Studi Komparatif Tentang Lian Menurut Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i Dan Kompilasi Hukum Islam
Nirwan/. 01.18.1048 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang perbandingan konsep li‘ān menurut mażhab
Māliki, mażhab Syāfi‘ī dan Kompilasi Hukum Islam. Pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana konsep li‘ān menurut mażhab Māliki, mażhab Syāfi‘ī
dan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan
(library research) dengan pendekatan kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan li‘ān menurut mażhab Māliki, mażhab Syāfi‘ī
dan Kompilasi Hukum Islam.
Data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan teologis normatif dan
pendekatan yuridis normatif. Kemudian dilakukan pengutipan langsung dan tidak
langsung.
Hasil penelitian menunjukan bahwa persamaan konsep li‘ān mażhab Māliki,
mażhab Syāfi‘ī dan Kompilasi Hukum Islam yaitu: suami yang menuduh istrinya
melakukan perzinaan atau mengingkari anak dalam kandungan istrinya dan tidak
mempunyai bukti, maka suami dikenai ḥad. Namun dengan sumpah li‘ān, suami
terhindar dari hukuman ḥad. Jika suami telah bersumpah li‘ān maka istri dikenai ḥad,
namun dengan sumpah li‘ān pula istri dapat terbebas dari ḥad. Hal itu selaras dengan
pasal 126 dan pasal 127 huruf a dan b Kompilasi Hukum Islam. Orang yang
dinyatakan sah sumpahnya sah pula li‘ān-nya, li‘ān orang bisu dan orang buta juga
dianggap sah. Anak yang lahir dari pasangan yang telah melakukan li‘ān dinasabkan
kepada ibunya. Pemisahan karena li‘ān dihukumi fasakh, dengan konsekuensi
pengharaman untuk selamanya, hal itu selaras dengan pasal 125 Kompilasi Hukum
Islam. Adapun perbedaannya yaitu: penolakan sumpah li‘ān suami terhadap
tuduhannya, mażhab Syāfi‘ī menghukumi suami fasik sedangkan mażhab Māliki tidak
demikian. Mażhab Syāfi‘ī mewajibkan suami memulai li’ān, sedangkan mażhab
Māliki mensunnahkan dimulai dari suami. Mażhab Māliki mengharuskan suami
melihat langsung perbuatan zina yang dilakukan istrinya untuk dapat menyatakan
sumpah li‘ān, sedangkan mażhab Syāfi‘ī membolehkan li‘ān, kendati suami melihat
perzinaan istrinya atau tidak. Pemisahan karena li‘ān menurut mażhab Māliki terjadi
jika sumpah li‘ān suami dan istri telah selesai, hal tersebut selaras dengan pasal 127
Kompilasi Hukum Islam, sedangkan menurut mażhab Syāfi‘ī pemisahan terjadi cukup
hanya dengan sumpah li‘ān suami. Mażhab Māliki mengharuskan penolakan anak
sebelum kelahiran, sedangkan mażhab Syāfi‘ī dapat dilakukan sebelum ataupun
setelah kelahiran
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab
sebelumnya tentang konsep li„ān menurut perspektif mażhab Māliki, mażhab Syāfi„ī
dan Kompilasi Hukum Islam, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep li„ān mażhab Māliki
Tuduhan zina pun juga pengingkaran terhadap janin dari seorang suami terhadap
istrinya tanpa eksistensi bukti untuk mengafirmasi tuduhan tersebut, maka si
suami dihukumi ḥad. Ḥad dapat dihindari suami jika ia bersumpah li„ān. Pasca
sumpah li„ān suami maka istri wajib dikenai ḥad, tetapi jika istri melakukan
sumpah li„ān sebagai penyangkalan atas tuduhan suaminya, maka gugur ḥad
tersebut. Suami tidak dipandang fasik apabila ia menolak bersumpah li„ān
terhadap tuduhannya hingga ia dikenai had, jika penolakan bersumpah li„ān dari
pihak istri maka ia dikenai ḥad perzinaan. Li„ān disunnahkan untuk dimulai dari
pihak laki-laki, tetapi tidak wajib. Li„ān tetap dinyatakan sah kendati dimulai dari
pihak perempuan. Orang yang sah sumpahnya maka sah pula pernyataan li„ān-
nya, begitupun orang buta dan orang bisu dianggap sah li„ān-nya. Suami yang
menuduh istrinya berzina harus mengaku bahwa ia melihat perbuataan zina
tersebut, jika tidak demikian tidak ada kesempatan baginya untuk bersumpah
li„ān. Apabilasi suami betul melihat perbuatan perzinaan istrinya, maka ia harus
menyatakan li„ān terhadap istrinya dan ia tetap dijatuhi ḥad untuk laki-laki yang
dituduhnya.
