Studi Perbandingan Kedudukan Wali Dalam Pernikahan Janda Dibawah Umur Menurut Mazhab Syafii Dan Mazhab Hanafi

No image available for this title
Skripsi ini membahas tentang kedudukan wali dalam perkawinan anak perempuan di
bawah umur menurut madzhab Syafi'i dan Hanafi. Permasalahan dalam penelitian ini
terletak pada bagaimana pandangan mazhab Syafi'i dan Hanafi tentang status wali
dalam pernikahan anak di bawah umur dengan janda, dan analisis komparatif
pendapat madzhab Syafii dan Hanafi tentang status wali. wali pada janda. Pernikahan
di bawah umur. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, dengan pendekatan
normatif.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah: mazhab Sya>fi’i mengenai
kedudukan wali dalam pernikahan janda di bawah umur bahwa kehadiran wali
merupakan salah satu rukun nikah yang artinya tidak sah pernikahan apabila tidak
ada wali, dan menganggap batal suatu akad nikah yang dilakukan oleh wanita baik
itu gadis maupun janda. Mazhab H{ana>fi seorang perempuan yang sudah baligh
(dewasa), berakal sehat, mampu menguasai kendali dirinya (yakni, yang selalu
bertindak rasional dan tidak mudah terbawa oleh emosinya) boleh saja
melangsungkan akad nikah bagi dirinya sendiri maupun perempuan lain, baik dia
seorang gadis (perawan) ataupun janda dengan syarat orang yang akan menikahinya
adalah orang yang sekufu, Imam abu hanifah mempersamakan semua akad
termasuk akad nikah yakni dalam agama Islam membenarkan perempuan bertindak
sendiri dalam melaksanakan akad jual-beli dan akad-akad yang lain. Maka dari itu
menurut mazhab hanafi perempuan dapat melangsungkan akad pernikahannya
sendiri. Hanya saja, agama masih memberikan hak pembatalan kepada para wali
dalam keadaan tertentu.
A. Simpulan
1. Pandangan mazhab Syāfi’i dengan mazhab Ḥ ana>fih mengenai kedudukan
wali dalam pernikahan janda di bawah umur
Pendapat mazhab Sya>fi’i mengenai kedudukan wali dalam pernikahan janda
di bawah umur bahwa kehadiran wali merupakan salah satu rukun nikah yang artinya
tidak sah pernikahan apabila tidak ada wali, dan menganggap batal suatu akad nikah
yang dilakukan oleh wanita baik itu gadis maupun janda, karena perkawinan
memiliki berbagai macam tujuan kebaikan. Sedangkan (kebanyakan) perempuan
sering kali hanya tunduk kepada perasaan (emosi) pada hatinya, sehingga kurang
mampu memilih yang terbaik secara rasional. Sebagai akibatnya, dia akan kehilangan
banyak diantara tujuan-tujuan yang baik ini. Karena itulah, dia perlu dicegah dari
melakukan sendiri akad nikahnya, dan harus menyerahkan persoalan pernikahannya
itu kepada walinya, agar lebih banyak manfaat yang dapat diraih secara keseluruhan.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat ahli ilmu diantara para sahabat nabi, seperti
Umar Bin Khattab, Ali> bin Abi> T{ha>lib, Abdullah Bin Ababs, Ibn Umar, Ibnu Mas’ud,
Dan Aisyah. Diantara para Tabiin : Sa’id Bin Musayyab, Hasan Al-Bashri Al-
Nakha’i, Dan Lain-Lain. Demikian Pula Para Ulama Fuqaha’ Seperti Sya>fi’i, Ah{mad,
Sufyan Ats-Tsauri, Ibn Hazm, Ath-Thabari, dan lain-lain. Adapun alasan yang
mendasar mengenai pendapat dalam mazhab syafi’I adalah berdasarkan QS. Al-
Baqarah [2]: 232 dan QS. An-Nisa [4]: 34 dari ayat ini kita bisa mengambil dalil
bahwa nikah terjadi atau sah dengan ridha wali terhadap suami dan istri, dan ayat
tersebut adalah pembahasan tentang wali sebab turunnya ayat ini merupakan dalil
yang paling jelas mengenai kewajiban adanya wali dalam perkawinan. Seandainya
demikian, penolakan ma’qil dalam QS. Al- Baqarah [2]: 232 tersebut tidak ada
artinya. Dan sekiranya si perempuan dibenarkan mengawinkan dirinya sendiri,
niscaya dia tidak memerlukan saudaranya itu. Maka itulah yang paling mendekati
kebenaran, dan ini tidak mengandung makna selain itu. Karena yang diperintahkan
untuk tidak menghalangi perempuan menikah lagi adalah orang yang memiliki jalan
untuk menghalangi dimana pernikahan bisa terlaksana dengan keberadaannya, yaitu
wali.
