Eksistensi Wali Dalam Perkawinan (Studi Komparasi Imam Hanafi Dan Pasal 14 KHI)
Tia Monica/742302019092 - Personal Name
Skripsi ini membahas mengenai Eksistensi Wali dalam Perkawinan (Studi
Komparasi Imam Hanafi dengan Pasal 14 KHI). Penelitian ini memiliki tujuan untuk
mengetahui bagaimana kedudukan wali dalam perkawinan menurut Imam Hanafi dan
pentingnya keberadaan wali dalam perkawinan dalam pasal 14 KHI.
Untuk memperoleh data dari masalah tersebut, penulis dengan melakukan
penelitian pustaka (library research) yang menggunakan metode pendekatan teologis
normatif dan pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan berbagai macam
informasi dari buku-buku dan situs internet (jurnal dan skripsi), yang pengambilan
datanya dengan cara membaca berbagai macam informasi dari bahan-bahan pustaka
yang terkait dengan pembahasan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan wali menurut madzhab
Hanafi hanyalah anjuran saja bukan diwajibkan. Perempuan yang sudah dewasa dan
sehat akalnya dapat melakukan sendiri pernikahannya dan tidak memerlukan wali
untuk mengakadkannya. Alasan rasionalnya merupakan orang yang dewasa dan sehat
akalnya dapat bertindak hukum dengan sendirinya tanpa diperlukan bantuan walinya.
Hukum di Indonesia baik hukum adat maupun hukum positif menetapkan bahwa wali
nikah yaitu rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahkannya guna menentukan sah dan tidaknya suatu pernikahan. Tanpa
wali, orang akan dengan mudah mengaku telah menikah, sementara ia tidak memiliki
bukti yang kuat, hal ini bisa mengakibatkan banyaknya orang yang kawin dibawah
tangan atau nikah siri. Pendapat ini sangat relevan dengan realitas kehidupan masa
kini. Jika dibolehkan nikah tanpa wali, maka sebelum nikah orang-orang akan berani
mengadakan hubungan badan, karena orang itu akan beranggapan nikah itu sangat
mudah, dan jika ia sudah menikah hak dan kewajiban masing-masing menjadi tidak
jelas.
A. Kesimpulan
1. Abu Hanifah hidup di Kota Kuffah, di masa banyak pemalsuan hadis yang
terjadi di tengah Kuffah yang sudah menjadi kota kosmopolitan.
Perempuan Kuffah pada masa itu sudah terbiasa melakukan nikah pada
kisaran 18-22 tahun, sebuah takaran umur yang lebih dewasa dari pada
takaran usia nikah di Baghdad. Pada usia seperti itu, para wanita tentu bisa
mandiri dalam mengambil keputusan sehingga ia bisa menentukan jalan
hidupnya sendiri. Maka itu, Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan
muslim berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Keberadaan wali
menurut madzhab Hanafi hanyalah anjuran saja bukan diwajibkan.
Rasionalitas tentang wali dalam pandangan mazhab Hanafiyah didasarkan
bahwa akad nikah sama dengan akad jual beli. Oleh karena itu, syaratnya
cukup dengan ijab dan qabul. Perempuan yang sudah dewasa dan sehat
akalnya dapat melakukan sendiri pernikahannya dan tidak perlu adanya
wali mengakadkannya. Alasan rasionalnya ialah orang yang telah dewasa
dan sehat akalnya dapat bertindak hukum dengan sendirinya tanpa
diperlukan bantuan walinya.
2. Hukum di Indonesia baik hukum adat atau hukum positif menetapkan
bahwa wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya guna menentukan
sah dan tidaknya suatu pernikahan. Peran dan fungsi wali sangat penting
dalam suatu pernikahan. Pertama, adanya wali adalah untuk menghindari
jangan sampai kaum wanita dibohongi atau ditipu laki-laki. Kedua,
dengan adanya wali maka orang tidak akan mempermainkan arti sebuah
perkawinan. Tanpa wali, orang akan dengan mudah mengaku telah
menikah, sementara ia tidak memiliki bukti yang kuat, hal ini bisa
mengakibatkan banyaknya kawin dibawah tangan. Pendapat ini sangat
relevan dengan realitas kehidupan masa kini. Jika dibolehkan nikah tanpa
wali, maka sebelum nikah orang akan berani mengadakan hubungan
badan, karena orang itu akan beranggapan nikah itu sangat mudah, dan
jika ia sudah menikah hak dan kewajiban masing-masing menjadi tidak
jelas. Kedudukan hukum wanita menjadi lemah apalagi dalam soal waris
mewarisi antara bapak dengan anak-anaknya. Problem madharatnya sudah
bisa di bayangkan. Karenanya untuk mencegah madharatnya, maka
adanya wali sangat diperlukan dalam suatu pernikahan.