Suami boleh melakukan li„ān jika ia mendapati istrinya berzina dalam masa
„iddah-nya pasca talak ba„in, begitu juga jika terjadi kehamilan. Penolakan nasab
(anak) harus dilakukan sebelum anak dilahirkan. Anak dari pasangan yang telah
melakukan li‟ān dinasabkan kepada ibunya. Perpisahan karena li„ān dihukumi
fasakh.
2. Konsep li„ān mażhab Syāfi„ī
Suami yang menuduh istrinya berzina tanpa disertai bukti ataupun penolakan
terhadap janin di dalam rahim istrinya dihukumi ḥad. Namun, ketika ia
melakukan sumpah li„ān maka gugur hukuman ḥad tersebut. Si istri akan dikenai
ḥad setelah suaminya melakukan sumpah li„ān atas tuduhannya, ḥad tersebut
dapat dihindari dengan melakukan sumpah li„ān. Jika suami menolak untuk
bersumpah li„ān atas tuduhannya, maka ia dihukumi ḥad dan dipandang fasik,
dalam hal penolakan bersumpah li„ān bersumber dari pihak istri maka ia dikenai
ḥad perzinaan. Sumpah li„ān wajib dimulai dari pihak laki-laki dan tidak sah
apabila dimulai dari pihak perempuan. Orang yang sah sumpahnya, maka sah
pula li„ān-nya. Orang bisu dan orang buta juga dianggap sah li„ān-nya.
Pemisahan akibat li„ān cukup dengan sumpah suami. Suami dapat melakukan
li„ān meskipun ia tidak menyebutkan telah melihat langsung perbuatan zina yang
dilakukan istrinya. Jika terdapat kehamilan dari seorang istri dimasa „iddah-nya
setelah telah ditalak ba„in oleh suamiya, maka suami boleh melakukan li„ān.
Penolakan nasab (anak) boleh dilakukan sebelum ataupun sesudah kelahiran.
Anak yang lahir dari pasangan yang telah melakukan li„ān dinasabkan kepada
ibunya. Perceraian karena li„ān dihukumi fasakh.
3. Konsep li‟ān Kompilasi Hukum Islam
Dalam pasal 125 dijelaskan bahwa li„ān menyebabkan putusnya perkawinan
antara suami istri untuk selama-lamanya. Pasal 126 menjelaskan bahwa
terjadinya li„ān dikarenakan suami menuduh istrinya berbuat zina atau
mengingkari anak baik yang sudah lahir maupun yang masih dalam kandungan,
sedangkan si istri menolak tudahan atau pengingkaran tersebut. Tata cara
pelaksanaan li„ān dijelaskan dalam pasal 127 bahwa suami bersumpah empat kali
dengan tuduhan zina atau pengingkaran anak, kemudian sumpah kelima
merupakan pernyataan laknat atas dirinya apabila yang ia maksudkan dalam
sumpah pertama sampai sumpah keempatnya merupakan kebohongan (dusta).
Kemudian, istri menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut dengan empat kali
sumpah, diikuti sumpah kelima bahwa murka Allah atas dirinya, jika tuduhan
atau pengingkaran suaminya merupakan kebenaran. Apabila pelaksanaan li„ān
tidak seperti itu, maka li„ān dianggap tidak terjadi. Pasal 128 menjelaskan bahwa
li„ān hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.
