Tinjauan Yuridis Pasal 341 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemanfaatan Alat Bantu Coblos Bagi Tunanetra
Nurfazira/742352019099 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Tinjauan Yuridis Pasal 341 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemanfaatan Alat Bantu Coblos Bagi Tunanetra.
Permasalahan ini adalah bagaimana afirmasi Pasal 341 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang pemanfaatan alat bantu coblos bagi tunanetra dan bagaimana
aspek-aspek keadilan dan pemenuhan hak politik tunanetra dalam pemilihan umum.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui afirmasi Pasal 341 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang pemanfaatan alat bantu coblos bagi tunanetra dan untuk
mengetahui aspek-aspek keadilan dan pemenuhan hak politik tunanetra dalam
pemilihan umum. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research)
dengan menggunakan 2 pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai
penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution) telah melegitimasi
bahwa hak pilih dalam pemilu merupakan hak konstitusional setiap warga negara.
Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 sebagaimana terakhir disempurnakan dengan
Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2019 perihal pemungutan suara. Pasal 25 juncto
Pasal 43 ayat (4) secara substantif memuat bahwa pemilih tunanetra saat menyalurkan
suaranya dalam pemilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden serta anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat menggunakan alat bantu tunanetra.
Keputusan KPU dalam hal ini mengeluarkan sebuah aturan yang terdapat dalam Pasal
43 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 yang menjelaskan alat bantu
tunanetra hanya mengakomodasi dua dari total lima jenis pemilihan dalam konsep
pemilu serentak melanggar hak pilih pemilih tunanetra. Jelas bahwa hal ini
bertentangan dengan Pasal 341 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 yang di mana
alat bantu tunanetra harus disediakan bukan hanya pada pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden serta pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah tetapi juga harus
tersedia pada saat pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Kemudian, aspek-aspek keadilan dan pemenuhan hak
politik tunanetra dalam pemilihan umum masih terdapat marjinalisasi antar pemilih.
Di satu sisi mereka diberi kesempatan untuk dapat memilih, namun di sisi lain
dihambat secara teknis prosedural untuk menyalurkan suaranya. Tentu saja,
kenyataan itu telah jauh menyimpang dari cita awal yang terkristalisasikan dalam
naskah konstitusi.
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan skripsi yang telah diuraikan di atas, peneliti dapat
menarik simpulan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah
sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, regulasi secara tegas telah
melegitimasi pemanfaatan alat bantu tunanetra sebagai salah satu metode
pemungutan suara bagi pemilih tunanetra. Namun pada kenyataannya,
afirmasi Pasal 341 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum terhadap alat bantu coblos bagi pemilih tunanetra dalam pemilu masih
bersifat parsial, karena hanya terbatas pada dua dari total lima jenis pemilihan.
Terlebih, ukuran dan desain yang ditetapkan Keputusan KPU sangatlah besar
dan padat akan keterangan huruf braille, sehingga menyulitkan pemilih
tunanetra.
2. Aspek-aspek keadilan dan pemenuhan hak politik bagi
tunanetra
menggambarkan masih adanya marjinalisasi antar pemilih. Pemilih tunanetra
hanya diberi kesempatan untuk dapat memilih, namun tidak diberikan fasilitas
dan juga dihambat secara teknis prosedural untuk menyalurkan suaranya. Hal
ini juga tidak sesuai dengan teori keadilan sebagai fairness karena keadilan
sebagai fairness bersifat kontraktual, maka harus dicapai dalam diskursus
yang sifatnya rasional, bebas, dan demokratis. Melalui diskursus inilah
masyarakat bisa sampai pada pemahaman dan implementasi keadilan dalam
kehidupan sehari-hari. Padahal, legitimasi instrumen hukum internasional
diberikan khusus terhadap kelompok tunanetra sebagai penyandang
disabilitas. Hak pilih mereka telah dijamin berdasarkan Konvensi mengenai
Hak-hak Penyandang Disabilitas. Ketentuan Pasal 29 Konvensi tersebut
secara spesifik memuat garansi perihal partisipasi efektif dalam kehidupan
politik dan publik atas dasar kesederajatan. Hak fundamental pemilih
tunanetra harus benar-benar dijamin untuk bisa terlibat dalam pemerintahan
dan turut serta melakukan pemilihan dalam kontestasi pemilu secara bebas,
adil dan berkala.
B. Saran
Adapun saran peneliti mengenai skripsi yang telah diuraikan di atas, terhadap
afirmasi dan aspek-aspek keadilan serta pemenuhan hak politik tunanetra, sebagai
berikut:
1. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kehakiman yang memiliki
kewenangan untuk merevisi kembali Keputusan KPU Pasal 43 ayat (4)
Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 terkait alat bantu tunanetra yang hanya
mengakomodasi dua dari total lima jenis pemilihan dalam konsep pemilu.
Supaya tidak ada batasan pemilih disabilitas dalam memilih calon Presiden
dan Wakil Presiden, anggota DPD, DPR, dan DPRD, sehingga tidak
melanggar hak pilih pemilih tunanetra.
2. Sebaiknya, KPU memperluas lingkup penyediaan alat bantu coblos bagi
tunanetra yang nantinya disertai pula dengan upaya partisi terhadap lembarnya
yaitu desain alat bantu coblos yang awalnya hanya terdiri dari satu eksemplar
dalam format ukuran yang cukup besar dibagi menjadi beberapa eksemplar.