Adapun Mazhab H{ana>fi berpendapat seorang perempuan yang sudah baligh
(dewasa), berakal sehat, mampu menguasai kendali dirinya (yakni, yang selalu
bertindak rasional dan tidak mudah terbawa oleh emosinya) boleh saja
melangsungkan akad nikah bagi dirinya sendiri, baik dia seorang gadis (perawan)
ataupun janda dengan syarat orang yang akan menikahinya adalah orang yang sekufu,
pendapat ini sejalan dengan pendapat Abu> Yu>suf dan Zufair. Imam abu hanifah
mempersamakan semua akad termasuk akad nikah yakni, agama islam membenarkan
perempuan bertindak sendiri dalam melaksanakan akad jual beli dan akd-akad yang
lain. maka dari itu menurut mazhab hanafi perempuan dapat melangsungkan akad
pernikahannya sendiri. Hanya saja, agama masih memberikan hak pembatalan kepada
para wali dalam keadaan tertentu, yaitu apabila si perempuan bertindak gegabah,
dengan melangsungkan pernikahan dengan laki-laki yang tidak sekufu’. Dengan
demikian ia dianggap telah mencorengkan aib kepada anggota keluarganya sendiri.
Selain itu alasan medasar yakni dalam QS. Al- Baqarah [2]: 230 dan QS. Al-
Baqarah [2] : 232 menurut mereka, kedua ayat tersebut dengan jelas menisbahkan
aktifitas pernikahan dengan si perempuan. Sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan dialah pelaku pernikahan secara hakiki.
2. Analisis Komparatif Antara Pandangan mazhab Syāfi’i dengan mazhab
Ḥ an> a>f fi i Menenai kedudukan wali nikah bagi janda di bawah umur
Kedua mazhab tersebut berpendapat bahwa wali mempunyai hak sanggah
serta dapat membatalkan perkawinan seorang janda apabila menikah dengan seorang
yang tidak sekufu dan wali juga tidak dapat menikahkan janda tanpa izin yang
bersangkutan. Namun disamping persamaan tersebut, keduanya berbeda pendapat
mengenai kedudukan wali nikah bagi janda di bawah umur, dimana dalam mazhab
syafii mengatakan kehadiran wali merupakan salah satu rukun nikah yang artinya
tidak sah pernikahan apabila tidak ada wali, dan menganggap batal suatu akad nikah
yang dilakukan oleh wanita baik itu gadis maupun janda, namun menurut mazhab
hanafi seorang perempuan yang sudah baligh (dewasa), berakal sehat, mampu
menguasai kendali dirinya (yakni, yang selalu bertindak rasional dan tidak mudah
terbawa oleh emosinya) boleh saja melangsungkan akad nikah bagi dirinya sendiri,
baik dia seorang gadis (perawan) ataupun janda dengan syarat orang yang akan
menikahinya adalah orang yang sekufu.
B. Implikasi
Berdasarkan simpulan tersebut maka penulis memberikan saran sebagai
bentuk implikasi penelitian, sebagai berikut:
1. Hendaklah para ulama berperan aktif di kehidupan masyarakat melalui
pembinaan atau membimbing dalam segi agama agar menghindari adanya
perselisihan dalam permasalahan wali nikah.
2. Mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh negara (pemerintah), agar
pernikahan tersebut menjadi syah dan syakral baik secara syar’i maupun
undang-undang yang berlaku di negara Republik Indonesia ini.
Ketersediaan
SSYA20220206206/2022Perpustakaan PusatTersedia
Informasi Detil
Judul Seri

-

No. Panggil

206/2022

Penerbit

IAIN BONE : Watampone.,

Deskripsi Fisik

-

Bahasa

Indonesia

ISBN/ISSN

-

Klasifikasi

Skripsi Syariah

Informasi Detil
Tipe Isi

-

Tipe Media

-

Tipe Pembawa

-

Edisi

-

Info Detil Spesifik

-

Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain

Advanced Search

Gak perlu repot seting ini itu GRATIS SetUp ,Mengonlinekan SLiMS Di Internet Karena pesan web di Desawarna.com Siap : 085740069967

Pilih Bahasa

Gratis Mengonlinekan SLiMS

Gak perlu repot seting ini itu buat mengonlinekan SLiMS.
GRATIS SetUp ,Mengonlinekan SLiMS Di Internet
Karena pesan web di Desawarna.com
Kontak WhatsApp :

Siap : 085740069967

Template Perpustakaan Desawarna

Kami berharap Template SLiMS ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai template SLiMS bagi semua SLiMerS, serta mampu memberikan dukungan dalam pencapaian tujuan pengembangan perpustakaan dan kearsipan.. Aamiin

Top