Status Hukum Pembayaran Utang Kepada Orang Yang Meninggal Dan Utang Sebagai Harta Warisan Perspektif Fiqih Mawaris
Akbar/01.18.1202 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Status Hukum Pembayaran Utang Kepada
Orang Yang Meninggal dan Utang Sebagai Harta Warisan Perspektif Fikih Mawārīṡ.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status hukum pembayaran utang
kepada orang yang meninggal dan utang sebagai harta warisan. Penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian rumusan masalah pada pembahasan pertama menunjukkan
bahwa, apabila orang yang mengutangi (muqriḍ) diketahui telah meninggal dunia
maka status hukumnya menunjukkan muqtariḍ (orang yang berutang) tersebut
tetap berkewajiban membayarnya kepada ahli waris si muqriḍ. Implikasi yang
ditimbulkan pada rumusan masalah ini menunjukkan bahwa muqtariḍ dapat
membayar utangnya dengan segera apabila menemui si muqriḍ telah meninggal
dunia, namun apabila si muqtariḍ tidak mampu melunasi utangnya, muqtariḍ
dapat meminta tambahan waktu pembayaran kepada ahli waris si muqriḍ. Oleh
karena itu ahli waris si muqriḍ dapat membagi harta warisan secara dua tahap,
tahap pertama yaitu membagi harta warisan yang ditinggalkan si muqriḍ dan
tahap kedua yaitu membagi harta warisan piutang setelah muqtariḍ melunasi
utangnya.
Hasil penelitian rumusan masalah pada pembahasan kedua menunjukkan
bahwa, muqtariḍ berutang cenderung menggunakannya untuk pembelian harta
materiil. Ketika muqtariḍ meninggal dunia, maka harta materiil tersebut
mengandung utang yang diwariskan kepada ahli warisnya, apabila harta
peninggalan pewaris cukup untuk melunasi harta materiil tersebut, maka ahli
waris berhak atas pembagian warisan harta materiil tersebut karena telah bersih
dari utang. Namun, apabila harta peninggalan pewaris tidak cukup untuk
melunasi harta materiil tersebut, maka ahli waris si muqtariḍ berkewajiban
melunasinya dengan 3 cara yaitu: menjual, menyewakan, atau dibeli harta
materil tersebut oleh ahli waris itu sendiri. Implikasi yang ditimbulkan pada
rumusan masalah ini menunjukkan bahwa hasil dari penjualan, penyewaan, dan
pembeliannya dapat digunakan untuk melunasi utang berbentuk harta materil
tersebut, dan kelebihan dari pembayaran utang tersebut berhak untuk diwarisi
dan dibagikan kepada ahli waris si muqtariḍ karena telah besih dari utang.
A. Simpulan
Kebiasaan menunda pembayaran dalam waktu yang cukup lama dapat
menyebabkan ditemukannya kondisi dimana muqriḍ dan muqtariḍ meninggal
dunia sebelum muqtariḍ melunasi pembayaran utangnya, sehingga status hukum
utang tersebut dapat disimpulkan berdasarkan pokok permasalahan, yakni :
1. Status hukum pembayaran utang kepada orang yang meninggal perspektif
fikih mawārīṡ
Muqtariḍ tetap berkewajiban untuk membayar utangnya meskipun
muqriḍ telah meninggal dunia, pembayaran utang muqtariḍ diberikan
kepada ahli waris si muqriḍ, sehingga ahli waris si muqriḍ memiliki
tanggung jawab terhadap penagihan piutang muqriḍ. Oleh karena itu
penundaan pembayaran utang yang dilakukan muqtariḍ tersebut tidak dapat
menjadi penghalang bagi ahli waris untuk membagi harta warisannya
dengan segera. Pembagian harta warisan muqriḍ dapat dilakukan dalam dua
tahap yaitu tahap pertama yang dilakukan dengan membagi harta warisan
yang tersisa tanpa menghitung bagian harta piutangnya dan tahap kedua
yang dilakukan dengan membagi harta warisan yang tersisa dari harta
piutang setelah muqtariḍ membayar lunas utangnya.
