Tinjauan Hukum Hak Uji Materiil Peraturan Perundang- undangan Oleh Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi
Antariksa/742352019133 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Tinjauan Hukum Hak Uji Materiil Peraturan
Perundang-Undangan Oleh Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi. Pokok
permasalahan penelitian ini adalah bagaimana kedudukan dan kewenangan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian peraturan perundang-
undangan khususnya uji materiil, serta hubungan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi dalam pengujian peraturan perundang-undangan khususnya dalam
mewujudkan harmonisasi dan sinkronisasi putusan serta kepastian hukum. Penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan dengan pendekatan yuridis normatif melalui
metode analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hubungan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi pada dasarnya diharapkan mampu menciptakan kepastian hukum dan
sinkronisasi putusan khususnya dalam uji materiil peraturan perundang-undangan.
Namun pada realitasnya, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi seringkali
menimbulkan ketidaksinkronan putusan. Hal ini berimplikasi hukum pada dualisme
dan mempengaruhi hubungan kelembagaan antar sesama lembaga peradilan dalam
kekuasaan kehakiman yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Kemudian
adanya perbedaan beracara didalam persidangan pengujian peraturan perundang-
undangan Mahkamah Konstitusi menerapkan asas hukum Audi et alteram partem
yang berarti hak untuk didengarkan secara seimbang bagi para pihak. Sedangkan
Mahkamah Agung tidak menerapkan asas hukum yang sedemikian.
Implikasi dari penelitian ini adalah 1) perlunya sinkronisasi dan harmonisasi antara
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian peraturan perundang-
undangan dimulai dengan adanya saling memberikan informasi mengenai
permohonan pengujian peraturan perundang-undangan sesama lembaga penguji,
sehingga menghasilkan keserasian fungsi kedua lembaga kekuasaan kehakiman yang
sederajat; 2) Dalam hal kepastian hukum, sebaiknya kewenangan pengujian peraturan
perundang-undangan sepenuhnya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai
pengawal konstitusi dan the court of law, berbeda dengan Mahkamah Agung sebagai
the court of justice agar terciptanya suatu tatanan pengujian yang terstruktur.
A. Simpulan
1. Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 24A ayat (1) berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh Undang-Undang. Meskipun demikian, hak menguji materiil
yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah Agung sifatnya terbatas, tidak
menyeluruh peraturan perundang-undangan, hanya meliputi peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-Undang yakni Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sedangkan Mahkamah Konstitusi
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 24C ayat (1), salah satunya menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi
berperan penting dalam menjaga ketentuan-ketentuan dalam konstitusi serta,
sebagai penafsir akhir konstitusi dan sebagai lembaga negara yang berfungsi
menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga
konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai kehendak
rakyat dan cita-cita demokrasi.
2. Implikasi dari pengujian peraturan perundang-undangan khususnya uji
materiil oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi seringkali
menimbulkan ketidaksinkronan Putusan. Hal ini menimbulkan dualisme dan
mempengaruhi hubungan kelembagaan antar sesama lembaga peradilan
dalam kekuasaan kehakiman yang dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum. Dan juga adanya ketidaksinkronan putusan Mahkamah Agung
sehingga menimbulkan suatu stigma yang mengganggu kewibawaan
Mahkamah Agung bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi lebih tinggi dari
Mahkamah Agung. Kemudian adanya perbedaan beracara didalam
persidangan pengujian peraturan perundang-undangan Mahkamah Konstitusi
menerapkan asas hukum Audi et alteram partem yang berarti hak untuk
didengarkan secara seimbang bagi para pihak. Sedangkan Mahkamah Agung
tidak menerapkan asas hukum yang sedemikian sehingga Pemohon hanya
mengirim permohonan keberatan kepada Pengadilan Negeri atau langsung
kepada Mahkamah Agung dan kemudian menunggu putusannya keluar. Hal
ini berimplikasi bahwa pengadilan tidak transparan dan rentan menimbulkan
ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, sehingga bertendesi melemahkan
independesi dan imparsialitas hakim dalam memutus perkara.
B. Saran
1. Adanya penguatan hubungan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi dalam penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi tepatnya pada Pasal 55 ”Pengujian peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-Undang yang sedang dilakukan
Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi
dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian di
Mahkamah Konstitusi hingga putusan.” Mahkamah Agung hendaknya
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi
bilamana menerima permohonan pengujian peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang sehingga batu uji
materiilnya yakni Undang-Undang, dalam keadaan sesuai dengan Konstitusi
dan atau tidak dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi. Begitupun
sebaliknya, bilamana Mahkamah Konstitusi menerima permohonan
pengujian Undang-Undang hendaklah disampaikan secara tertulis kepada
Mahkamah Agung sehingga terjadinya keserasian fungsi dan sinkronisasi
sebagai lembaga peradilan kekuasaan kehakiman yang sederajat.
2. Pengujian peraturan perundang-undangan yang ideal adalah dengan sistem
pengujian satu atap yang dipercayakan kepada Mahkamah Konstitusi.
Melihat fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai The Court Of Law, sedangkan
Mahkamah Agung The Court Of Justice. Dengan kewenangan yang
diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, tentu akan sejalan dengan fungsi
Mahkamah Konstitusi yang juga sebagai pengawal Konstitusi atau The
Guardian Of Constitution. Hal ini tentunya juga akan mengurangi beban
berat Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan ketidakadilan. Dengan
diberikannya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penguji seluruh
peraturan perundang-undangan, juga mampu menciptakan suatu kepastian
hukum karena hanya ada satu lembaga penguji dan satu penafsiran hukum.
