Penolakan Harta Warisan Oleh Ahli Waris Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata

No image available for this title
Skripsi ini membahas tentang Penolakan Harta Warisan Oleh Ahli Waris
Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep penolakan harta warisan dalam Hukum
Islam dan KUH Perdata, serta bagaimana perbedaan dan persamaan Hukum Islam dan
KUH Perdata memandang penolakan harta warisan oleh ahli waris. Penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang menggunakan tiga
pendekatan yaitu; pendekatan teologis normatif, yuridis normatif, dan komparatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep dari penolakan harta warisan oleh
ahli waris dan bagaimana perbedaan serta persamaannya dalam Hukum Islam dan
KUH Perdata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penolakan harta warisan oleh ahli waris
memiliki makna yang berbeda dalam Hukum Islam dan KUH Perdata. Dalam Hukum
Islam penolakan harta warisan bermakna pengunduran diri seseorang atau sebagian
orang dari menjadi ahli waris dalam menerima bagian warisannya, namun diberikan
imbalan baik berupa dari harta warisan itu sendiri ataupun imbalan dari ahli waris
lainnya. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 KHI “Para
ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan,
setelah masing-masing menyadari bagiannya”. Sedangkan dalam KUH Perdata
berdasarkan Pasal 1057-1058, penolakan harta warisan dapat dilakukan namun harus
secara tegas dengan memberikan pernyataan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka. Selain itu, sikap penolakan harta warisan
oleh ahli waris akan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris sehingga haknya dalam
menerima harta warisan dan kewajibannya akan gugur termasuk dalam melunasi
hutang-hutang pewaris. Harapan penulis dalam hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih pemikiran kepada para akademisi sebagai sumber rujukan dan untuk
masyarakat awam tentang penolakan harta warisan khususnya bagi umat Islam untuk
menghindari masalah-masalah yang tidak diinginkan ketika proses pewarisan telah
tiba sehingga semuanya berakhir dengan damai.
A. Simpulan
Setelah berbagai pemaparan pada bab sebelumnya maka penulis dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam hukum Islam, penolakan warisan oleh ahli waris adalah pengunduran diri
seseorang sebagai ahli waris untuk menerima bagian warisannya melalui
perjanjian damai yang disebut sebagai takhāruj. Sementara dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata pada Pasal 1023, penolakan harta warisan justru menjadi
salah satu hak yang dapat dipilih oleh ahli waris dalam menentukan bagiannya.
Sehubungan dengan hal itu, agar penolakan warisan memiliki dasar hukum yang
kuat, maka syarat utama penolakan warisan tersebut yaitu harus dilakukan secara
tegas melalui pernyataan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah
hukumnya warisan itu terbuka.
2. Adapun perbedaan dan persamaan hukum Islam dan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dalam memandang penolakan harta warisan oleh ahli waris
sebagai berikut:
a. Perbedaan
1) Dalam hukum Islam istilah penolakan harta warisan lebih dikenal dengan
sebutan takhāruj yaitu pengunduran diri ahli waris, sedangkan dalam KUH
Perdata seorang ahli waris dapat memilih sikap untuk menolak warisannya.
2) Dalam hukum Islam, pengunduran ahli waris cukup dengan membuat
kesepakatan atau perjanjian damai antara para ahli waris, sedangkan dalam
KUH Perdata penolakan warisan harus secara tegas dan dengan pernyataan
yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah
hukumnya warisan tersebut terbuka.
3) Dalam hukum Islam, membayar hutang tetap sebagai kewajiban yang harus
dipenuhi oleh para ahli waris. Dalam KUH Perdata, ahli waris yang
menolak warisannya membuatnya terbebas dari melunasi hutang pewaris.