3. Perbandingan pemahaman Mazhab Hanafi dengan KHI tentang wali yaitu
keberadaan wali menurut mazhab Hanafi hanyalah anjuran saja bukan
diwajibkan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan dewasa
yang berakal sehat memiliki hak melaksanakan akad nikah langsung tanpa
wali, baik gadis maupun janda, baik menikah dengan laki-laki yang sekufu
atau tidak. Didalam KHI Pasal 14 menyatakan bahwa rukun perkawinan
itu salah satunya dengan adanya wali. Bagi orang Islam di Indonesia,
keabsahan perkawinan merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi
Hukum Islam. Sebagaimana diketahui hampir sebagian besar ulama dalam
empat mazhab telah memberikan pendapat, terutama dalam mazhab
Maliki, Syafi’I, dan Hanbali bahwa wujud wali nikah dalam sebuah
perkawinan adalah wajib. Baik bagi pasangan yang belum baligh, atau
yang sudah baligh dan berakal sehat, atau yang janda.
B. Saran
Berdasarkan pada hasil yang diperoleh dalam penelitian itu, maka
penulis merasa perlu untuk mengemukakan beberapa saran yang patut
dipertimbangkan dan ditindaklanjuti untuk kemudian diterapkan, yaitu:
1. Penulis menyarankan kepada pembaca dalam memahami pandangan
Imam Hanafi yang dijadikan dasar pemahaman ilmu yakni kedudukan
wali dalam perkawinan. Disarankan kepada penulis selanjutnya agar
menambah teori-teori menurut Mazhab Hanafi tentang wali yang lebih
banyak.
2. Penulis menyarankan kepada pembaca agar mengikuti peraturan yang
telah ditetapkan oleh Negara (pemerintah), agar perkawinan tersebut
menjadi sah dan sakral baik secara syar’i dan hukum yang berlaku di
Negara Republik Indonesia ini. Disarankan kepada penulis selanjutnya
agar kedepannya lebih mampu memberikan penjelasan yang lebih
mendalam.
3. Penulis menyarankan kepada pembaca agar hendak dalam memahami
persoalan-persoalan yang berkembang ditengah masyarakat, dengan
memperhatikan maslahat untuk menghindari kemafsadatan. Menurut
pandangan Mazhab Hanafi, wali dalam perkawinan hanya anjuran saja
bukan diwajibkan. Sedangkan, di Indonesia , dalam Kompilasi Hukum
Islam dijelaskan bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan
tanpa wali perkawinan tidak sah. Sehingga, dengan keberadaan wali
dalam perkawinan lebih banyak keuntungan yang didapat.
Komparasi Imam Hanafi dengan Pasal 14 KHI). Penelitian ini memiliki tujuan untuk
mengetahui bagaimana kedudukan wali dalam perkawinan menurut Imam Hanafi dan
pentingnya keberadaan wali dalam perkawinan dalam pasal 14 KHI.
Untuk memperoleh data dari masalah tersebut, penulis dengan melakukan
penelitian pustaka (library research) yang menggunakan metode pendekatan teologis
normatif dan pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan berbagai macam
informasi dari buku-buku dan situs internet (jurnal dan skripsi), yang pengambilan
datanya dengan cara membaca berbagai macam informasi dari bahan-bahan pustaka
yang terkait dengan pembahasan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan wali menurut madzhab
Hanafi hanyalah anjuran saja bukan diwajibkan. Perempuan yang sudah dewasa dan
sehat akalnya dapat melakukan sendiri pernikahannya dan tidak memerlukan wali
untuk mengakadkannya. Alasan rasionalnya merupakan orang yang dewasa dan sehat
akalnya dapat bertindak hukum dengan sendirinya tanpa diperlukan bantuan walinya.
Hukum di Indonesia baik hukum adat maupun hukum positif menetapkan bahwa wali
nikah yaitu rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahkannya guna menentukan sah dan tidaknya suatu pernikahan. Tanpa
wali, orang akan dengan mudah mengaku telah menikah, sementara ia tidak memiliki
bukti yang kuat, hal ini bisa mengakibatkan banyaknya orang yang kawin dibawah
tangan atau nikah siri. Pendapat ini sangat relevan dengan realitas kehidupan masa
kini. Jika dibolehkan nikah tanpa wali, maka sebelum nikah orang-orang akan berani
mengadakan hubungan badan, karena orang itu akan beranggapan nikah itu sangat
mudah, dan jika ia sudah menikah hak dan kewajiban masing-masing menjadi tidak
jelas.
A. Kesimpulan
1. Abu Hanifah hidup di Kota Kuffah, di masa banyak pemalsuan hadis yang
terjadi di tengah Kuffah yang sudah menjadi kota kosmopolitan.
