Implementasi Ketentuan Batas Usia Wali Nasab Berdasarkan Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 Tentang Pencatatan Perkawinan (Studi pada KUA Kec. Tanete Riattang Kab. Bone)
Yuliana/01.18.1177 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Implementasi ketentuan batas usia wali nasab
berdasarkan Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018
Tentang Pencatatan Perkawinan (Studi Pada KUA Kec. Tanete Riattang Kab. Bone).
Pokok permasalahan adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan ketentuan
batas minimal usia wali nasab dan mengetahui dampak dari ketentuan Peraturan
Menteri Agama No 19 Tahun 2018 Pasal 11 tentang penghapusan batas usia baligh
sebagai syarat usia wali bagi KUA Kec Tanete Riattang Kab Bone dalam
menentukan wali Nasab.
Penelitian ini merupakan field research (penelitian lapangan) yang ditujukan
untuk mendeskripsikan dan menganalisis ketentuan batas usia wali nasab dengan
menggunakan pendekatan normatif dan pendekatan sosiologis. Adapun yang menjadi
sumber bahan hukum primer yang digunakan dalam skripsi ini yakni Peraturan
Menteri Agama (PMA). Untuk teknik analisis bahan hukum yakni reduksi data,
penyajian data, kesimpulan dan verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan PMA No. 19 Tahun 2018 di
KUA memberikan pandangan baru karena dalam pelaksanaannya KUA lebih
condong kepada kata baligh dalam menentukan seorang wali nasab, melihat dari
situasi yang terjadi di masyarakat mereka lebih menggunakan kata baligh untuk
dapat berkesempatan menjadi seorang wali nasab apabila telah mengalami masa
baligh. Sehingga aturan tersebut telah berjalan sangat baik di dalam KUA khususnya
di KUA Kec. Tanete Riattang. Dalam penerapan PMA No. 19 Tahun 2018 tidak
menjadi hambatan karena pihak KUA hanya memberikan pemahaman kepada
masyarakat mengenai kata baligh dengan melihat dari berbagai sisi baik dari sisi
adanya tanda-tanda perubahan biologis seseorang maupun telah dapat bertanggung
jawab terhadap hukum. Jika ditinjau sebagai pedoman pencacatan perkawinan, maka
peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 juga dapat menerapkan asas lex
specialis derogat legi generalis terhadap peraturan hukum positif lain sehingga
mempunyai daya laku sebagai hukum yang berlaku di Indonesia.
Adapun dampak dari penghapusan batas usia baligh bagi wali nasab dapat
dilihat dari dua sisi yakni dari sisi positif dan sisi negatif dampak positif yaitu;
penentuan wali nasab bersifat fleksibel atau tidak kaku, dampak negatifnya akan
menimbulkan multi tafsir, peraturan menjadi kabur, timbul keraguan dalam
menentukan wali nasab, menimbulkan pandangan yang berbeda bagi penghulu.
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis yang penulis kemukaan dalam bab
sebelumnya, maka penulis akan menyimpulkan sebagai jawaban pokok dalam
permasalahan ini:
1. Penerapan PMA No. 19 Tahun 2018 di KUA memberikan pandangan baru
karena dalam pelakasanaannya KUA lebih condong kepada usia baligh,
melihat dari situasi yang terjadi di masyarakat mereka lebih menggunakan
kata baligh untuk menihkahkan anak mereka apabila telah mengalami masa
baligh. Sehingga aturan tersebut telah berjalan sangat baik di dalam KUA
khususnya di KUA Kec. Tanete Riattang. Mereka telah menerapkan
pemberlakuan hukum sebagai penghapusan usia baligh pada aturan
sebelumnya terhadap PMA No. 11 Tahun 2007. Dan dalam penerapannya
PMA No. 19 Tahun 2018 di KUA tidak menjadi hambatan dalam peraturan
baru tersebut meraka hanya memberikan pemahaman kepada masyarakat
mengenai kata baligh dalam melaksanakan perkawinan apabila telah
mumayyis atau dapat bertanggung jawab terhadap hukum maka boleh saja
untuk di nikahkan asalkan diketahui oleh para wali. Sehingga dalam asas lex
superior derogat legi inferior dapat diterapkan pada Peraturan Menteri
Agama Nomor 19 Tahun 2018 jika dikaitkan dengan Kompilasi Hukum
Islam dikarenakan dalam hirarki perundang-undangan posisi Peraturan
Menteri Agama terletak lebih tinggi dibandingkan Kompilasi Hukum Islam.