2. Status hukum utang sebagai harta warisan perspektif fikih mawārīṡ
Pewaris yang berkedudukan sebagai seorang muqtariḍ biasannya
berutang kepada muqriḍ dalam bentuk uang yang akan digunakan untuk
pembelian harta materiil. Apabila harta peninggalan muqtariḍ cukup untuk
melunasi harta materiil tersebut, maka ahli waris si muqtariḍ berhak atas
pembagian warisan harta materiil tersebut karena telah bersih dari utang.
Namun, apabila harta peninggalan muqtariḍ tidak cukup untuk melunasi
harta materiil tersebut, maka ahli waris si muqtariḍ berkewajiban
melunasinya dengan 3 cara yaitu: menjual, menyewakan, atau dibeli harta
materiil tersebut oleh ahli waris itu sendiri yang dikeluarkan dari harta
pribadinya. Hasil dari penjualan, penyewaan, dan pembeliannya dapat
digunakan untuk melunasi utang berbentuk harta materiil tersebut.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian diatas, penulis sekiranya memberikan saran
serta masukan kepada semua masyarakat pada umumnya bahwa:
1. Orang yang membutuhkan sesuatu dalam keadaan mendesak seharusnya
tidak perlu takut untuk berutang, selama memiliki niat untuk membayarnya
kembali, karena sejatinya Allah subḥānahū wata’ālā sendirilah yang akan
menjamin pembayaran utangnya tersebut dengan melebihkan rejekinya.
2. Kegiatan qarḍ sebisa mungkin dilakukan dengan bijaksana saat dalam
keadaan mendesak, dimana jika tidak dilakukan kegiatan utang piutang maka
akan mengancam keberlangsungan kehidupan, karena harta berlebih yang
dimiliki seseorang terdapat harta Allah subḥānahū wata’ālā yang harus
ditunaikanya untuk membantu meminjamkannya kepada yang membutuhkan.
3. Seseorang yang berutang diharapkan membayar utangnya dengan segera,
karena orang yang meninggal dalam keadaan menanggung utang bukan
hanya menyiksa dirinya di akhirat, tapi juga akan memberatkan ahli warisnya
dalam proses pembayaran utangnya apabila harta peninggalanya tidak cukup
untuk melunasi utang-utangnya tersebut.
Orang Yang Meninggal dan Utang Sebagai Harta Warisan Perspektif Fikih Mawārīṡ.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status hukum pembayaran utang
kepada orang yang meninggal dan utang sebagai harta warisan. Penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian rumusan masalah pada pembahasan pertama menunjukkan
bahwa, apabila orang yang mengutangi (muqriḍ) diketahui telah meninggal dunia
maka status hukumnya menunjukkan muqtariḍ (orang yang berutang) tersebut
tetap berkewajiban membayarnya kepada ahli waris si muqriḍ. Implikasi yang
ditimbulkan pada rumusan masalah ini menunjukkan bahwa muqtariḍ dapat
membayar utangnya dengan segera apabila menemui si muqriḍ telah meninggal
dunia, namun apabila si muqtariḍ tidak mampu melunasi utangnya, muqtariḍ
dapat meminta tambahan waktu pembayaran kepada ahli waris si muqriḍ. Oleh
karena itu ahli waris si muqriḍ dapat membagi harta warisan secara dua tahap,
tahap pertama yaitu membagi harta warisan yang ditinggalkan si muqriḍ dan
tahap kedua yaitu membagi harta warisan piutang setelah muqtariḍ melunasi
utangnya.
Hasil penelitian rumusan masalah pada pembahasan kedua menunjukkan
bahwa, muqtariḍ berutang cenderung menggunakannya untuk pembelian harta
materiil. Ketika muqtariḍ meninggal dunia, maka harta materiil tersebut
mengandung utang yang diwariskan kepada ahli warisnya, apabila harta
peninggalan pewaris cukup untuk melunasi harta materiil tersebut, maka ahli
waris berhak atas pembagian warisan harta materiil tersebut karena telah bersih
dari utang. Namun, apabila harta peninggalan pewaris tidak cukup untuk
melunasi harta materiil tersebut, maka ahli waris si muqtariḍ berkewajiban
melunasinya dengan 3 cara yaitu: menjual, menyewakan, atau dibeli harta
materil tersebut oleh ahli waris itu sendiri. Implikasi yang ditimbulkan pada
rumusan masalah ini menunjukkan bahwa hasil dari penjualan, penyewaan, dan
pembeliannya dapat digunakan untuk melunasi utang berbentuk harta materil
tersebut, dan kelebihan dari pembayaran utang tersebut berhak untuk diwarisi
dan dibagikan kepada ahli waris si muqtariḍ karena telah besih dari utang.
