifdal Ardiansyah/742302019096 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Analisis Yuridis Putusan Nomor
1116/PDT.G/2021/PA.WTP dalam Menetapkan Nafkah Mut’ah dan ‘Iddah Dengan
Rekonvensi. Pokok permasalahan penelitian ini adalah bagaimana Putusan tuntutan
nafkah Mut’ah dan ‘Iddah dapat dikabulkan tanpa mengajukan gugatan Rekonvensi,
dan pertimbangan hukum (argumentasi hukum) Putusan Nomor
1116/PDT.G/2021/PA.WTP yang mengabulkan tuntutan nafkah mut’ah dan ‘iddah
tanpa gugatan rekonvensi. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan
pendekatan yuridis normatif melalui metode analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan pada Pasal 41 huruf (c)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi mantan suami”, sehingga
kata “dapat” pada Pasal tersebut ditafsirkan boleh secara ex officio memberi ruang
kepada hakim untuk menetapkan mut’ah dan ‘iddah sebagai bentuk perlindungan hak
terhadap mantan istri akibat perceraian. Putusan majelis hakim tersebut sesuai dengan
KHI Pasal 149 huruf (a) menyebutkan bahwa bilamana perkawinan putus karena
talak, maka mantan suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada mantan
istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali mantan istrinya tersebut qobla ad
dukhul, serta Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang
Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama. Sehingga, dalam Putusan Nomor 1116/PDT.G/2021/PA.WTP pemberian
nafkah mut’ah wajib hukumnya.
Implikasi dari penelitian ini adalah 1) Perlunya regulasi khusus dan terperinci
berkenaan dengan pemberian nafkah mut’ah dan ‘iddah termasuk didalamnya
ketentuan-ketentuan yang jelas sehingga hakim dapat menjadikan aturan tersebut
rujukan dalam memutuskan perkara cerai talak sehingga tidak ada pertentangan
karena kewenangan hakim yakni hak ex officio; 2) Dalam pemeriksaan perkara,
perlunya ketelitian dan penjelasan yang mendetail hakim dalam mempertimbangkan
putusan utamanya berkenaan dengan pertimbangan hukum. Sebab, hal ini berkaitan
dengan implikasi hukum yang ditimbulkan pasca perceraian, terkait dengan nafkah.
A. Simpulan
1. Tuntutan nafkah mut’ah dan ‘iddah dikabulkan tanpa gugatan rekonvensi
berdasarkan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan salah
satu kewajiban yang timbul ketika terjadi perceraian karena talak. Dalam
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada Pasal 41 ayat (c)
dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian, maka pengadilan dapat
mewajibkan kepada suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri. Dalam KHI, sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 149 bahwa apabila perkawinan putus karena talak,
kewajiban-kewajiban yang dapat dibebankan kepada mantan suami. Pada poin
(a) dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian karena talak mantan suami
berkewajiban untuk memberikan mut’ah yang layak kepada mantan istinya,
baik berupa uang atau benda, kecuali mantan istri tersebut qabla al-dukhūl.
Kewajiban suami memberikan nafkah ‘iddah kepada istri yang diceraikannya
merujuk pada Pasal 149 huruf (b) KHI menyatakan bahwa akibat putusnya
perkawinan karena talak, maka suaminya wajib memberikan nafkah, maskan
(tempat tinggal), dan kiswah (pakaian) kepada mantan istri selama
masa‘iddah, kecuali mantan istru telah dijatuhi talak ba’in atau nusyūz dan
dalam keadaan tidak hamil.
2. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor 1116/PDT.G/2021/PA.WTP,
Majelis hakim mengabulkan permohonan suami untuk menjatuhkan talak satu
raj’i kepada istrinya di depan sidang Pengadilan Agama Watampone dengan
amar putusan pemohon memberikan nafkah mut’ah kepada Termohon sebesar
Rp.5.000.000.00 (lima juta rupiah) dan nafkah ‘iddah sebesar
Rp.3.000.000.00 (tiga juta rupiah). Majelis hakim menggunakan haknya
secara ex officio untuk menetapkan putusan membebankan Pemohon untuk
membayar nafkah ‘iddah dan mut’ah sekalipun tanpa adanya gugatan balik
(rekonvensi) berdasarkan KHI. Hak ex officio yakni hak atau kewenangan
yang dimiliki hakim karena jabatannya untuk memutus atau memberikan
sesuatu yang tidak ada dalam tuntutan. Putusan majelis hakim tersebut sesuai
dengan KHI Pasal 149 huruf (a) menyebutkan bahwa bilamana perkawinan
putus karena talak, maka mantan suami wajib memberikan mut’ah yang layak
kepada mantan istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali mantan istrinya
tersebut qobla al-dukhūl, serta Mahkamah Agung RI Nomor:
KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Sehingga, dalam Putusan Nomor
1116/PDT.G/2021/PA.WTP pemberian nafkah mut’ah wajib hukumnya.
B. Saran
1. Perlunya regulasi khusus dan terperinci berkenaan dengan pemberian nafkah
mut’ah dan ‘iddah termasuk didalamnya ketentuan-ketentuan yang jelas
sehingga hakim dapat menjadikan aturan tersebut rujukan dalam memutuskan
perkara cerai talak sehingga tidak ada pertentangan karena kewenangan hakim
yakni hak ex officio.
2. Dalam pemeriksaan perkara, perlunya ketelitian dan penjelasan yang
mendetail hakim dalam mempertimbangkan putusan utamanya berkenaan
dengan pertimbangan hukum. Sebab, hal ini berkaitan dengan implikasi
hukum yang ditimbulkan pasca perceraian, terkait dengan nafkah.
