Perspektif Hukum Islam Tentang Memberi Mut'ah Kepada Wanita Yang Diceraikan (Studi Di Desa Pacubbe Kencamatan Cenrana)
Selfi Angriani/01.18.1030 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Perspektif Hukum Islam tentang memberi Mut’ah
kepada Wanita yang Diceraikan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana hukum memberi mut’ah kepada istri yang diceraikan menurut Hukum
Islam dan bagaimana realitas pemberian mut’ah kepada wanita yang diceraikan di
Desa Pacubbe Kecamatan Cenrana. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui untuk
mengetahui hukum memberi mut’ah kepada wanita yang diceraikan menurut Hukum
Islam dan untuk mengetahui realitas pemberian mut’ah kepada wanita yang
diceraikan di Desa Pacubbe Kecamatan Cenrana. Penelitian ini merupakan penelitian
lapangan (Field research) dengan pendekatan kualitatif.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah: Dalam kajian Empat Mazhab, Hukum
Islam mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan hak seorang istri akibat
perceraian, diantara pemenuhan hak tersebut adalah pemberian mut’ah. Para fuqaha
berbeda pendapat, ada fuqaha yang berpendapat bahwa nafkah (mut’ah) itu wajib
diberikan kepada isteri yang diceraikannya, apabila suami telah sempat berhubungan
dengannya, baik maharnya telah ditentukan atau belum, dan juga kepada isteri yang
telah diceraikan sebelum sempat dicampurinya apabila maharnya telah ditentukan
kewajiban bagi orang yang bertakwa. Hasil wawancara dari beberapa masyarakat
Desa Pacubbe dapat diambil kesimpulan bahwa hampir seluruh masyarakat tidak
mengetahui adanya nafkah mut’ah bagi istri yang diceraikan, hanya beberapa orang
yang paham tentang nafkah mut’ah dalam Islam setelah perceraian. Padahal menurut
hukum Islam sebab diwajibkannya memberi mut’ah terhadap istri yang diceraikan
adalah faktor ekonomi alasannya karena untuk menjamin kehidupan istri yang
ditalak tersebut mendapat kehidupan yang layak. Namun tidak semua masyarakat
berpendapat bahwa nafkah mut’ah wajib diberikan dengan jumlah yang besar ada
juga yang berpendapat semampunya saja dalam memberikan nafkah mut’ah asalkan
ada kesepakatan dari pihak keluarga.
A. SIMPULAN
Dari uraian yang telah penulis paparkan secara panjang lebar pada
bab-bab sebelumnya, maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis
akan menarik kesimpulan untuk manjawab permasalahan yang penulis teliti,
diantaranya sebagai berikut:
1. Dalam kajian Empat Mazhab, Hukum Islam mengatur hal-hal yang
berkenaan dengan pemenuhan hak seorang istri akibat perceraian,
diantara pemenuhan hak tersebut adalah pemberian mut‟ah. Para fuqaha
berbeda pendapat, ada Fuqaha yang berpendapat bahwa nafkah (mut‟ah)
itu wajib diberikan kepada isteri yang diceraikannya, apabila suami telah
sempat berhubungan dengannya, baik maharnya telah ditentukan atau
belum, dan juga kepada isteri yang telah diceraikan sebelum sempat
dicampurinya apabila maharnya telah ditentukan kewajiban bagi orang
yang bertakwa.
2. Hasil wawancara dari beberapa masyarakat Desa Pacubbe dapat diambil
kesimpulan bahwa hampir seluruh masyarakat tidak mengetahui adanya
nafkah mut‟ah bagi istri yang diceraikan, hanya beberapa orang yang
paham tentang nafkah mut‟ah dalam islam setelah perceraian. Padahal
menurut hukum islam faktor diwajibkannya memberi mut‟ah terhadap
istri yang diceraikan adalah faktor ekonomi alasannya karena untuk
menjamin kehidupan istri yang ditalak tersebut mendapat kehidupan yang
layak setelah pemberian mut‟ah dari suaminya yang sudah mentalaknya.
Namun tidak semua masyarakat berpendapat bahwa nafkah mut‟ah wajib
diberikan dengan jumlah yang besar ada juga yang berpendapat
semampunya saja dalam memberikan nafkah mut‟ah asalkan ada
kesepakatan dari pihak keluarga. Pemberian mut‟ah terhadap istri yang
diceraikan seperti dasar hukum, rukun, dan syarat ataupun jumlah
pemberian atas dasar ketentuan dari hukum adat dan tidak ada dasar
hukum tertentu yang menjadi pedoman mereka untuk melaksanakan
wajib mut‟ah tersebut.
B. SARAN
Sebagai catatan akhir dari penulisan ini maka penulis ingin
memberikan pesan moral kepada pihak-pihak yang akan melakukan poligami
atau kepada pembaca sekalian, diantaranya:
1. Kepada para Istri diharapkan memahami hak-hak istri dalam perkawinan
maupun setelah diceraikan sebelum melakukan sebuah pernikahan.
2. Kepada Suami seharusnya mengetahui tanggung jawabnya terhadap
adanya pemberian nafkah mut‟ah dalam islam kepada mantan istri yang
diceraikan.
3. Istri yang mengetahui tentang nafkah mut‟ah seharusnya memberi
pemahaman kepada mantan suami apabila mantan suami tidak paham
tentang nafkah mut‟ah.