Selain itu Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 jika dikaitkan
dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 akan mengandung
asas lex posterior derogat legi priori sehingga akan mengalahkan peraturan
yang lama. Dan jika ditinjau sebagai pedoman pencacatan perkawinan,
Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 juga dapat menerapkan
asas lex specialis derogat legi generalis terhadap peraturan hukum positif
lain sehingga mempunyai daya laku sebagai hukum yang berlaku di indonesia
2. Dampak dari Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang syarat
wali nasab yang hanya tercantum bâligh adalah sebagai berikut: Dampak
Positif yaitu , umur berapapun berkesempatan menjadi wali asalkan sudah
mimpi basah. Dampak Negatifnya adalah sebagai berikut: Pertama, akan
menimbulkan multi tafsir Kedua, peraturan menjadi kabur atau bias, Ketiga,
timbul keraguan dalam menentukan wali nikah 82 tersebut, keempat,
menimbulkan pandangan yang berbeda antara penghulu, Kelima, memberi
peluang kepada calon wali tersebut untuk berbohong.
B. Saran
Adapun saran menurut penulis adalah:
1. Hendaknya pemerintah dapat mengkaji lagi peraturan-peraturan yang
mengisyaratkan umur dan memberi patokan yang sama dan pasti agar tidak
terjadi ketimpangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain.
2. Sebelum pernikahan dilaksanakan maka Kantor Urusan Agama harus
memahamkan kepada masyarakat tentang syarat menjadi wali nikah yang ada
di dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018. Setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan
efektifitas peraturan perundang-undangan terebut di dalam masyarakat.
Sehingga implementasi Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 ini
adalah peraturan yang menjadi pedoman bagi PPN bagi melaksanakan
tugasnya sebagai pegawai pencatat nikah. Agar Peraturan Menteri Agama ini
dapat dilaksanakan
3. Sebelum pernikahan dilaksanakan seharusnya Kantor Urusan Agama harus
mengarahkan masyarakat agar masyarakat tersebut paham dengan peraturan
yang sudah ada
berdasarkan Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018
Tentang Pencatatan Perkawinan (Studi Pada KUA Kec. Tanete Riattang Kab. Bone).
Pokok permasalahan adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan ketentuan
batas minimal usia wali nasab dan mengetahui dampak dari ketentuan Peraturan
Menteri Agama No 19 Tahun 2018 Pasal 11 tentang penghapusan batas usia baligh
sebagai syarat usia wali bagi KUA Kec Tanete Riattang Kab Bone dalam
menentukan wali Nasab.
Penelitian ini merupakan field research (penelitian lapangan) yang ditujukan
untuk mendeskripsikan dan menganalisis ketentuan batas usia wali nasab dengan
menggunakan pendekatan normatif dan pendekatan sosiologis. Adapun yang menjadi
sumber bahan hukum primer yang digunakan dalam skripsi ini yakni Peraturan
Menteri Agama (PMA). Untuk teknik analisis bahan hukum yakni reduksi data,
penyajian data, kesimpulan dan verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan PMA No. 19 Tahun 2018 di
KUA memberikan pandangan baru karena dalam pelaksanaannya KUA lebih
condong kepada kata baligh dalam menentukan seorang wali nasab, melihat dari
situasi yang terjadi di masyarakat mereka lebih menggunakan kata baligh untuk
dapat berkesempatan menjadi seorang wali nasab apabila telah mengalami masa
baligh. Sehingga aturan tersebut telah berjalan sangat baik di dalam KUA khususnya
di KUA Kec. Tanete Riattang. Dalam penerapan PMA No. 19 Tahun 2018 tidak
menjadi hambatan karena pihak KUA hanya memberikan pemahaman kepada
masyarakat mengenai kata baligh dengan melihat dari berbagai sisi baik dari sisi
adanya tanda-tanda perubahan biologis seseorang maupun telah dapat bertanggung
jawab terhadap hukum. Jika ditinjau sebagai pedoman pencacatan perkawinan, maka
peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 juga dapat menerapkan asas lex
specialis derogat legi generalis terhadap peraturan hukum positif lain sehingga
mempunyai daya laku sebagai hukum yang berlaku di Indonesia.