4. Persamaan
Mażhab Māliki dan mażhab Syāfi„ī sependapat bahwa seorang suami yang
menuduh istrinya berzina atau menolak janin yang ada dalam kandungan istrinya
dan ia tidak dapat mengḥadirkan saksi-saksi, maka ia dihukumi ḥad. Hukuman
ḥad ini dapat dihindari dengan melakukan sumpah li„ān maka gugur hukuman
ḥad tersebut. Dalam hal suami telah bersumpah li„ān maka istrinya dikenakan
ḥad. Ḥad tersebut akan gugur jika si istri melakukan sumpah li„ān. Apabila
suami menolak untuk bersumpah li„ān atas tuduhannya, ia dihukumi ḥad, jika
penolakan sumpah li„ān itu dari si istri maka ia dikenai ḥad perzinaan. Pendapat
mażhab Māliki dan mażhab Syāfi„ī itu selaras dengan Kompilasi Hukum Islam
pasal 126 dan pasal 127 huruf a dan b.
Mażhab Māliki dan mażhab Syāfi„ī sependapat bahwa Orang bisu juga
dinyatakan sah li„ān-nya, begitupun dengan orang buta. Persamaan selanjuntnya
yaitu anak yang lahir dari pasangan yang telah malakukan li„ān dinasabkan
kepada ibunya. Pemisahan karena li„ān dihukumi fasakh, yaitu pengharaman
bersatu kembali untuk selama-lamanya, hal itu selaras dengan Kompilasi Hukum
Islam pasal 12.
5. Perbedaan
Dalam hal penolakan bersumpah li„ān jika suami menuduh istrinya berzina atau
menolak kandungan istrinya, maka suami dikenai ḥad. Dalam hal itu mażhab
Māliki tidak memandang fasik si suami, berbeda dengan mażhab Syafi„ī yang
memandang fasik si suami.
Mażhab Māliki dan mażhab Syāfi„ī berbeda pendapat mengenai siapa yang
seharusnya memulai li‟ān. Syāfi„ī bependapat bahwa li„ān wajib dimulai dari
pihak suami dan tidak sah jika dimulai dari pihak istri. Sedangkan Māliki
berpendapat disunnahkan dimulai dari suami, namun tidak wajib. Jika dimulai
dari pihak istri, li„ān tersebut juga dianggap sah.
Pendapat mażhab Māliki bahwa pemisahan akibat li„ān baru bisa terjadi apabila
pihak suami dan istri telah melakukan li„ān, sedangkan menurut mażhab Syāfi„ī
pemisahan tersebut cukup hanya dengan sumpah li„ān suami.
Perbedaan selanjutnya yaitu tudahan li„ān suami harus dengan pengakuan bahwa
si suami melihat perzinaan yang dilakukan istrinya, demikian pendapat mażhab
Māliki, sedangkan menurut mażhab Syāfi„ī si suami boleh melakukan li„ān
walaupun tidak melihat langsung perzinaan yang dilakukan istrinya.
Mażhab Māliki mengharuskan li„ān terhadap suami yang mendapati istri yang
telah talak ba„in melakukan perzinaan dalam masa „iddah-nya, sedangkan
menurut mażhab Syāfi„ī apabila tidak adanya kehamilan atau kelahiran anak,
maka suami tidak berhak untuk menyatakan li„ān.
B. Saran
Setelah memaparkan kesumpulan diatas, penulisan akan memberikan saran-
saran berdasarkan hasil penelitian. Saran-sarannya yaitu:
1. Bagi pasangan suami istri diharapkan agar selalu menjaga keharmonisan rumah
tangganya, apabila terjadi permasalahan dalam rumah tangga sekiranya ada
itikad baik dari kedua belah pihak dan perlunya sikap bijaksana untuk dapat
meminimalisir masalah yang ada.