Berpijak pada kebutuhan tersebut, maka salah satu cara atau opsi yang dapat
dilakukan adalah amandemen terhadap konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan penambahan kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penguji khususunya uji materiil
seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Perundang-Undangan Oleh Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi. Pokok
permasalahan penelitian ini adalah bagaimana kedudukan dan kewenangan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian peraturan perundang-
undangan khususnya uji materiil, serta hubungan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi dalam pengujian peraturan perundang-undangan khususnya dalam
mewujudkan harmonisasi dan sinkronisasi putusan serta kepastian hukum. Penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan dengan pendekatan yuridis normatif melalui
metode analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hubungan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi pada dasarnya diharapkan mampu menciptakan kepastian hukum dan
sinkronisasi putusan khususnya dalam uji materiil peraturan perundang-undangan.
Namun pada realitasnya, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi seringkali
menimbulkan ketidaksinkronan putusan. Hal ini berimplikasi hukum pada dualisme
dan mempengaruhi hubungan kelembagaan antar sesama lembaga peradilan dalam
kekuasaan kehakiman yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Kemudian
adanya perbedaan beracara didalam persidangan pengujian peraturan perundang-
undangan Mahkamah Konstitusi menerapkan asas hukum Audi et alteram partem
yang berarti hak untuk didengarkan secara seimbang bagi para pihak. Sedangkan
Mahkamah Agung tidak menerapkan asas hukum yang sedemikian.
Implikasi dari penelitian ini adalah 1) perlunya sinkronisasi dan harmonisasi antara
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian peraturan perundang-
undangan dimulai dengan adanya saling memberikan informasi mengenai
permohonan pengujian peraturan perundang-undangan sesama lembaga penguji,
sehingga menghasilkan keserasian fungsi kedua lembaga kekuasaan kehakiman yang
sederajat; 2) Dalam hal kepastian hukum, sebaiknya kewenangan pengujian peraturan
perundang-undangan sepenuhnya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai
pengawal konstitusi dan the court of law, berbeda dengan Mahkamah Agung sebagai
the court of justice agar terciptanya suatu tatanan pengujian yang terstruktur.
A. Simpulan
1. Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 24A ayat (1) berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh Undang-Undang. Meskipun demikian, hak menguji materiil
yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah Agung sifatnya terbatas, tidak
menyeluruh peraturan perundang-undangan, hanya meliputi peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-Undang yakni Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sedangkan Mahkamah Konstitusi
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 24C ayat (1), salah satunya menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi
berperan penting dalam menjaga ketentuan-ketentuan dalam konstitusi serta,
sebagai penafsir akhir konstitusi dan sebagai lembaga negara yang berfungsi
menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga
konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai kehendak
rakyat dan cita-cita demokrasi.
2. Implikasi dari pengujian peraturan perundang-undangan khususnya uji
materiil oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi seringkali
menimbulkan ketidaksinkronan Putusan. Hal ini menimbulkan dualisme dan
mempengaruhi hubungan kelembagaan antar sesama lembaga peradilan
dalam kekuasaan kehakiman yang dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum. Dan juga adanya ketidaksinkronan putusan Mahkamah Agung
sehingga menimbulkan suatu stigma yang mengganggu kewibawaan
Mahkamah Agung bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi lebih tinggi dari
Mahkamah Agung. Kemudian adanya perbedaan beracara didalam
persidangan pengujian peraturan perundang-undangan Mahkamah Konstitusi
menerapkan asas hukum Audi et alteram partem yang berarti hak untuk
didengarkan secara seimbang bagi para pihak. Sedangkan Mahkamah Agung
tidak menerapkan asas hukum yang sedemikian sehingga Pemohon hanya
mengirim permohonan keberatan kepada Pengadilan Negeri atau langsung
kepada Mahkamah Agung dan kemudian menunggu putusannya keluar. Hal
ini berimplikasi bahwa pengadilan tidak transparan dan rentan menimbulkan
ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, sehingga bertendesi melemahkan
independesi dan imparsialitas hakim dalam memutus perkara.
B. Saran
1. Adanya penguatan hubungan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi dalam penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi tepatnya pada Pasal 55 ”Pengujian peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-Undang yang sedang dilakukan
Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi
dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian di
Mahkamah Konstitusi hingga putusan.” Mahkamah Agung hendaknya
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi
bilamana menerima permohonan pengujian peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang sehingga batu uji
materiilnya yakni Undang-Undang, dalam keadaan sesuai dengan Konstitusi
dan atau tidak dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi. Begitupun
sebaliknya, bilamana Mahkamah Konstitusi menerima permohonan
pengujian Undang-Undang hendaklah disampaikan secara tertulis kepada
Mahkamah Agung sehingga terjadinya keserasian fungsi dan sinkronisasi
sebagai lembaga peradilan kekuasaan kehakiman yang sederajat.
2. Pengujian peraturan perundang-undangan yang ideal adalah dengan sistem
pengujian satu atap yang dipercayakan kepada Mahkamah Konstitusi.
Melihat fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai The Court Of Law, sedangkan
Mahkamah Agung The Court Of Justice. Dengan kewenangan yang
diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, tentu akan sejalan dengan fungsi
Mahkamah Konstitusi yang juga sebagai pengawal Konstitusi atau The
Guardian Of Constitution. Hal ini tentunya juga akan mengurangi beban
berat Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan ketidakadilan. Dengan
diberikannya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penguji seluruh
peraturan perundang-undangan, juga mampu menciptakan suatu kepastian
hukum karena hanya ada satu lembaga penguji dan satu penafsiran hukum.
Berpijak pada kebutuhan tersebut, maka salah satu cara atau opsi yang dapat
dilakukan adalah amandemen terhadap konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan penambahan kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penguji khususunya uji materiil
seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Ketersediaan
| SSYA20230083 | 93/2023 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
83/2023
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2023
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