A. Simpulan
Kebiasaan menunda pembayaran dalam waktu yang cukup lama dapat
menyebabkan ditemukannya kondisi dimana muqriḍ dan muqtariḍ meninggal
dunia sebelum muqtariḍ melunasi pembayaran utangnya, sehingga status hukum
utang tersebut dapat disimpulkan berdasarkan pokok permasalahan, yakni :
1. Status hukum pembayaran utang kepada orang yang meninggal perspektif
fikih mawārīṡ
Muqtariḍ tetap berkewajiban untuk membayar utangnya meskipun
muqriḍ telah meninggal dunia, pembayaran utang muqtariḍ diberikan
kepada ahli waris si muqriḍ, sehingga ahli waris si muqriḍ memiliki
tanggung jawab terhadap penagihan piutang muqriḍ. Oleh karena itu
penundaan pembayaran utang yang dilakukan muqtariḍ tersebut tidak dapat
menjadi penghalang bagi ahli waris untuk membagi harta warisannya
dengan segera. Pembagian harta warisan muqriḍ dapat dilakukan dalam dua
tahap yaitu tahap pertama yang dilakukan dengan membagi harta warisan
yang tersisa tanpa menghitung bagian harta piutangnya dan tahap kedua
yang dilakukan dengan membagi harta warisan yang tersisa dari harta
piutang setelah muqtariḍ membayar lunas utangnya.
2. Status hukum utang sebagai harta warisan perspektif fikih mawārīṡ
Pewaris yang berkedudukan sebagai seorang muqtariḍ biasannya
berutang kepada muqriḍ dalam bentuk uang yang akan digunakan untuk
pembelian harta materiil. Apabila harta peninggalan muqtariḍ cukup untuk
melunasi harta materiil tersebut, maka ahli waris si muqtariḍ berhak atas
pembagian warisan harta materiil tersebut karena telah bersih dari utang.
Namun, apabila harta peninggalan muqtariḍ tidak cukup untuk melunasi
harta materiil tersebut, maka ahli waris si muqtariḍ berkewajiban
melunasinya dengan 3 cara yaitu: menjual, menyewakan, atau dibeli harta
materiil tersebut oleh ahli waris itu sendiri yang dikeluarkan dari harta
pribadinya. Hasil dari penjualan, penyewaan, dan pembeliannya dapat
digunakan untuk melunasi utang berbentuk harta materiil tersebut.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian diatas, penulis sekiranya memberikan saran
serta masukan kepada semua masyarakat pada umumnya bahwa:
1. Orang yang membutuhkan sesuatu dalam keadaan mendesak seharusnya
tidak perlu takut untuk berutang, selama memiliki niat untuk membayarnya
kembali, karena sejatinya Allah subḥānahū wata’ālā sendirilah yang akan
menjamin pembayaran utangnya tersebut dengan melebihkan rejekinya.
2. Kegiatan qarḍ sebisa mungkin dilakukan dengan bijaksana saat dalam
keadaan mendesak, dimana jika tidak dilakukan kegiatan utang piutang maka
akan mengancam keberlangsungan kehidupan, karena harta berlebih yang
dimiliki seseorang terdapat harta Allah subḥānahū wata’ālā yang harus
ditunaikanya untuk membantu meminjamkannya kepada yang membutuhkan.
3. Seseorang yang berutang diharapkan membayar utangnya dengan segera,
karena orang yang meninggal dalam keadaan menanggung utang bukan
hanya menyiksa dirinya di akhirat, tapi juga akan memberatkan ahli warisnya
dalam proses pembayaran utangnya apabila harta peninggalanya tidak cukup
untuk melunasi utang-utangnya tersebut.
Ketersediaan
| SSYA20220046 | 46/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
46/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Tarbiyah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