1116/PDT.G/2021/PA.WTP dalam Menetapkan Nafkah Mut’ah dan ‘Iddah Dengan
Rekonvensi. Pokok permasalahan penelitian ini adalah bagaimana Putusan tuntutan
nafkah Mut’ah dan ‘Iddah dapat dikabulkan tanpa mengajukan gugatan Rekonvensi,
dan pertimbangan hukum (argumentasi hukum) Putusan Nomor
1116/PDT.G/2021/PA.WTP yang mengabulkan tuntutan nafkah mut’ah dan ‘iddah
tanpa gugatan rekonvensi. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan
pendekatan yuridis normatif melalui metode analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan pada Pasal 41 huruf (c)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi mantan suami”, sehingga
kata “dapat” pada Pasal tersebut ditafsirkan boleh secara ex officio memberi ruang
kepada hakim untuk menetapkan mut’ah dan ‘iddah sebagai bentuk perlindungan hak
terhadap mantan istri akibat perceraian. Putusan majelis hakim tersebut sesuai dengan
KHI Pasal 149 huruf (a) menyebutkan bahwa bilamana perkawinan putus karena
talak, maka mantan suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada mantan
istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali mantan istrinya tersebut qobla ad
dukhul, serta Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang
Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama. Sehingga, dalam Putusan Nomor 1116/PDT.G/2021/PA.WTP pemberian
nafkah mut’ah wajib hukumnya.
Implikasi dari penelitian ini adalah 1) Perlunya regulasi khusus dan terperinci
berkenaan dengan pemberian nafkah mut’ah dan ‘iddah termasuk didalamnya
ketentuan-ketentuan yang jelas sehingga hakim dapat menjadikan aturan tersebut
rujukan dalam memutuskan perkara cerai talak sehingga tidak ada pertentangan
karena kewenangan hakim yakni hak ex officio; 2) Dalam pemeriksaan perkara,
perlunya ketelitian dan penjelasan yang mendetail hakim dalam mempertimbangkan
putusan utamanya berkenaan dengan pertimbangan hukum. Sebab, hal ini berkaitan
dengan implikasi hukum yang ditimbulkan pasca perceraian, terkait dengan nafkah.
A. Simpulan
1. Tuntutan nafkah mut’ah dan ‘iddah dikabulkan tanpa gugatan rekonvensi
berdasarkan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan salah
satu kewajiban yang timbul ketika terjadi perceraian karena talak. Dalam
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada Pasal 41 ayat (c)
dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian, maka pengadilan dapat
mewajibkan kepada suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri. Dalam KHI, sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 149 bahwa apabila perkawinan putus karena talak,
kewajiban-kewajiban yang dapat dibebankan kepada mantan suami. Pada poin
(a) dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian karena talak mantan suami
berkewajiban untuk memberikan mut’ah yang layak kepada mantan istinya,
baik berupa uang atau benda, kecuali mantan istri tersebut qabla al-dukhūl.
Kewajiban suami memberikan nafkah ‘iddah kepada istri yang diceraikannya
merujuk pada Pasal 149 huruf (b) KHI menyatakan bahwa akibat putusnya
perkawinan karena talak, maka suaminya wajib memberikan nafkah, maskan
(tempat tinggal), dan kiswah (pakaian) kepada mantan istri selama
masa‘iddah, kecuali mantan istru telah dijatuhi talak ba’in atau nusyūz dan
dalam keadaan tidak hamil.
2. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor 1116/PDT.G/2021/PA.WTP,
Majelis hakim mengabulkan permohonan suami untuk menjatuhkan talak satu
raj’i kepada istrinya di depan sidang Pengadilan Agama Watampone dengan
amar putusan pemohon memberikan nafkah mut’ah kepada Termohon sebesar
Rp.5.000.000.00 (lima juta rupiah) dan nafkah ‘iddah sebesar
Rp.3.000.000.00 (tiga juta rupiah). Majelis hakim menggunakan haknya
secara ex officio untuk menetapkan putusan membebankan Pemohon untuk
membayar nafkah ‘iddah dan mut’ah sekalipun tanpa adanya gugatan balik
(rekonvensi) berdasarkan KHI. Hak ex officio yakni hak atau kewenangan
yang dimiliki hakim karena jabatannya untuk memutus atau memberikan
sesuatu yang tidak ada dalam tuntutan. Putusan majelis hakim tersebut sesuai
dengan KHI Pasal 149 huruf (a) menyebutkan bahwa bilamana perkawinan
putus karena talak, maka mantan suami wajib memberikan mut’ah yang layak
kepada mantan istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali mantan istrinya
tersebut qobla al-dukhūl, serta Mahkamah Agung RI Nomor:
KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Sehingga, dalam Putusan Nomor
1116/PDT.G/2021/PA.WTP pemberian nafkah mut’ah wajib hukumnya.
B. Saran
1. Perlunya regulasi khusus dan terperinci berkenaan dengan pemberian nafkah
mut’ah dan ‘iddah termasuk didalamnya ketentuan-ketentuan yang jelas
sehingga hakim dapat menjadikan aturan tersebut rujukan dalam memutuskan
perkara cerai talak sehingga tidak ada pertentangan karena kewenangan hakim
yakni hak ex officio.
2. Dalam pemeriksaan perkara, perlunya ketelitian dan penjelasan yang
mendetail hakim dalam mempertimbangkan putusan utamanya berkenaan
dengan pertimbangan hukum. Sebab, hal ini berkaitan dengan implikasi
hukum yang ditimbulkan pasca perceraian, terkait dengan nafkah.
Ketersediaan
| SSYA20230122 | 122/2023 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
122/2023
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2023
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
