Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU- XII/2014 Terhadap Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan
Essy Andina Anggi/01.18.4086 - Personal Name
Skripsi ini membahas Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
21/PUU-XII/2014 Terhadap Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan.
Skripsi ini bertujuan untuk meneliti dan menganalisis tentang pertimbangan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 karena memasukkan Penetapan
Tersangka ke dalam ruang lingkup Objek Praperadilan sebagaimana Kedudukan
tersangka atau terdakwa diposisikan sebagai subjek hukum bukan sebagai objek
hukum dalam pemeriksaan dan upaya penegakan serta perlindungan hak asasi
manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemerikasaan penyidikan dan penuntutan.
Adapun implikasinya terhadap putusan mahkamah konstitusi belum adanya kepastian
hukum terkait polemik penetapan tersangka sebagai objek praperadilan serta
bertambahya beban kinerja penegak hukum karena memasukkan penetapan tersangka
ke dalam ruang lingkup praperadilan.
Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan melakukan
pendekatan kasus dan pendekatan undang-undang dengan menelaah regulasi yang
berkaitan dengan isu hukum yang dikaji. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 tentang pengujian pada Pasal 77 huruf a UU No.8 tahun 1981
adalah salah satu cerminan bahwa putusan Mahkamah, adalah putusan yang
memasuki ranah legislative dengan menambahkan penetapan tersangka sebagai salah
satu objek praperadilan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam putusannya yaitu melindungi
warga negara dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Jadi hakim
praperadilan harus menguji alat bukti sebagai syarat minimum untuk penetapan
tersangka dalam sidang praperadilan dan juga telah memperluas objek pemeriksaan
praperadilan khususnya penetapan tersangka. Sebagaimana Kewajiban negara untuk
menegakkan dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis
mengharuskan pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan terdapat pada Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 dan haruslah
mendapatkan kepastian hukum yang adil terdapat pada Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan dalam skripsi ini, penulis
mengambil kesimpulan seagai berikut:
1. Dasar pertimbangan hakim yang paling utama adalah lebih mengedepankan
aspek hak asasi manusia dan kepastian hukum bagi seseorang yang
ditetapkan sebagai tersangka dalam penyidikan dan pemeriksaan dimana
seharusnya tersangka diposisikan sebagai subjek hukum. Selanjutnya
KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tidakan penetapan
tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme
pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti.
Terkhir penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang
merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya
penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan
perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang memutus penetapan
tersangka sebagai objek praperadilan merupakan bentuk pengawasan dan
mekanisme kontrol terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat
dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Sarana kontrol ini lebih
ditekankan pada tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam hal
melakukan upaya paksa (penangkapan, penahanan) serta wewenang yang
dimiliki oleh masing-masing aparat penegak hukum tersebut (penyidikan
atau penuntutan). Sarana kontrol tersebut bertujuan demi mengefektivkan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk diterapkan oleh aparat penegak
hukum serta efektifnya Praperadilan dalam penerapannya sehingga Hakim
bisa mempertimbangkan permohonan Praperadilan yang diajukan Pemohon.
2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 adalah
memberikan hak konstitusional dengan penegakan hak asas manusia kepada
warga negara, penerapan putusan tersebut ditengah masyarakat yakni akan
terdapat banyak kasus terkait dengan penetapan tersangka yang akan
diajukan dalam proses praperadilan, kesulitan aparatur penegak hukum
dalam menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap penetapan
tersangka sebagai objek praperadilan dikarenakan aparatur penegak hukum
akan melihat terlebih dahulu teks Undang-Undang yang belaku. Selain itu
juga Bertambahnya beban kinerja penegak hukum. Tidak adanya prinsip
check and balance dimana prinsip tersebut mengontrol dan menjaga
kesimbangan Lembaga negara dengan saling mengimbangi dan mengawasi.
B. Saran
Secara kultur hukum, putusan Mahkamah Konstitusi yang memutus
penetapan tesangka sebagai objek praperadilan adalah putusan yang mengikat
secara otomatis. Namun, lebih tepat jika hal ini diserahkan pada pembentuk
Undang-Undang yakni Dewan Pewakilan Rakyat serta prisip penegakan
kewenangan Lembaga Negara haruslah dipertegas yakni Mahkamah Konstitusi
sebagai negatif legislator dengan DPR sebagai positif legislator.