2. Diharapkan bagi suami dan istri dapat menjaga aib satu sama lain, dan
menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah swt
Māliki, mażhab Syāfi‘ī dan Kompilasi Hukum Islam. Pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana konsep li‘ān menurut mażhab Māliki, mażhab Syāfi‘ī
dan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan
(library research) dengan pendekatan kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan li‘ān menurut mażhab Māliki, mażhab Syāfi‘ī
dan Kompilasi Hukum Islam.
Data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan teologis normatif dan
pendekatan yuridis normatif. Kemudian dilakukan pengutipan langsung dan tidak
langsung.
Hasil penelitian menunjukan bahwa persamaan konsep li‘ān mażhab Māliki,
mażhab Syāfi‘ī dan Kompilasi Hukum Islam yaitu: suami yang menuduh istrinya
melakukan perzinaan atau mengingkari anak dalam kandungan istrinya dan tidak
mempunyai bukti, maka suami dikenai ḥad. Namun dengan sumpah li‘ān, suami
terhindar dari hukuman ḥad. Jika suami telah bersumpah li‘ān maka istri dikenai ḥad,
namun dengan sumpah li‘ān pula istri dapat terbebas dari ḥad. Hal itu selaras dengan
pasal 126 dan pasal 127 huruf a dan b Kompilasi Hukum Islam. Orang yang
dinyatakan sah sumpahnya sah pula li‘ān-nya, li‘ān orang bisu dan orang buta juga
dianggap sah. Anak yang lahir dari pasangan yang telah melakukan li‘ān dinasabkan
kepada ibunya. Pemisahan karena li‘ān dihukumi fasakh, dengan konsekuensi
pengharaman untuk selamanya, hal itu selaras dengan pasal 125 Kompilasi Hukum
Islam. Adapun perbedaannya yaitu: penolakan sumpah li‘ān suami terhadap
tuduhannya, mażhab Syāfi‘ī menghukumi suami fasik sedangkan mażhab Māliki tidak
demikian. Mażhab Syāfi‘ī mewajibkan suami memulai li’ān, sedangkan mażhab
Māliki mensunnahkan dimulai dari suami. Mażhab Māliki mengharuskan suami
melihat langsung perbuatan zina yang dilakukan istrinya untuk dapat menyatakan
sumpah li‘ān, sedangkan mażhab Syāfi‘ī membolehkan li‘ān, kendati suami melihat
perzinaan istrinya atau tidak. Pemisahan karena li‘ān menurut mażhab Māliki terjadi
jika sumpah li‘ān suami dan istri telah selesai, hal tersebut selaras dengan pasal 127
Kompilasi Hukum Islam, sedangkan menurut mażhab Syāfi‘ī pemisahan terjadi cukup
hanya dengan sumpah li‘ān suami. Mażhab Māliki mengharuskan penolakan anak
sebelum kelahiran, sedangkan mażhab Syāfi‘ī dapat dilakukan sebelum ataupun
setelah kelahiran
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab
sebelumnya tentang konsep li„ān menurut perspektif mażhab Māliki, mażhab Syāfi„ī
dan Kompilasi Hukum Islam, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep li„ān mażhab Māliki
Tuduhan zina pun juga pengingkaran terhadap janin dari seorang suami terhadap
istrinya tanpa eksistensi bukti untuk mengafirmasi tuduhan tersebut, maka si
suami dihukumi ḥad. Ḥad dapat dihindari suami jika ia bersumpah li„ān. Pasca
sumpah li„ān suami maka istri wajib dikenai ḥad, tetapi jika istri melakukan
sumpah li„ān sebagai penyangkalan atas tuduhan suaminya, maka gugur ḥad
tersebut. Suami tidak dipandang fasik apabila ia menolak bersumpah li„ān
terhadap tuduhannya hingga ia dikenai had, jika penolakan bersumpah li„ān dari
pihak istri maka ia dikenai ḥad perzinaan. Li„ān disunnahkan untuk dimulai dari
pihak laki-laki, tetapi tidak wajib. Li„ān tetap dinyatakan sah kendati dimulai dari
pihak perempuan. Orang yang sah sumpahnya maka sah pula pernyataan li„ān-
nya, begitupun orang buta dan orang bisu dianggap sah li„ān-nya. Suami yang
menuduh istrinya berzina harus mengaku bahwa ia melihat perbuataan zina
tersebut, jika tidak demikian tidak ada kesempatan baginya untuk bersumpah
li„ān. Apabilasi suami betul melihat perbuatan perzinaan istrinya, maka ia harus
menyatakan li„ān terhadap istrinya dan ia tetap dijatuhi ḥad untuk laki-laki yang
dituduhnya.