4) Pembagian secara takhāruj lebih kearah pembagian warisan secara hukum
Islam untuk umat yang beragama Islam, sedangkan dalam KUH Perdata
penolakan warisan lebih umum digunakan oleh umat diluar agama Islam.
5) Sumber hukum takhāruj berdasarkan atsar sahabat dan Pasal 183 KHI,
sedangkan sumber hukum penolakan harta warisan pada KUH Perdata
yaitu Pasal 1057.
6) Dalam hukum Islam, takhāruj harus secara ikhlas dan riḍa, sedangkan
dalam KUH Perdata penolakan warisan merupakan salah satu sikap yang
dapat secara langsung dipilih oleh ahli waris.
7) Takhāruj mengharuskan ahli waris menerima warisannya terlebih dahulu
lalu kemudian memberikannya kepada ahli waris lainnya, sedangkan dalam
KUH Perdata tidak harus menerima warisan terlebih dahulu melainkan bisa
secara langsung menolaknya.
b. Persamaan
1) Setiap orang yang meninggal dunia seketika itu juga hak dan kewajiban
pewaris atau orang yang meninggal dunia berpindah kepada ahli waris.
2) Sikap penolakan dan pengunduran diri dari kelompok ahli waris akan
menguntungkan para ahli waris atau ahli waris dari kelompok berikutnya.
3) Bagian dan tempat kedudukan ahli waris yang mengundurkan diri menjadi
ahli waris digantikan oleh ahli waris lainnya.
4) Subjek hukumnya sama yaitu pewaris dan ahli waris.
5) Ahli waris kehilangan haknya untuk memperoleh kembali warisannya dan
tidak akan dianggap ahli waris lagi namun tetap memiliki ikatan keluarga.
6) Tidak mengandung unsur paksaan.
7) Menjunjung tinggi nilai keadilan demi mendapatkan kemaslahatan untuk
para ahli waris.
B. Saran
1. Bagi penulis, cara paling indah untuk menyelesaikan sebuah persengketaan
khususnya terkait harta waris adalah dengan jalan damai dengan bermusyawarah.
Hal ini jauh lebih efektif untuk menghindari sengketa atau bahkan menyelesaikan
sengketa itu sendiri. Namun ketika pembagian harta warisan telah tiba ada baiknya
mengikuti sesuai tuntunan di dalam kitab Allah yaitu al-Qur’an khususnya bagi
umat Islam, karena penulis meyakini bahwa apa yang telah diatur oleh Allah adalah
yang terindah dan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.
2. Teruntuk ahli waris yang telah menerima warisan dari pewaris agar tetap
melaksanakan kewajibannya seperti pengurusan jenazah pewarisnya dan terutama
dalam membayar segala utang-utang pewaris apabila pewaris meninggalkan utang
serta melaksanakan wasiat dari pewaris bila ada.
3. Harapan penulis agar setiap masyarakat termasuk penulis sendiri, apabila sudah
tiba saatnya pembagian harta warisan kiranya dimusyawarahkan dengan pikiran
yang tenang dan kepala yang dingin sehingga hubungan emosional tetap terjalin
dengan baik terkhususnya dalam satu rumah tangga. Semoga kita dihindarkan dari
sifat iri dan dengki, dan dikaruniai akhlak yang terpuji sehingga kita dapat
merasakan kebahagiaan dalam kehidupan berumah tangga.
Ketersediaan
SSYA202402002525/2024Perpustakaan PusatTersedia
Informasi Detil
Judul Seri

-

No. Panggil

25/2024

Penerbit

IAIN BONE : Watampone.,

Deskripsi Fisik

-

Bahasa

Indonesia

ISBN/ISSN

-

Klasifikasi

Skripsi Syariah

Informasi Detil
Tipe Isi

-

Tipe Media

-

Tipe Pembawa

-

Edisi

-

Info Detil Spesifik

-

Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain

Advanced Search

Gak perlu repot seting ini itu GRATIS SetUp ,Mengonlinekan SLiMS Di Internet Karena pesan web di Desawarna.com Siap : 085740069967

Pilih Bahasa

Gratis Mengonlinekan SLiMS

Gak perlu repot seting ini itu buat mengonlinekan SLiMS.
GRATIS SetUp ,Mengonlinekan SLiMS Di Internet
Karena pesan web di Desawarna.com
Kontak WhatsApp :

Siap : 085740069967

Template Perpustakaan Desawarna

Kami berharap Template SLiMS ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai template SLiMS bagi semua SLiMerS, serta mampu memberikan dukungan dalam pencapaian tujuan pengembangan perpustakaan dan kearsipan.. Aamiin

Top