Tinjauan Hukum terhadap Kewajiban Mahkamah Konstitusi dalam Memberikan Putusan Atas Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/Atau Wakil Presiden
Muhammad Alfyan Rayusman/742352019073 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang tinjauan hukum terhadap kewajiban Mahkamah
Konstitusi dalam memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden, dengan pokok masalah yaitu:
Bagaimana dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden, dan Bagaimana
problematika penerapan pemberian putusan oleh MK atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden. Penelitian ini dianalisis
menggunakan pendakatan yuridis normatif. Penelitian ini termasuk dalam jenis
penelitian kepustakaan (library research).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme impeachment presiden
dan/atau wakil presiden diatur berdasarkan Pasal 24C UUD NKRI 1945 dan diatur
lebih lanjut dalam Bab III Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Beberapa masalah yang muncul dalam mekanisme impeachment presiden
dan/atau wakil presiden berdasarkan UUD NKRI 1945 adalah: 1) Ketidakpastian atas
kekuatan hukum putusan Mahkamah Konstitusi, yang dapat dianulir oleh MPR secara
politik. Ini menunjukkan bahwa kewenangan memberhentikan presiden dan/atau
wakil presiden adalah hak prerogatif MPR; 2) Pemberian kesempatan kepada
presiden dan/atau wakil presiden untuk menyampaikan pendapat dalam Rapat
Paripurna MPR setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mendukung pendapat
DPR, yang mungkin memunculkan pertentangan antara putusan Mahkamah
Konstitusi dan MPR; 3) Kemungkinan pertentangan antara putusan Mahkamah
Konstitusi dengan MPR yang bisa menurunkan supremasi hukum di atas politik,
menunjukkan bahwa sistem ini mungkin tidak mengedepankan prinsip supremasi
hukum; 4) Putusan Mahkamah Konstitusi tidak bersifat final dan mengikat (final dan
binding), sehingga masih bisa dianulir oleh MPR melalui mekanisme politik yang
diatur dalam UUD NKRI 1945. Ini mencerminkan kompleksitas proses impeachment
presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia, di mana faktor politik dan hukum
saling berinteraksi dan dapat mempengaruhi hasil akhir.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan
sebagai berikut:
1. Dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan pendapat DPR
terhadap dugaan pelanggaran presiden dan/atau wakil presiden diatur
berdasarkan Pasal 24C UUD Negara Kesatuan RI Tahun 1945 dan
pengaturannya berdasarkan Bab III Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya kedudukkan putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran presiden
dan/atau wakil presiden adalah sebagai pertimbangan hukum dan sebagai
pembuktian benar tidaknya pendapat DPR. Selanjutnya putusan tersebut
dijadikan dasar oleh MPR untuk memutuskan bersalah atau tidaknya presiden
dan/atau wakil Presiden.
2. Problematika yang dijumpai dalam mekanisme impeachment presiden
dan/atau wakil presiden berdasarkan UUD NRI 1945 (Perspektif Pergulatan
Politik dan Hukum) yaitu terletak pada proses dan lembaga yang berwenang
memakzulkan presiden dan/atau wakil presiden. Di mana putusan Mahkamah
Konstitusi tidaklah bersifat final dan mengikat dalam kasus ini. Mengingat
kewenangan memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden adalah hak
prerogatif MPR. Sehingga putusan hukum Mahkamah Konstitusi bisa dianulir
secara politik oleh MPR. Persoalan lainnya adalah pemberian kesempatan
kepada presiden dan/atau wakil presiden untuk menyampaikan pendapat
dalam Rapat Paripurna MPR, padahal sudah ada putusan Mahkamah
Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR mengenai pelanggarannya
menurut UUD NRI 1945. Di tambah lagi adanya kemungkinan pertentangan
keputusan antara Mahkamah Konstitusi dengan MPR yang bisa menurunkan
supremasi hukum atas politik. Bahwa pergulatan politik dan hukum dalam
mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana
diatur dalam UUD NRI 1945 tidak meletakkan prinsip supremasi hukum atas
politik. Mengingat putusan konstitusional Mahkamah Konstitusi atas pendapat
DPR tersebut tidaklah bersifat final dan mengikat (final dan binding),
melainkan masih terbuka kemungkinan untuk dianulir kembali oleh MPR
melalui mekanisme politik yang disedikan UUD NRI 1945. Dengan demikian,
seola-olah proses tersebut menempatkan putusan politik lebih tinggi
(supreme) dari putusan lembaga peradilan.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka
penulis menyampaikan beberapa saran untuk pihak terkait yaitu sebagai berikut:
Agar mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Waki Presiden
sesuai dengan prinsip negara hukum, sebaiknya MPR dalam memutuskan hal
tersebut tidak berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Mengingat
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga hukum, sedangkan MPR merupakan
institusi politik. Dengan keselarasan putusan MPR dengan Mahkamah
Konstitusi, maka pergulatan antara politik dan hukum dimenangkan oleh hukum
sehingga supremasi hukum atas politik bisa terwujud. Bukan malah sebaliknya,
politik determinan atas hukum. Bilamana terbuka peluang Perubahan UUD
1945 kembali, maka sebaiknya MPR segera mengkonstruksi dan membenahi
mekanisme pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden agar lebih sesuai lagi
dengan prinsip yang berlaku di negara hukum, di mana hukumlah menjadi
panglima, bukan politik.
