Analisis Kedudukan Perwalian Di Pengadilan Agama (Studi Kasus Nomor 533/Pdt.G/2013/PA.Wtp)
Nurul Alifka/01.18.1064 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Analisis Kedudukan Perwalian di Pengadilan Agama
(Studi Kasus Putusan Nomor.553/Pdt.G/ 2013/ PA Wtp). Tujuan penelitian ini yaitu
untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap kedudukan perwalian,
bagaimana pertimbangan hakim terhadap kedudukan Perwalian dalam putusan nomor
553/Pdt.G/2013/PA.Watampone di Pengadilan Agama Watampone Kelas IA. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan dengan menggunakan
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan kasus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian dan penetapan perkara
Curatele (perwalian) dapat ditetapkan oleh Pengadilan Agama, karena semua ahli
hukum perdata berpendapat bahwa Curatele adalah bentuk khusus dari perwalian,
sedangkan perwalian dalam Bab XI, Pasal 50, 51, 52, 53 dan 54) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 adalah kewenangan pengadilan agama, dengan demikian
Curatele juga dapat ditetapkan di pengadilan agama, sepanjang memenuhi syarat
personifikasi ke Islaman bagi calon pengampu. Bahwa tidak semua perkara perdata
orang gila di pengadilan agama memerlukan Curator, seperti halnya cerai gugat
sepanjang memenuhi alasan-alasan perceraian menurut Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun
1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, namun apabila perkara tersebut
berkaitan dengan harta seperti kewarisan, harta bersama, maka orang gila tersebut
harus diwakili oleh seorang wali pengampu. Hukum islam membagi orang gila ke
dalam dua golongan yaitu orang gila secara terus menerus dan orang gila kambuhan,
orang gila secara terus menerus, segala tindakan yang dilakukan yang berkaitan
dengan hukum apakah itu merugikan orang lain dan lain sebagainya batal demi
hukum, dan haruslah diwakili oleh seorang wali sebagai kuasanya, karena ia
disamakan dengan anak kecil atau orang yang tidak berakal sama sekali. Sedangkan
orang gila kambuhan apabila tindakannya dilakukan pada saat tidak dalam keadaan
kambuh penyakitnya maka sagala tindakannya dianggap sah, apabila tindakan
dilakukan dalam keadaan datang gilanya, maka ia harus diwakili seorang wali
pengampu.
A. Simpulan
1. Dalam ketentuan umum Pasal 1 Kompilasi hukum Islam huruf h
dikemukakan, perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk
kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau
kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan
perbuatan hukum. Dengan demikian wali adalah orang yang diberi
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum demi kepentingan anak yang
tidak memiliki kedua orang tua, atau karena kedua orang tuanya tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Menurut hukum Islam “perwalian” terbagi
dalam tiga kelompok. Para ulama mengelompokan perwalian sebagai berikut:
perwalian terhadap jiwa (Al-Walayah‘al-nafs), yaitu perwalian yang bertalian
dengan pengawasan (al-isyraf) terhadap urusan yang berhubungan dengan
masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan
anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang hak kepengawasan pada
dasarnya berada di tangan ayah atau kakek dan para wali yang lainnya.
Perwalian terhadap harta (Al-Walayah ‘al-mal) ialah perwalian yang
berhubungan dengan ihwal pengelolaan kekayaan tertentu dalam hal
pengembangan, pemeliharaan (pengawasan) dan pembelanjaan. Adapun
perwalian jiwa dan harta (Al-Walayah‘al-nafs wal- mali ma’an) ialah
perwalian yang meliputi urusan-urusan pribadi dan harta kekayaan, dan
hanya berada di tangan ayah dan kakek.
2. Adapun pandangan hakim terhadap kedudukan perwalian dalam putusan
nomor 553/Pdt.G/2013/PA.Wtp bahwa,Penyelesaian dan penetapan perkara
Curatele (perwalian) dapat ditetapkan oleh Pengadilan Agama, karena semua
ahli hukum perdata berpendapat bahwa Curatele adalah bentuk khusus dari
perwalian, sedangkan perwalian dalam Bab XI, Pasal 50, 51, 52, 53 dan 54)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah kewenangan pengadilan
agama, dengan demikian Curatele juga dapat ditetapkan di pengadilan
agama, sepanjang memenuhi syarat personifikasi ke Islaman bagi calon
Curator. Tidak semua perkara perdata orang gila di pengadilan agama
memerlukan Curator, namun apabila perkara tersebut berkaitan dengan harta
seperti kewarisan, harta bersama, maka orang gila tersebut harus diwakili
oleh seorang Curator.Tanggung jawab seorang Curator sebagai seorang
pembimbing/pemelihara dan melakukan tindakan hukum dari seorang
Curandus di mulai pada saat ditetapkannya seseorang sebagai Curator oleh
pengadilan dan berakhir setelah keadaan Curandus sembuh dari penyakitanya
dan atau berhenti dan segala tindakan Curator yang berkaitan dengan
Curandus mengikat terhadap dirinya.
B. Saran
1. Perlu adanya penekanan dan penjabaran secara sederhana dari para ulama
fiqhi, berkaitan tata cara dan aturan melakukan perwalian.
2. Diharapkan kepada seluruh masyarakat agar memahami pentingnya penetapan
seorang wali bagi orang gila, sebab dalam keadaan tertentu hak-hak bagi
orang gila bisa terabaikan dan sangat merugikan bila orang gila tersebut tidak
memiliki wali untuk melakukan suatu tindakan hukum.