Selain itu, KPU juga harus bisa memenuhi hak fundamental dan keadilan bagi
pemilih tunanetra dalam pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemanfaatan Alat Bantu Coblos Bagi Tunanetra.
Permasalahan ini adalah bagaimana afirmasi Pasal 341 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang pemanfaatan alat bantu coblos bagi tunanetra dan bagaimana
aspek-aspek keadilan dan pemenuhan hak politik tunanetra dalam pemilihan umum.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui afirmasi Pasal 341 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang pemanfaatan alat bantu coblos bagi tunanetra dan untuk
mengetahui aspek-aspek keadilan dan pemenuhan hak politik tunanetra dalam
pemilihan umum. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research)
dengan menggunakan 2 pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai
penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution) telah melegitimasi
bahwa hak pilih dalam pemilu merupakan hak konstitusional setiap warga negara.
Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 sebagaimana terakhir disempurnakan dengan
Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2019 perihal pemungutan suara. Pasal 25 juncto
Pasal 43 ayat (4) secara substantif memuat bahwa pemilih tunanetra saat menyalurkan
suaranya dalam pemilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden serta anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat menggunakan alat bantu tunanetra.
Keputusan KPU dalam hal ini mengeluarkan sebuah aturan yang terdapat dalam Pasal
43 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 yang menjelaskan alat bantu
tunanetra hanya mengakomodasi dua dari total lima jenis pemilihan dalam konsep
pemilu serentak melanggar hak pilih pemilih tunanetra. Jelas bahwa hal ini
bertentangan dengan Pasal 341 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 yang di mana
alat bantu tunanetra harus disediakan bukan hanya pada pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden serta pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah tetapi juga harus
tersedia pada saat pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Kemudian, aspek-aspek keadilan dan pemenuhan hak
politik tunanetra dalam pemilihan umum masih terdapat marjinalisasi antar pemilih.
Di satu sisi mereka diberi kesempatan untuk dapat memilih, namun di sisi lain
dihambat secara teknis prosedural untuk menyalurkan suaranya. Tentu saja,
kenyataan itu telah jauh menyimpang dari cita awal yang terkristalisasikan dalam
naskah konstitusi.
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan skripsi yang telah diuraikan di atas, peneliti dapat
menarik simpulan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah
sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, regulasi secara tegas telah
melegitimasi pemanfaatan alat bantu tunanetra sebagai salah satu metode
pemungutan suara bagi pemilih tunanetra. Namun pada kenyataannya,
afirmasi Pasal 341 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum terhadap alat bantu coblos bagi pemilih tunanetra dalam pemilu masih
bersifat parsial, karena hanya terbatas pada dua dari total lima jenis pemilihan.
Terlebih, ukuran dan desain yang ditetapkan Keputusan KPU sangatlah besar
dan padat akan keterangan huruf braille, sehingga menyulitkan pemilih
tunanetra.
2. Aspek-aspek keadilan dan pemenuhan hak politik bagi
tunanetra
menggambarkan masih adanya marjinalisasi antar pemilih. Pemilih tunanetra
hanya diberi kesempatan untuk dapat memilih, namun tidak diberikan fasilitas
dan juga dihambat secara teknis prosedural untuk menyalurkan suaranya. Hal
ini juga tidak sesuai dengan teori keadilan sebagai fairness karena keadilan
sebagai fairness bersifat kontraktual, maka harus dicapai dalam diskursus
yang sifatnya rasional, bebas, dan demokratis. Melalui diskursus inilah
masyarakat bisa sampai pada pemahaman dan implementasi keadilan dalam
kehidupan sehari-hari. Padahal, legitimasi instrumen hukum internasional
diberikan khusus terhadap kelompok tunanetra sebagai penyandang
disabilitas. Hak pilih mereka telah dijamin berdasarkan Konvensi mengenai
Hak-hak Penyandang Disabilitas. Ketentuan Pasal 29 Konvensi tersebut
secara spesifik memuat garansi perihal partisipasi efektif dalam kehidupan
politik dan publik atas dasar kesederajatan. Hak fundamental pemilih
tunanetra harus benar-benar dijamin untuk bisa terlibat dalam pemerintahan
dan turut serta melakukan pemilihan dalam kontestasi pemilu secara bebas,
adil dan berkala.
B. Saran
Adapun saran peneliti mengenai skripsi yang telah diuraikan di atas, terhadap
afirmasi dan aspek-aspek keadilan serta pemenuhan hak politik tunanetra, sebagai
berikut:
1. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kehakiman yang memiliki
kewenangan untuk merevisi kembali Keputusan KPU Pasal 43 ayat (4)
Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 terkait alat bantu tunanetra yang hanya
mengakomodasi dua dari total lima jenis pemilihan dalam konsep pemilu.
Supaya tidak ada batasan pemilih disabilitas dalam memilih calon Presiden
dan Wakil Presiden, anggota DPD, DPR, dan DPRD, sehingga tidak
melanggar hak pilih pemilih tunanetra.
2. Sebaiknya, KPU memperluas lingkup penyediaan alat bantu coblos bagi
tunanetra yang nantinya disertai pula dengan upaya partisi terhadap lembarnya
yaitu desain alat bantu coblos yang awalnya hanya terdiri dari satu eksemplar
dalam format ukuran yang cukup besar dibagi menjadi beberapa eksemplar.
Selain itu, KPU juga harus bisa memenuhi hak fundamental dan keadilan bagi
pemilih tunanetra dalam pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
Ketersediaan
| SSYA20220106 | 106/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
106/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