Konstitusi dalam memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden, dengan pokok masalah yaitu:
Bagaimana dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden, dan Bagaimana
problematika penerapan pemberian putusan oleh MK atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden. Penelitian ini dianalisis
menggunakan pendakatan yuridis normatif. Penelitian ini termasuk dalam jenis
penelitian kepustakaan (library research).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme impeachment presiden
dan/atau wakil presiden diatur berdasarkan Pasal 24C UUD NKRI 1945 dan diatur
lebih lanjut dalam Bab III Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Beberapa masalah yang muncul dalam mekanisme impeachment presiden
dan/atau wakil presiden berdasarkan UUD NKRI 1945 adalah: 1) Ketidakpastian atas
kekuatan hukum putusan Mahkamah Konstitusi, yang dapat dianulir oleh MPR secara
politik. Ini menunjukkan bahwa kewenangan memberhentikan presiden dan/atau
wakil presiden adalah hak prerogatif MPR; 2) Pemberian kesempatan kepada
presiden dan/atau wakil presiden untuk menyampaikan pendapat dalam Rapat
Paripurna MPR setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mendukung pendapat
DPR, yang mungkin memunculkan pertentangan antara putusan Mahkamah
Konstitusi dan MPR; 3) Kemungkinan pertentangan antara putusan Mahkamah
Konstitusi dengan MPR yang bisa menurunkan supremasi hukum di atas politik,
menunjukkan bahwa sistem ini mungkin tidak mengedepankan prinsip supremasi
hukum; 4) Putusan Mahkamah Konstitusi tidak bersifat final dan mengikat (final dan
binding), sehingga masih bisa dianulir oleh MPR melalui mekanisme politik yang
diatur dalam UUD NKRI 1945. Ini mencerminkan kompleksitas proses impeachment
presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia, di mana faktor politik dan hukum
saling berinteraksi dan dapat mempengaruhi hasil akhir.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan
sebagai berikut:
1. Dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan pendapat DPR
terhadap dugaan pelanggaran presiden dan/atau wakil presiden diatur
berdasarkan Pasal 24C UUD Negara Kesatuan RI Tahun 1945 dan
pengaturannya berdasarkan Bab III Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya kedudukkan putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran presiden
dan/atau wakil presiden adalah sebagai pertimbangan hukum dan sebagai
pembuktian benar tidaknya pendapat DPR. Selanjutnya putusan tersebut
dijadikan dasar oleh MPR untuk memutuskan bersalah atau tidaknya presiden
dan/atau wakil Presiden.
2. Problematika yang dijumpai dalam mekanisme impeachment presiden
dan/atau wakil presiden berdasarkan UUD NRI 1945 (Perspektif Pergulatan
Politik dan Hukum) yaitu terletak pada proses dan lembaga yang berwenang
memakzulkan presiden dan/atau wakil presiden. Di mana putusan Mahkamah
Konstitusi tidaklah bersifat final dan mengikat dalam kasus ini. Mengingat
kewenangan memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden adalah hak
prerogatif MPR. Sehingga putusan hukum Mahkamah Konstitusi bisa dianulir
secara politik oleh MPR. Persoalan lainnya adalah pemberian kesempatan
kepada presiden dan/atau wakil presiden untuk menyampaikan pendapat
dalam Rapat Paripurna MPR, padahal sudah ada putusan Mahkamah
Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR mengenai pelanggarannya
menurut UUD NRI 1945. Di tambah lagi adanya kemungkinan pertentangan
keputusan antara Mahkamah Konstitusi dengan MPR yang bisa menurunkan
supremasi hukum atas politik. Bahwa pergulatan politik dan hukum dalam
mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana
diatur dalam UUD NRI 1945 tidak meletakkan prinsip supremasi hukum atas
politik. Mengingat putusan konstitusional Mahkamah Konstitusi atas pendapat
DPR tersebut tidaklah bersifat final dan mengikat (final dan binding),
melainkan masih terbuka kemungkinan untuk dianulir kembali oleh MPR
melalui mekanisme politik yang disedikan UUD NRI 1945. Dengan demikian,
seola-olah proses tersebut menempatkan putusan politik lebih tinggi
(supreme) dari putusan lembaga peradilan.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka
penulis menyampaikan beberapa saran untuk pihak terkait yaitu sebagai berikut:
Agar mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Waki Presiden
sesuai dengan prinsip negara hukum, sebaiknya MPR dalam memutuskan hal
tersebut tidak berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Mengingat
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga hukum, sedangkan MPR merupakan
institusi politik. Dengan keselarasan putusan MPR dengan Mahkamah
Konstitusi, maka pergulatan antara politik dan hukum dimenangkan oleh hukum
sehingga supremasi hukum atas politik bisa terwujud. Bukan malah sebaliknya,
politik determinan atas hukum. Bilamana terbuka peluang Perubahan UUD
1945 kembali, maka sebaiknya MPR segera mengkonstruksi dan membenahi
mekanisme pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden agar lebih sesuai lagi
dengan prinsip yang berlaku di negara hukum, di mana hukumlah menjadi
panglima, bukan politik.
Ketersediaan
| SSYA20230209 | 209/2023 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
Skripsi Syariah
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2023
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