Suami boleh melakukan li„ān jika ia mendapati istrinya berzina dalam masa
„iddah-nya pasca talak ba„in, begitu juga jika terjadi kehamilan. Penolakan nasab
(anak) harus dilakukan sebelum anak dilahirkan. Anak dari pasangan yang telah
melakukan li‟ān dinasabkan kepada ibunya. Perpisahan karena li„ān dihukumi
fasakh.
2. Konsep li„ān mażhab Syāfi„ī
Suami yang menuduh istrinya berzina tanpa disertai bukti ataupun penolakan
terhadap janin di dalam rahim istrinya dihukumi ḥad. Namun, ketika ia
melakukan sumpah li„ān maka gugur hukuman ḥad tersebut. Si istri akan dikenai
ḥad setelah suaminya melakukan sumpah li„ān atas tuduhannya, ḥad tersebut
dapat dihindari dengan melakukan sumpah li„ān. Jika suami menolak untuk
bersumpah li„ān atas tuduhannya, maka ia dihukumi ḥad dan dipandang fasik,
dalam hal penolakan bersumpah li„ān bersumber dari pihak istri maka ia dikenai
ḥad perzinaan. Sumpah li„ān wajib dimulai dari pihak laki-laki dan tidak sah
apabila dimulai dari pihak perempuan. Orang yang sah sumpahnya, maka sah
pula li„ān-nya. Orang bisu dan orang buta juga dianggap sah li„ān-nya.
Pemisahan akibat li„ān cukup dengan sumpah suami. Suami dapat melakukan
li„ān meskipun ia tidak menyebutkan telah melihat langsung perbuatan zina yang
dilakukan istrinya. Jika terdapat kehamilan dari seorang istri dimasa „iddah-nya
setelah telah ditalak ba„in oleh suamiya, maka suami boleh melakukan li„ān.
Penolakan nasab (anak) boleh dilakukan sebelum ataupun sesudah kelahiran.
Anak yang lahir dari pasangan yang telah melakukan li„ān dinasabkan kepada
ibunya. Perceraian karena li„ān dihukumi fasakh.
3. Konsep li‟ān Kompilasi Hukum Islam
Dalam pasal 125 dijelaskan bahwa li„ān menyebabkan putusnya perkawinan
antara suami istri untuk selama-lamanya. Pasal 126 menjelaskan bahwa
terjadinya li„ān dikarenakan suami menuduh istrinya berbuat zina atau
mengingkari anak baik yang sudah lahir maupun yang masih dalam kandungan,
sedangkan si istri menolak tudahan atau pengingkaran tersebut. Tata cara
pelaksanaan li„ān dijelaskan dalam pasal 127 bahwa suami bersumpah empat kali
dengan tuduhan zina atau pengingkaran anak, kemudian sumpah kelima
merupakan pernyataan laknat atas dirinya apabila yang ia maksudkan dalam
sumpah pertama sampai sumpah keempatnya merupakan kebohongan (dusta).
Kemudian, istri menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut dengan empat kali
sumpah, diikuti sumpah kelima bahwa murka Allah atas dirinya, jika tuduhan
atau pengingkaran suaminya merupakan kebenaran. Apabila pelaksanaan li„ān
tidak seperti itu, maka li„ān dianggap tidak terjadi. Pasal 128 menjelaskan bahwa
li„ān hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.