Adapun dampak dari penghapusan batas usia baligh bagi wali nasab dapat
dilihat dari dua sisi yakni dari sisi positif dan sisi negatif dampak positif yaitu;
penentuan wali nasab bersifat fleksibel atau tidak kaku, dampak negatifnya akan
menimbulkan multi tafsir, peraturan menjadi kabur, timbul keraguan dalam
menentukan wali nasab, menimbulkan pandangan yang berbeda bagi penghulu.
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis yang penulis kemukaan dalam bab
sebelumnya, maka penulis akan menyimpulkan sebagai jawaban pokok dalam
permasalahan ini:
1. Penerapan PMA No. 19 Tahun 2018 di KUA memberikan pandangan baru
karena dalam pelakasanaannya KUA lebih condong kepada usia baligh,
melihat dari situasi yang terjadi di masyarakat mereka lebih menggunakan
kata baligh untuk menihkahkan anak mereka apabila telah mengalami masa
baligh. Sehingga aturan tersebut telah berjalan sangat baik di dalam KUA
khususnya di KUA Kec. Tanete Riattang. Mereka telah menerapkan
pemberlakuan hukum sebagai penghapusan usia baligh pada aturan
sebelumnya terhadap PMA No. 11 Tahun 2007. Dan dalam penerapannya
PMA No. 19 Tahun 2018 di KUA tidak menjadi hambatan dalam peraturan
baru tersebut meraka hanya memberikan pemahaman kepada masyarakat
mengenai kata baligh dalam melaksanakan perkawinan apabila telah
mumayyis atau dapat bertanggung jawab terhadap hukum maka boleh saja
untuk di nikahkan asalkan diketahui oleh para wali. Sehingga dalam asas lex
superior derogat legi inferior dapat diterapkan pada Peraturan Menteri
Agama Nomor 19 Tahun 2018 jika dikaitkan dengan Kompilasi Hukum
Islam dikarenakan dalam hirarki perundang-undangan posisi Peraturan
Menteri Agama terletak lebih tinggi dibandingkan Kompilasi Hukum Islam.
Selain itu Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 jika dikaitkan
dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 akan mengandung
asas lex posterior derogat legi priori sehingga akan mengalahkan peraturan
yang lama. Dan jika ditinjau sebagai pedoman pencacatan perkawinan,
Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 juga dapat menerapkan
asas lex specialis derogat legi generalis terhadap peraturan hukum positif
lain sehingga mempunyai daya laku sebagai hukum yang berlaku di indonesia
2. Dampak dari Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang syarat
wali nasab yang hanya tercantum bâligh adalah sebagai berikut: Dampak
Positif yaitu , umur berapapun berkesempatan menjadi wali asalkan sudah
mimpi basah. Dampak Negatifnya adalah sebagai berikut: Pertama, akan
menimbulkan multi tafsir Kedua, peraturan menjadi kabur atau bias, Ketiga,
timbul keraguan dalam menentukan wali nikah 82 tersebut, keempat,
menimbulkan pandangan yang berbeda antara penghulu, Kelima, memberi
peluang kepada calon wali tersebut untuk berbohong.
B. Saran
Adapun saran menurut penulis adalah:
1. Hendaknya pemerintah dapat mengkaji lagi peraturan-peraturan yang
mengisyaratkan umur dan memberi patokan yang sama dan pasti agar tidak
terjadi ketimpangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain.
2. Sebelum pernikahan dilaksanakan maka Kantor Urusan Agama harus
memahamkan kepada masyarakat tentang syarat menjadi wali nikah yang ada
di dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018. Setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan
efektifitas peraturan perundang-undangan terebut di dalam masyarakat.
Sehingga implementasi Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 ini
adalah peraturan yang menjadi pedoman bagi PPN bagi melaksanakan
tugasnya sebagai pegawai pencatat nikah. Agar Peraturan Menteri Agama ini
dapat dilaksanakan
3. Sebelum pernikahan dilaksanakan seharusnya Kantor Urusan Agama harus
mengarahkan masyarakat agar masyarakat tersebut paham dengan peraturan
yang sudah ada
Ketersediaan
| SSYA20220289 | 289/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
289/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