Perempuan Kuffah pada masa itu sudah terbiasa melakukan nikah pada
kisaran 18-22 tahun, sebuah takaran umur yang lebih dewasa dari pada
takaran usia nikah di Baghdad. Pada usia seperti itu, para wanita tentu bisa
mandiri dalam mengambil keputusan sehingga ia bisa menentukan jalan
hidupnya sendiri. Maka itu, Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan
muslim berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Keberadaan wali
menurut madzhab Hanafi hanyalah anjuran saja bukan diwajibkan.
Rasionalitas tentang wali dalam pandangan mazhab Hanafiyah didasarkan
bahwa akad nikah sama dengan akad jual beli. Oleh karena itu, syaratnya
cukup dengan ijab dan qabul. Perempuan yang sudah dewasa dan sehat
akalnya dapat melakukan sendiri pernikahannya dan tidak perlu adanya
wali mengakadkannya. Alasan rasionalnya ialah orang yang telah dewasa
dan sehat akalnya dapat bertindak hukum dengan sendirinya tanpa
diperlukan bantuan walinya.
2. Hukum di Indonesia baik hukum adat atau hukum positif menetapkan
bahwa wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya guna menentukan
sah dan tidaknya suatu pernikahan. Peran dan fungsi wali sangat penting
dalam suatu pernikahan. Pertama, adanya wali adalah untuk menghindari
jangan sampai kaum wanita dibohongi atau ditipu laki-laki. Kedua,
dengan adanya wali maka orang tidak akan mempermainkan arti sebuah
perkawinan. Tanpa wali, orang akan dengan mudah mengaku telah
menikah, sementara ia tidak memiliki bukti yang kuat, hal ini bisa
mengakibatkan banyaknya kawin dibawah tangan. Pendapat ini sangat
relevan dengan realitas kehidupan masa kini. Jika dibolehkan nikah tanpa
wali, maka sebelum nikah orang akan berani mengadakan hubungan
badan, karena orang itu akan beranggapan nikah itu sangat mudah, dan
jika ia sudah menikah hak dan kewajiban masing-masing menjadi tidak
jelas. Kedudukan hukum wanita menjadi lemah apalagi dalam soal waris
mewarisi antara bapak dengan anak-anaknya. Problem madharatnya sudah
bisa di bayangkan. Karenanya untuk mencegah madharatnya, maka
adanya wali sangat diperlukan dalam suatu pernikahan.
3. Perbandingan pemahaman Mazhab Hanafi dengan KHI tentang wali yaitu
keberadaan wali menurut mazhab Hanafi hanyalah anjuran saja bukan
diwajibkan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan dewasa
yang berakal sehat memiliki hak melaksanakan akad nikah langsung tanpa
wali, baik gadis maupun janda, baik menikah dengan laki-laki yang sekufu
atau tidak. Didalam KHI Pasal 14 menyatakan bahwa rukun perkawinan
itu salah satunya dengan adanya wali. Bagi orang Islam di Indonesia,
keabsahan perkawinan merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi
Hukum Islam. Sebagaimana diketahui hampir sebagian besar ulama dalam
empat mazhab telah memberikan pendapat, terutama dalam mazhab
Maliki, Syafi’I, dan Hanbali bahwa wujud wali nikah dalam sebuah
perkawinan adalah wajib. Baik bagi pasangan yang belum baligh, atau
yang sudah baligh dan berakal sehat, atau yang janda.
B. Saran
Berdasarkan pada hasil yang diperoleh dalam penelitian itu, maka
penulis merasa perlu untuk mengemukakan beberapa saran yang patut
dipertimbangkan dan ditindaklanjuti untuk kemudian diterapkan, yaitu:
1. Penulis menyarankan kepada pembaca dalam memahami pandangan
Imam Hanafi yang dijadikan dasar pemahaman ilmu yakni kedudukan
wali dalam perkawinan. Disarankan kepada penulis selanjutnya agar
menambah teori-teori menurut Mazhab Hanafi tentang wali yang lebih
banyak.
2. Penulis menyarankan kepada pembaca agar mengikuti peraturan yang
telah ditetapkan oleh Negara (pemerintah), agar perkawinan tersebut
menjadi sah dan sakral baik secara syar’i dan hukum yang berlaku di
Negara Republik Indonesia ini. Disarankan kepada penulis selanjutnya
agar kedepannya lebih mampu memberikan penjelasan yang lebih
mendalam.
3. Penulis menyarankan kepada pembaca agar hendak dalam memahami
persoalan-persoalan yang berkembang ditengah masyarakat, dengan
memperhatikan maslahat untuk menghindari kemafsadatan. Menurut
pandangan Mazhab Hanafi, wali dalam perkawinan hanya anjuran saja
bukan diwajibkan. Sedangkan, di Indonesia , dalam Kompilasi Hukum
Islam dijelaskan bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan
tanpa wali perkawinan tidak sah. Sehingga, dengan keberadaan wali
dalam perkawinan lebih banyak keuntungan yang didapat.
Ketersediaan
| 742302019092 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
06/2023
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2023
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syarah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