4. Bagi mahasiswa, dosen, ataupun perangkat hukum, idealnya memberi
sosialisasi kepada masyarakat tentang hukum perkawinan termasuk hak-
hak istri pasca perceraian.
kepada Wanita yang Diceraikan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana hukum memberi mut’ah kepada istri yang diceraikan menurut Hukum
Islam dan bagaimana realitas pemberian mut’ah kepada wanita yang diceraikan di
Desa Pacubbe Kecamatan Cenrana. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui untuk
mengetahui hukum memberi mut’ah kepada wanita yang diceraikan menurut Hukum
Islam dan untuk mengetahui realitas pemberian mut’ah kepada wanita yang
diceraikan di Desa Pacubbe Kecamatan Cenrana. Penelitian ini merupakan penelitian
lapangan (Field research) dengan pendekatan kualitatif.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah: Dalam kajian Empat Mazhab, Hukum
Islam mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan hak seorang istri akibat
perceraian, diantara pemenuhan hak tersebut adalah pemberian mut’ah. Para fuqaha
berbeda pendapat, ada fuqaha yang berpendapat bahwa nafkah (mut’ah) itu wajib
diberikan kepada isteri yang diceraikannya, apabila suami telah sempat berhubungan
dengannya, baik maharnya telah ditentukan atau belum, dan juga kepada isteri yang
telah diceraikan sebelum sempat dicampurinya apabila maharnya telah ditentukan
kewajiban bagi orang yang bertakwa. Hasil wawancara dari beberapa masyarakat
Desa Pacubbe dapat diambil kesimpulan bahwa hampir seluruh masyarakat tidak
mengetahui adanya nafkah mut’ah bagi istri yang diceraikan, hanya beberapa orang
yang paham tentang nafkah mut’ah dalam Islam setelah perceraian. Padahal menurut
hukum Islam sebab diwajibkannya memberi mut’ah terhadap istri yang diceraikan
adalah faktor ekonomi alasannya karena untuk menjamin kehidupan istri yang
ditalak tersebut mendapat kehidupan yang layak. Namun tidak semua masyarakat
berpendapat bahwa nafkah mut’ah wajib diberikan dengan jumlah yang besar ada
juga yang berpendapat semampunya saja dalam memberikan nafkah mut’ah asalkan
ada kesepakatan dari pihak keluarga.
A. SIMPULAN
Dari uraian yang telah penulis paparkan secara panjang lebar pada
bab-bab sebelumnya, maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis
akan menarik kesimpulan untuk manjawab permasalahan yang penulis teliti,
diantaranya sebagai berikut:
1. Dalam kajian Empat Mazhab, Hukum Islam mengatur hal-hal yang
berkenaan dengan pemenuhan hak seorang istri akibat perceraian,
diantara pemenuhan hak tersebut adalah pemberian mut‟ah. Para fuqaha
berbeda pendapat, ada Fuqaha yang berpendapat bahwa nafkah (mut‟ah)
itu wajib diberikan kepada isteri yang diceraikannya, apabila suami telah
sempat berhubungan dengannya, baik maharnya telah ditentukan atau
belum, dan juga kepada isteri yang telah diceraikan sebelum sempat
dicampurinya apabila maharnya telah ditentukan kewajiban bagi orang
yang bertakwa.
2. Hasil wawancara dari beberapa masyarakat Desa Pacubbe dapat diambil
kesimpulan bahwa hampir seluruh masyarakat tidak mengetahui adanya
nafkah mut‟ah bagi istri yang diceraikan, hanya beberapa orang yang
paham tentang nafkah mut‟ah dalam islam setelah perceraian. Padahal
menurut hukum islam faktor diwajibkannya memberi mut‟ah terhadap
istri yang diceraikan adalah faktor ekonomi alasannya karena untuk
menjamin kehidupan istri yang ditalak tersebut mendapat kehidupan yang
layak setelah pemberian mut‟ah dari suaminya yang sudah mentalaknya.
Namun tidak semua masyarakat berpendapat bahwa nafkah mut‟ah wajib
diberikan dengan jumlah yang besar ada juga yang berpendapat
semampunya saja dalam memberikan nafkah mut‟ah asalkan ada
kesepakatan dari pihak keluarga. Pemberian mut‟ah terhadap istri yang
diceraikan seperti dasar hukum, rukun, dan syarat ataupun jumlah
pemberian atas dasar ketentuan dari hukum adat dan tidak ada dasar
hukum tertentu yang menjadi pedoman mereka untuk melaksanakan
wajib mut‟ah tersebut.
B. SARAN
Sebagai catatan akhir dari penulisan ini maka penulis ingin
memberikan pesan moral kepada pihak-pihak yang akan melakukan poligami
atau kepada pembaca sekalian, diantaranya:
1. Kepada para Istri diharapkan memahami hak-hak istri dalam perkawinan
maupun setelah diceraikan sebelum melakukan sebuah pernikahan.
2. Kepada Suami seharusnya mengetahui tanggung jawabnya terhadap
adanya pemberian nafkah mut‟ah dalam islam kepada mantan istri yang
diceraikan.
3. Istri yang mengetahui tentang nafkah mut‟ah seharusnya memberi
pemahaman kepada mantan suami apabila mantan suami tidak paham
tentang nafkah mut‟ah.
4. Bagi mahasiswa, dosen, ataupun perangkat hukum, idealnya memberi
sosialisasi kepada masyarakat tentang hukum perkawinan termasuk hak-
hak istri pasca perceraian.
Ketersediaan
| SSYA20220193 | 193/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
193/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
