Madduta Dengan Cara Pengadereng Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Studi Kasus di Kelurahan Lalebata Kecamatan Lamuru)
Yusi Fitria/742302019133 - Personal Name
Masyarakat di Indonesia memiliki adat kebudayaannya masing-masing dalam
melaksanakan perkawinan. Hal tersebut tergambar dalam prosesi perkawinan yang
terdiri
dari
beberapa
tahapan
yang
harus
dilaksanakan.
Namun
pada
perkembangannya dalam pelaksanaan perkawinan akan ada permasalahan. Seperti
halnya dalam pelaksanaan perkawinan masyarakat Bugis di Lalebata, khususnya
tradisi madduta yaitu prosesi adat pra perkawinan dalam masyarakat Bugis.
Skripsi ini membahas tentang prosesi madduta dengan cara pangadereng di
Kelurahan Lalebata Kecamatan Lamuru serta bagaimana tinjauan hukum Islam
terhadap prosesi madduta dengan cara pangadereng. Adapun jenis penelitian yang
digunakan field research kualitatif deskriptif yaitu penelitian temuan-temuannya tidak
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya, tetapi pada
prosedur analisa non sistematis. Prosedur ini menghasilkan temuan yang diperoleh
dari data-data yang dikumpulkan dengan beragam sarana. Sarana itu meliputi
pengamatan, dan wawancara, namun bisa juga mencakup dokumen, buku, kaset, dan
vidio.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi madduta dengan cara pangadereng
merupakan pra perkawinan dalam masyarakat Bugis melalui tahapan-tahapan yakni
pertama paita, kemudian dilanjutkan ketahap mappese’-pese’, setelah itu tahap
mappettu ada atau mappasiarekeng.
Adapun tinjaun hukum Islam terkait dengan tradisi madduta dengan cara
pangadereng tidak bertentangan dengan syariat Islam. Mulai dari proses awal
peminangan sampai kepada acara perkawinan.
A. Simpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah dilakukan peneliti di atas tentang
madduta dengan cara pangadereng, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam masyarakat Bugis peminangan dikenal dengan istilah madduta..
Sebelum melakukan peminangan atau madduta pada masyarakat Bugis ada
beberapa tahapan terlebih dahulu seperti paita yang bertujuan untuk memilih
atau menyelidiki perempuan yang hendak dipinang, kemudia tahap
selanjutnya yaitu mappese’-pese’ yang bertujuan untuk mencari tau informasi
tentang perempuan yang hendak dipinang. Kemudian barulah masuk ke tahap
madduta atau peminangan, prosesi madduta di Kelurahan Lalebata sedikit
berbeda dengan peminangan pada umumnya, laki-laki yang hendak meminang
mengutus orang yang ahli dalam hal madduta misalnya orang yang dituakan
diwilayah tersebut atau orang yang dipercayai mampu melakukan
peminangan. sebelum melakukan peminangan ada beberapa yang perlu
disiapkan, diantaranya gula merah, kayu manis dan kelapa. Masyarakat Bugis
mempercaya hal ini sebagai suatu kebaikan dengan harapan pinangannya
dapat diterima dengan baik. Kemudian menyampaikan maksud dari pihak
laki-laki menggunakan bahasa filosofi bugis yang halus, begitupun sebaliknya
pihak perempuan juga membalas dengan bahasa filosofi bugis. Setelah itu
tahap mappasiarekeng bertujuan untuk saling meyakinkan kedua pihak
keluarga calon mempelai.
60
61
2. Dalam hukum Islam ada aturan terkait peminangan sebagai pendahuluan dari
pernikahan. Madduta dalam kaitannya dengan pangadereng disesuaikan
dengan kearifan lokal di daerah setempat. Sehingga madduta dengan cara
pangadereng tidak bertentangan dengan hukum Islam. Karena sesuai dan
sangat relevan dengan sistem peminangan dalam Islam yakni untuk melihat
calon mempelai atau biasa disebut kafa’ah, yaitu keseimbangan dan
keserasian antara calon suami dan isteri sehingga masing-masing calon tidak
merasa keberatan untuk melangsungkan perkawinan. Dengan demikian,
tradisi madduta masyarakat Bugis, dapat diakomodasi dalam sistem
perkawinan Islam. Itu artinya bahwa keseluruhan prosesi budaya perkawinan
masyarakat Bugis dipandangan tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
B. Saran
Setelah peneliti melakukan penelitian tentang madduta dengan cara
pangadereng, maka saran peneliti sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat Bugis agar memperthankan nilai-nilai budaya yang ada
didaerahnnya tanpa melakukan pergeseran yang bertentangan dengan
syariat.
2. pihak pemerintah dan tokoh adat atau agama agar tetap mendukung serta
mengawasi segala ketentuan adat perkawinan masyarakat Bugis, dan
berperan aktif menjaga, memelihara, mengembangkan adat tersebut
sebagai suatu niai-nilai budaya bangsa Indonesia khususnya di
masyarakat Bugis dimasa yang akan datang. Selain itu diharapkan
pemerintah dan para tokoh masyarakat untuk saling menjaga hubungan
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga interaksi antara berbagai pihak
dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik tanpa ada konflik berlebih.
melaksanakan perkawinan. Hal tersebut tergambar dalam prosesi perkawinan yang
terdiri
dari
beberapa
tahapan
yang
harus
dilaksanakan.