21/PUU-XII/2014 Terhadap Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan.
Skripsi ini bertujuan untuk meneliti dan menganalisis tentang pertimbangan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 karena memasukkan Penetapan
Tersangka ke dalam ruang lingkup Objek Praperadilan sebagaimana Kedudukan
tersangka atau terdakwa diposisikan sebagai subjek hukum bukan sebagai objek
hukum dalam pemeriksaan dan upaya penegakan serta perlindungan hak asasi
manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemerikasaan penyidikan dan penuntutan.
Adapun implikasinya terhadap putusan mahkamah konstitusi belum adanya kepastian
hukum terkait polemik penetapan tersangka sebagai objek praperadilan serta
bertambahya beban kinerja penegak hukum karena memasukkan penetapan tersangka
ke dalam ruang lingkup praperadilan.
Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan melakukan
pendekatan kasus dan pendekatan undang-undang dengan menelaah regulasi yang
berkaitan dengan isu hukum yang dikaji. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 tentang pengujian pada Pasal 77 huruf a UU No.8 tahun 1981
adalah salah satu cerminan bahwa putusan Mahkamah, adalah putusan yang
memasuki ranah legislative dengan menambahkan penetapan tersangka sebagai salah
satu objek praperadilan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam putusannya yaitu melindungi
warga negara dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Jadi hakim
praperadilan harus menguji alat bukti sebagai syarat minimum untuk penetapan
tersangka dalam sidang praperadilan dan juga telah memperluas objek pemeriksaan
praperadilan khususnya penetapan tersangka. Sebagaimana Kewajiban negara untuk
menegakkan dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis
mengharuskan pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan terdapat pada Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 dan haruslah
mendapatkan kepastian hukum yang adil terdapat pada Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan dalam skripsi ini, penulis
mengambil kesimpulan seagai berikut:
1. Dasar pertimbangan hakim yang paling utama adalah lebih mengedepankan
aspek hak asasi manusia dan kepastian hukum bagi seseorang yang
ditetapkan sebagai tersangka dalam penyidikan dan pemeriksaan dimana
seharusnya tersangka diposisikan sebagai subjek hukum. Selanjutnya
KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tidakan penetapan
tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme
pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti.
Terkhir penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang
merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya
penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan
perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang memutus penetapan
tersangka sebagai objek praperadilan merupakan bentuk pengawasan dan
mekanisme kontrol terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat
dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Sarana kontrol ini lebih
ditekankan pada tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam hal
melakukan upaya paksa (penangkapan, penahanan) serta wewenang yang
dimiliki oleh masing-masing aparat penegak hukum tersebut (penyidikan
atau penuntutan). Sarana kontrol tersebut bertujuan demi mengefektivkan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk diterapkan oleh aparat penegak
hukum serta efektifnya Praperadilan dalam penerapannya sehingga Hakim
bisa mempertimbangkan permohonan Praperadilan yang diajukan Pemohon.
2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 adalah
memberikan hak konstitusional dengan penegakan hak asas manusia kepada
warga negara, penerapan putusan tersebut ditengah masyarakat yakni akan
terdapat banyak kasus terkait dengan penetapan tersangka yang akan
diajukan dalam proses praperadilan, kesulitan aparatur penegak hukum
dalam menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap penetapan
tersangka sebagai objek praperadilan dikarenakan aparatur penegak hukum
akan melihat terlebih dahulu teks Undang-Undang yang belaku. Selain itu
juga Bertambahnya beban kinerja penegak hukum. Tidak adanya prinsip
check and balance dimana prinsip tersebut mengontrol dan menjaga
kesimbangan Lembaga negara dengan saling mengimbangi dan mengawasi.
B. Saran
Secara kultur hukum, putusan Mahkamah Konstitusi yang memutus
penetapan tesangka sebagai objek praperadilan adalah putusan yang mengikat
secara otomatis. Namun, lebih tepat jika hal ini diserahkan pada pembentuk
Undang-Undang yakni Dewan Pewakilan Rakyat serta prisip penegakan
kewenangan Lembaga Negara haruslah dipertegas yakni Mahkamah Konstitusi
sebagai negatif legislator dengan DPR sebagai positif legislator.
Ketersediaan
| SSYA20220213 | 213/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
213/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