(Studi Kasus Putusan Nomor.553/Pdt.G/ 2013/ PA Wtp). Tujuan penelitian ini yaitu
untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap kedudukan perwalian,
bagaimana pertimbangan hakim terhadap kedudukan Perwalian dalam putusan nomor
553/Pdt.G/2013/PA.Watampone di Pengadilan Agama Watampone Kelas IA. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan dengan menggunakan
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan kasus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian dan penetapan perkara
Curatele (perwalian) dapat ditetapkan oleh Pengadilan Agama, karena semua ahli
hukum perdata berpendapat bahwa Curatele adalah bentuk khusus dari perwalian,
sedangkan perwalian dalam Bab XI, Pasal 50, 51, 52, 53 dan 54) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 adalah kewenangan pengadilan agama, dengan demikian
Curatele juga dapat ditetapkan di pengadilan agama, sepanjang memenuhi syarat
personifikasi ke Islaman bagi calon pengampu. Bahwa tidak semua perkara perdata
orang gila di pengadilan agama memerlukan Curator, seperti halnya cerai gugat
sepanjang memenuhi alasan-alasan perceraian menurut Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun
1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, namun apabila perkara tersebut
berkaitan dengan harta seperti kewarisan, harta bersama, maka orang gila tersebut
harus diwakili oleh seorang wali pengampu. Hukum islam membagi orang gila ke
dalam dua golongan yaitu orang gila secara terus menerus dan orang gila kambuhan,
orang gila secara terus menerus, segala tindakan yang dilakukan yang berkaitan
dengan hukum apakah itu merugikan orang lain dan lain sebagainya batal demi
hukum, dan haruslah diwakili oleh seorang wali sebagai kuasanya, karena ia
disamakan dengan anak kecil atau orang yang tidak berakal sama sekali. Sedangkan
orang gila kambuhan apabila tindakannya dilakukan pada saat tidak dalam keadaan
kambuh penyakitnya maka sagala tindakannya dianggap sah, apabila tindakan
dilakukan dalam keadaan datang gilanya, maka ia harus diwakili seorang wali
pengampu.
A. Simpulan
1. Dalam ketentuan umum Pasal 1 Kompilasi hukum Islam huruf h
dikemukakan, perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk
kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau
kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan
perbuatan hukum. Dengan demikian wali adalah orang yang diberi
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum demi kepentingan anak yang
tidak memiliki kedua orang tua, atau karena kedua orang tuanya tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Menurut hukum Islam “perwalian” terbagi
dalam tiga kelompok. Para ulama mengelompokan perwalian sebagai berikut:
perwalian terhadap jiwa (Al-Walayah‘al-nafs), yaitu perwalian yang bertalian
dengan pengawasan (al-isyraf) terhadap urusan yang berhubungan dengan
masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan
anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang hak kepengawasan pada
dasarnya berada di tangan ayah atau kakek dan para wali yang lainnya.
Perwalian terhadap harta (Al-Walayah ‘al-mal) ialah perwalian yang
berhubungan dengan ihwal pengelolaan kekayaan tertentu dalam hal
pengembangan, pemeliharaan (pengawasan) dan pembelanjaan. Adapun
perwalian jiwa dan harta (Al-Walayah‘al-nafs wal- mali ma’an) ialah
perwalian yang meliputi urusan-urusan pribadi dan harta kekayaan, dan
hanya berada di tangan ayah dan kakek.
2. Adapun pandangan hakim terhadap kedudukan perwalian dalam putusan
nomor 553/Pdt.G/2013/PA.Wtp bahwa,Penyelesaian dan penetapan perkara
Curatele (perwalian) dapat ditetapkan oleh Pengadilan Agama, karena semua
ahli hukum perdata berpendapat bahwa Curatele adalah bentuk khusus dari
perwalian, sedangkan perwalian dalam Bab XI, Pasal 50, 51, 52, 53 dan 54)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah kewenangan pengadilan
agama, dengan demikian Curatele juga dapat ditetapkan di pengadilan
agama, sepanjang memenuhi syarat personifikasi ke Islaman bagi calon
Curator. Tidak semua perkara perdata orang gila di pengadilan agama
memerlukan Curator, namun apabila perkara tersebut berkaitan dengan harta
seperti kewarisan, harta bersama, maka orang gila tersebut harus diwakili
oleh seorang Curator.Tanggung jawab seorang Curator sebagai seorang
pembimbing/pemelihara dan melakukan tindakan hukum dari seorang
Curandus di mulai pada saat ditetapkannya seseorang sebagai Curator oleh
pengadilan dan berakhir setelah keadaan Curandus sembuh dari penyakitanya
dan atau berhenti dan segala tindakan Curator yang berkaitan dengan
Curandus mengikat terhadap dirinya.
B. Saran
1. Perlu adanya penekanan dan penjabaran secara sederhana dari para ulama
fiqhi, berkaitan tata cara dan aturan melakukan perwalian.
2. Diharapkan kepada seluruh masyarakat agar memahami pentingnya penetapan
seorang wali bagi orang gila, sebab dalam keadaan tertentu hak-hak bagi
orang gila bisa terabaikan dan sangat merugikan bila orang gila tersebut tidak
memiliki wali untuk melakukan suatu tindakan hukum.
Ketersediaan
| SSYA20220255 | 255/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
255/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
