Tradisi Penggunaan Mispa Haji Dalam Masyarakat Bugis Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Studi Desa Bulu-Bulu Kec.Tonra)
Fajaruddin/742302019225 - Personal Name
Skripsi ini membahas mengenai tradisi penggunaan mispa bagi haji dalam
masyarakat Bugis di tinjau dari segi Hukum Islam di Desa Bulu-Bulu Kecamatan
Tonra. Busana dan atribut bagi perempuan yang sudah berhaji dikenakan baik di dalam
maupun di luar rumah. Menggunakan atribut kehajian di luar rumah, dapat terlihat
oleh masyarakat sekitar, dengan begitu akan lebih mudah ditandai bahwa ia adalah
seorang haji dan akan mendapatkan penghargaan dari orang lain. Hal demikian
disebabkan karna terdapat anggapan dalam masyarakat Bugis bahwa orang yang sudah
berhaji di anggap sebagai orang mampu dari segi materi. Adapun tujuan penelitian ini
yaitu untuk mengetahui landasan pemahaman masyarakat mengenai tradisi
penggunaan Mispa bagi Haji serta pandangan hukum Islam mengenai tradisi
penggunaan Mispa bagi Haji di Desa Bulu-Bulu Kecamatan Tonra.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research)
dengan penelitian kualitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan yakni pendekatan
yuridis normatif, dan empiris. Metode pengumpulan data yakni observasi, wawancara
dan dokumentasi. Selain itu metode analisis data yang digunakan adalah reduksi data,
penyajian data dan verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Tradisi penggunaan Mispa bagi Haji di
Desa Bulu-Bulu, Kecamatan Tonra, memiliki makna yang mendalam dalam
masyarakat Bugis. Mispa adalah simbol kehormatan, penghargaan, dan pengorbanan
terhadap agama Islam yang suci, mencerminkan keteguhan iman dan komitmen
spiritual, serta menghubungkan generasi-generasi dalam budaya yang kaya. Proses
persiapan melibatkan kerjasama dengan pengrajin untuk merancang desain yang
sesuai, dengan momen emosional sebelum dan setelah perjalanan Haji, dan
penggunaannya mencerminkan ekspresi budaya yang khas. Tradisi ini memperkaya
warisan budaya dan dijaga dengan penuh komitmen oleh masyarakat Desa Bulu-Bulu,
yang secara aktif terlibat dalam melestarikannya untuk generasi mendatang.
2) Pandangan hukum Islam mengenai tradisi penggunaan Mispa bagi Haji di Desa
Bulu-Bulu, Kecamatan Tonra, menekankan kewajiban menutup aurat, melarang
menampakkan perhiasan kepada bukan mahram, dan memerintahkan pemakaian
jilbab. Meskipun sebagian perempuan yang sudah berhaji tetap mempraktikkan tradisi
menggunakan Mispa setelah haji, ini bertentangan dengan aturan menutup aurat dalam
Islam. Ada ketidaksesuaian antara pemahaman dan praktik terkait batasan aurat dalam
syari'at.
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut.
1. Tradisi penggunaan Mispa bagi Haji di Desa Bulu-Bulu, Kecamatan Tonra,
memiliki makna yang mendalam dalam masyarakat Bugis. Mispa adalah simbol
kehormatan, penghargaan, dan pengorbanan terhadap agama Islam yang suci,
mencerminkan keteguhan iman dan komitmen spiritual, serta menghubungkan
generasi-generasi dalam budaya yang kaya. Proses persiapan melibatkan
kerjasama dengan pengrajin untuk merancang desain yang sesuai, dengan momen
emosional sebelum dan setelah perjalanan Haji, dan penggunaannya
mencerminkan ekspresi budaya yang khas. Tradisi ini memperkaya warisan
budaya dan dijaga dengan penuh komitmen oleh masyarakat Desa Bulu-Bulu,
yang secara aktif terlibat dalam melestarikannya untuk generasi mendatang.
2. Pandangan hukum Islam mengenai tradisi penggunaan Mispa bagi Haji di Desa
Bulu-Bulu, Kecamatan Tonra, menekankan kewajiban menutup aurat, melarang
menampakkan perhiasan kepada bukan mahram, dan memerintahkan pemakaian
jilbab. Meskipun sebagian perempuan yang sudah berhaji tetap mempraktikkan
tradisi menggunakan Mispa setelah haji, ini bertentangan dengan aturan menutup
aurat dalam Islam. Ada ketidaksesuaian antara pemahaman dan praktik terkait
batasan aurat dalam syari'at.
B. Saran
Adapun saran yang dapat dijadikan rekomendasi dari hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagi Masyarakat
Masyarakat perlu meningkatkan pemahaman mereka tentang ajaran Islam
terkait aurat, perhiasan, dan berpakaian sesuai syari'at. Hal ini bisa dicapai melalui
partisipasi aktif dalam kelas agama, seminar, atau dialog dengan ulama. Kesadaran
akan pentingnya berpakaian yang sesuai dengan ajaran agama harus ditingkatkan, dan
masyarakat harus lebih berhati-hati dalam membedakan antara tradisi lokal dan
ketentuan syari'at Islam.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian selanjutnya dapat mendalami sejauh mana konflik antara tradisi
lokal dan ajaran Islam dalam praktik berpakaian dan aurat di berbagai komunitas.