Namun
pada
perkembangannya dalam pelaksanaan perkawinan akan ada permasalahan. Seperti
halnya dalam pelaksanaan perkawinan masyarakat Bugis di Lalebata, khususnya
tradisi madduta yaitu prosesi adat pra perkawinan dalam masyarakat Bugis.
Skripsi ini membahas tentang prosesi madduta dengan cara pangadereng di
Kelurahan Lalebata Kecamatan Lamuru serta bagaimana tinjauan hukum Islam
terhadap prosesi madduta dengan cara pangadereng. Adapun jenis penelitian yang
digunakan field research kualitatif deskriptif yaitu penelitian temuan-temuannya tidak
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya, tetapi pada
prosedur analisa non sistematis. Prosedur ini menghasilkan temuan yang diperoleh
dari data-data yang dikumpulkan dengan beragam sarana. Sarana itu meliputi
pengamatan, dan wawancara, namun bisa juga mencakup dokumen, buku, kaset, dan
vidio.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi madduta dengan cara pangadereng
merupakan pra perkawinan dalam masyarakat Bugis melalui tahapan-tahapan yakni
pertama paita, kemudian dilanjutkan ketahap mappese’-pese’, setelah itu tahap
mappettu ada atau mappasiarekeng.
Adapun tinjaun hukum Islam terkait dengan tradisi madduta dengan cara
pangadereng tidak bertentangan dengan syariat Islam. Mulai dari proses awal
peminangan sampai kepada acara perkawinan.
A. Simpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah dilakukan peneliti di atas tentang
madduta dengan cara pangadereng, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam masyarakat Bugis peminangan dikenal dengan istilah madduta..
Sebelum melakukan peminangan atau madduta pada masyarakat Bugis ada
beberapa tahapan terlebih dahulu seperti paita yang bertujuan untuk memilih
atau menyelidiki perempuan yang hendak dipinang, kemudia tahap
selanjutnya yaitu mappese’-pese’ yang bertujuan untuk mencari tau informasi
tentang perempuan yang hendak dipinang. Kemudian barulah masuk ke tahap
madduta atau peminangan, prosesi madduta di Kelurahan Lalebata sedikit
berbeda dengan peminangan pada umumnya, laki-laki yang hendak meminang
mengutus orang yang ahli dalam hal madduta misalnya orang yang dituakan
diwilayah tersebut atau orang yang dipercayai mampu melakukan
peminangan. sebelum melakukan peminangan ada beberapa yang perlu
disiapkan, diantaranya gula merah, kayu manis dan kelapa. Masyarakat Bugis
mempercaya hal ini sebagai suatu kebaikan dengan harapan pinangannya
dapat diterima dengan baik. Kemudian menyampaikan maksud dari pihak
laki-laki menggunakan bahasa filosofi bugis yang halus, begitupun sebaliknya
pihak perempuan juga membalas dengan bahasa filosofi bugis. Setelah itu
tahap mappasiarekeng bertujuan untuk saling meyakinkan kedua pihak
keluarga calon mempelai.
60
61
2. Dalam hukum Islam ada aturan terkait peminangan sebagai pendahuluan dari
pernikahan. Madduta dalam kaitannya dengan pangadereng disesuaikan
dengan kearifan lokal di daerah setempat. Sehingga madduta dengan cara
pangadereng tidak bertentangan dengan hukum Islam. Karena sesuai dan
sangat relevan dengan sistem peminangan dalam Islam yakni untuk melihat
calon mempelai atau biasa disebut kafa’ah, yaitu keseimbangan dan
keserasian antara calon suami dan isteri sehingga masing-masing calon tidak
merasa keberatan untuk melangsungkan perkawinan. Dengan demikian,
tradisi madduta masyarakat Bugis, dapat diakomodasi dalam sistem
perkawinan Islam. Itu artinya bahwa keseluruhan prosesi budaya perkawinan
masyarakat Bugis dipandangan tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
B. Saran
Setelah peneliti melakukan penelitian tentang madduta dengan cara
pangadereng, maka saran peneliti sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat Bugis agar memperthankan nilai-nilai budaya yang ada
didaerahnnya tanpa melakukan pergeseran yang bertentangan dengan
syariat.
2. pihak pemerintah dan tokoh adat atau agama agar tetap mendukung serta
mengawasi segala ketentuan adat perkawinan masyarakat Bugis, dan
berperan aktif menjaga, memelihara, mengembangkan adat tersebut
sebagai suatu niai-nilai budaya bangsa Indonesia khususnya di
masyarakat Bugis dimasa yang akan datang. Selain itu diharapkan
pemerintah dan para tokoh masyarakat untuk saling menjaga hubungan
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga interaksi antara berbagai pihak
dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik tanpa ada konflik berlebih.
Ketersediaan
| SSYA20220123 | 123/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
123/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