4. Persamaan
Mażhab Māliki dan mażhab Syāfi„ī sependapat bahwa seorang suami yang
menuduh istrinya berzina atau menolak janin yang ada dalam kandungan istrinya
dan ia tidak dapat mengḥadirkan saksi-saksi, maka ia dihukumi ḥad. Hukuman
ḥad ini dapat dihindari dengan melakukan sumpah li„ān maka gugur hukuman
ḥad tersebut. Dalam hal suami telah bersumpah li„ān maka istrinya dikenakan
ḥad. Ḥad tersebut akan gugur jika si istri melakukan sumpah li„ān. Apabila
suami menolak untuk bersumpah li„ān atas tuduhannya, ia dihukumi ḥad, jika
penolakan sumpah li„ān itu dari si istri maka ia dikenai ḥad perzinaan. Pendapat
mażhab Māliki dan mażhab Syāfi„ī itu selaras dengan Kompilasi Hukum Islam
pasal 126 dan pasal 127 huruf a dan b.
Mażhab Māliki dan mażhab Syāfi„ī sependapat bahwa Orang bisu juga
dinyatakan sah li„ān-nya, begitupun dengan orang buta. Persamaan selanjuntnya
yaitu anak yang lahir dari pasangan yang telah malakukan li„ān dinasabkan
kepada ibunya. Pemisahan karena li„ān dihukumi fasakh, yaitu pengharaman
bersatu kembali untuk selama-lamanya, hal itu selaras dengan Kompilasi Hukum
Islam pasal 12.
5. Perbedaan
Dalam hal penolakan bersumpah li„ān jika suami menuduh istrinya berzina atau
menolak kandungan istrinya, maka suami dikenai ḥad. Dalam hal itu mażhab
Māliki tidak memandang fasik si suami, berbeda dengan mażhab Syafi„ī yang
memandang fasik si suami.
Mażhab Māliki dan mażhab Syāfi„ī berbeda pendapat mengenai siapa yang
seharusnya memulai li‟ān. Syāfi„ī bependapat bahwa li„ān wajib dimulai dari
pihak suami dan tidak sah jika dimulai dari pihak istri. Sedangkan Māliki
berpendapat disunnahkan dimulai dari suami, namun tidak wajib. Jika dimulai
dari pihak istri, li„ān tersebut juga dianggap sah.
Pendapat mażhab Māliki bahwa pemisahan akibat li„ān baru bisa terjadi apabila
pihak suami dan istri telah melakukan li„ān, sedangkan menurut mażhab Syāfi„ī
pemisahan tersebut cukup hanya dengan sumpah li„ān suami.
Perbedaan selanjutnya yaitu tudahan li„ān suami harus dengan pengakuan bahwa
si suami melihat perzinaan yang dilakukan istrinya, demikian pendapat mażhab
Māliki, sedangkan menurut mażhab Syāfi„ī si suami boleh melakukan li„ān
walaupun tidak melihat langsung perzinaan yang dilakukan istrinya.
Mażhab Māliki mengharuskan li„ān terhadap suami yang mendapati istri yang
telah talak ba„in melakukan perzinaan dalam masa „iddah-nya, sedangkan
menurut mażhab Syāfi„ī apabila tidak adanya kehamilan atau kelahiran anak,
maka suami tidak berhak untuk menyatakan li„ān.
B. Saran
Setelah memaparkan kesumpulan diatas, penulisan akan memberikan saran-
saran berdasarkan hasil penelitian. Saran-sarannya yaitu:
1. Bagi pasangan suami istri diharapkan agar selalu menjaga keharmonisan rumah
tangganya, apabila terjadi permasalahan dalam rumah tangga sekiranya ada
itikad baik dari kedua belah pihak dan perlunya sikap bijaksana untuk dapat
meminimalisir masalah yang ada.
2. Diharapkan bagi suami dan istri dapat menjaga aib satu sama lain, dan
menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah swt
Ketersediaan
| SSYA20220063 | 63/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
63/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