Faktor-faktor sosial, budaya, dan sejarah yang memengaruhi pilihan berpakaian
masyarakat juga dapat dijelajahi lebih lanjut untuk memahami konteks yang lebih
mendalam. Terakhir, penelitian yang berfokus pada perspektif gender dalam praktik
berpakaian dapat memberikan wawasan yang berharga terkait dampaknya pada
kehidupan perempuan dari berbagai sudut pandang.
masyarakat Bugis di tinjau dari segi Hukum Islam di Desa Bulu-Bulu Kecamatan
Tonra. Busana dan atribut bagi perempuan yang sudah berhaji dikenakan baik di dalam
maupun di luar rumah. Menggunakan atribut kehajian di luar rumah, dapat terlihat
oleh masyarakat sekitar, dengan begitu akan lebih mudah ditandai bahwa ia adalah
seorang haji dan akan mendapatkan penghargaan dari orang lain. Hal demikian
disebabkan karna terdapat anggapan dalam masyarakat Bugis bahwa orang yang sudah
berhaji di anggap sebagai orang mampu dari segi materi. Adapun tujuan penelitian ini
yaitu untuk mengetahui landasan pemahaman masyarakat mengenai tradisi
penggunaan Mispa bagi Haji serta pandangan hukum Islam mengenai tradisi
penggunaan Mispa bagi Haji di Desa Bulu-Bulu Kecamatan Tonra.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research)
dengan penelitian kualitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan yakni pendekatan
yuridis normatif, dan empiris. Metode pengumpulan data yakni observasi, wawancara
dan dokumentasi. Selain itu metode analisis data yang digunakan adalah reduksi data,
penyajian data dan verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Tradisi penggunaan Mispa bagi Haji di
Desa Bulu-Bulu, Kecamatan Tonra, memiliki makna yang mendalam dalam
masyarakat Bugis. Mispa adalah simbol kehormatan, penghargaan, dan pengorbanan
terhadap agama Islam yang suci, mencerminkan keteguhan iman dan komitmen
spiritual, serta menghubungkan generasi-generasi dalam budaya yang kaya. Proses
persiapan melibatkan kerjasama dengan pengrajin untuk merancang desain yang
sesuai, dengan momen emosional sebelum dan setelah perjalanan Haji, dan
penggunaannya mencerminkan ekspresi budaya yang khas. Tradisi ini memperkaya
warisan budaya dan dijaga dengan penuh komitmen oleh masyarakat Desa Bulu-Bulu,
yang secara aktif terlibat dalam melestarikannya untuk generasi mendatang.
2) Pandangan hukum Islam mengenai tradisi penggunaan Mispa bagi Haji di Desa
Bulu-Bulu, Kecamatan Tonra, menekankan kewajiban menutup aurat, melarang
menampakkan perhiasan kepada bukan mahram, dan memerintahkan pemakaian
jilbab. Meskipun sebagian perempuan yang sudah berhaji tetap mempraktikkan tradisi
menggunakan Mispa setelah haji, ini bertentangan dengan aturan menutup aurat dalam
Islam. Ada ketidaksesuaian antara pemahaman dan praktik terkait batasan aurat dalam
syari'at.
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut.
1. Tradisi penggunaan Mispa bagi Haji di Desa Bulu-Bulu, Kecamatan Tonra,
memiliki makna yang mendalam dalam masyarakat Bugis. Mispa adalah simbol
kehormatan, penghargaan, dan pengorbanan terhadap agama Islam yang suci,
mencerminkan keteguhan iman dan komitmen spiritual, serta menghubungkan
generasi-generasi dalam budaya yang kaya. Proses persiapan melibatkan
kerjasama dengan pengrajin untuk merancang desain yang sesuai, dengan momen
emosional sebelum dan setelah perjalanan Haji, dan penggunaannya
mencerminkan ekspresi budaya yang khas. Tradisi ini memperkaya warisan
budaya dan dijaga dengan penuh komitmen oleh masyarakat Desa Bulu-Bulu,
yang secara aktif terlibat dalam melestarikannya untuk generasi mendatang.
2. Pandangan hukum Islam mengenai tradisi penggunaan Mispa bagi Haji di Desa
Bulu-Bulu, Kecamatan Tonra, menekankan kewajiban menutup aurat, melarang
menampakkan perhiasan kepada bukan mahram, dan memerintahkan pemakaian
jilbab. Meskipun sebagian perempuan yang sudah berhaji tetap mempraktikkan
tradisi menggunakan Mispa setelah haji, ini bertentangan dengan aturan menutup
aurat dalam Islam. Ada ketidaksesuaian antara pemahaman dan praktik terkait
batasan aurat dalam syari'at.
B. Saran
Adapun saran yang dapat dijadikan rekomendasi dari hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagi Masyarakat
Masyarakat perlu meningkatkan pemahaman mereka tentang ajaran Islam
terkait aurat, perhiasan, dan berpakaian sesuai syari'at. Hal ini bisa dicapai melalui
partisipasi aktif dalam kelas agama, seminar, atau dialog dengan ulama. Kesadaran
akan pentingnya berpakaian yang sesuai dengan ajaran agama harus ditingkatkan, dan
masyarakat harus lebih berhati-hati dalam membedakan antara tradisi lokal dan
ketentuan syari'at Islam.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian selanjutnya dapat mendalami sejauh mana konflik antara tradisi
lokal dan ajaran Islam dalam praktik berpakaian dan aurat di berbagai komunitas.
Faktor-faktor sosial, budaya, dan sejarah yang memengaruhi pilihan berpakaian
masyarakat juga dapat dijelajahi lebih lanjut untuk memahami konteks yang lebih
mendalam. Terakhir, penelitian yang berfokus pada perspektif gender dalam praktik
berpakaian dapat memberikan wawasan yang berharga terkait dampaknya pada
kehidupan perempuan dari berbagai sudut pandang.
Ketersediaan
| SSYA20240249 | 249/2024 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
249/2024
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2024
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
