Perceraian Di Bawah Tangan Dan Dampaknya Terhadap Perkawinan Berikutnya ( Studi Komparatif Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam)
Muh. Ali Syahban/01.18.1174 - Personal Name
Skripsi ini berjudul Perceraian Di Bawah Tangan Dan Dampaknya
Bterhadap Perkawinan Berikutnya (Studi Komparatif Hukum Perdaata Dan
Kompilasi Hukum Islam). Adapun permasalahan dalam penelitian ini yaitu
Bagaimana keabsahan perceraian di bawah tangan yang di tinjau Hukum Perdata,
Bagaimana pandangan hukum terhadap perceraian di bawah tangan jika ditinjau
dari KHI dan dampak perceraian perkawinan di bawah tangan yang ditinjau dari
KHI dan hukum perdata.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library research) dengan
pendekatan normatif. Adapun sumber datanya berupa data primer dan sekunder.
Teknik pengumpulan datanya melalui metode kutipan langsung dan kutipan tidak
langsung dengan teknik analisis data kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan pertama, perceraian dibawah tangan jika
ditinjau dari sudut pandang hukum perdata tidak sah karena tidak memenuhi
prosedur hukum perkawinan yang berlaku sehingga menimbulkan cacat hukum
pada bidang pengadministrasiannya. Kedua, dari pandangan KHI terkait dengan
perceraian di bawah tangan, tidak ada pasal yang membenarkan hal tersebut
meskipun dasar berdirinya KHI dari syariat Islam sebagai upaya positifisasi hukum
Islam. Ketiga, adapun dampak dari perceraian dibawah tangan yaitu tidak adanya
dokumen yang valid tentang kapan terjadinya perceraian, perceraian yang tidak
dicatatkan di pengadilan agama berakibat tidak mendapatkan akta percaraian yang
diterbitkan oleh pengadilan agama, tidak terpeliharanya kehidupan anak, rekayasa
data instrument nikah ketika akan melaksanakan pernikahan berikutnya dan
munculnya standar ganda dalam hukum perceraian.
A. Kesimpulan
1. Kedudukan perkawinan dan perceraian dibawah tangan ditinjau dari
Hukum Islam dan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia adalah sah
apabila memenuhi rukun dan semua syarat sahnya nikah meskipun tidak
dicatatkan. Menurut ketentuan pada Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan,
sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu
perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah
dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan
pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah
terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya
perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu
dipastikan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada
Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan supaya mempunyai kekuatan hukum.
Selanjutnya akibat hukum dari perceraian di bawah tangan, meski secara
agama atau kepercayaan dianggap sah, namun peceraian yang dilakukan di
luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat 120 nikah tidak
memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah di mata
hukum Negara. Akibat hukum perkawinan dan perceraian tersebut
berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik
secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan.
2. Dari semua uraian hukum dalam pasal-pasal KHI dikemukakan
bahwasanya cerai atau talak di bawah tangan tidak akan mendapat
pengakuan dan perlindungan oleh hukum beserta akibat-akibatnya,
karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum sebab dilakukan tidak sesuai
menurut aturan hukum. Meskipun di dalam hukum Islam tidak ada
larangan secara jelas melarang perbuatan tersebut namun para ulama
sepakat lebih mengutamakan kaidah maslahah mursalah demi kebaikan
bersama.
3. Dampak dari perceraian dibawah tangan tidak adanya dokumen yang valid
tentang kapan terjadinya perceraian, perceraian yang tidak dicatatkan di
pengadilan agama berakibat tidak mendapatkan akta percaraian yang
diterbitkan oleh pengadilan agama, tidak terpeliharanya kehidupan anak,
rekayasa data instrument nikah ketika akan melaksanakan pernikahan
berikutnya dan munculnya standar ganda dalam hukum perceraian
B. Saran
1. Pelaksanaan hukum positif yang terkait dengan hukum Islam sebaiknya
didasarkan pada filosofi hukum yang dapat dipahami oleh pemuka
agama.
2. pemerintah hendaknya menyediakan Lembaga Pengadilan Agama di
setiap kota kecamatan, sehingga bisa memberikan pelayanan yang
terjangkau dari segi jarak tempuh dan murah dari segi biaya bagi
masyarakat. Kalau tidak memungkinkan maka hendaknya ada perubahan
peraturan yang memberikan kewenangan kepada KUA untuk
menyelesaikan masalah pereraian. Ketiga, diperlukan produk hukum yang
memberikan perlindungan hak hak pasca-perceraian pada pelaku cerai di
bawah tangan.
3. Sipil harus selalu melakukan sosialisasi perihal pentingnya Pencatatan
perkawianan dan pentingnya akta perkawinan kepada masyarakat
terutama kepada masyarakat yang tinggal diperdesaan. Hal ini menjadi
penting agar masyarakat mengetahui serta melaksanakan Pencatatan
perkawinan demi terwujudnya kepastian hukum.
Bterhadap Perkawinan Berikutnya (Studi Komparatif Hukum Perdaata Dan
Kompilasi Hukum Islam). Adapun permasalahan dalam penelitian ini yaitu
Bagaimana keabsahan perceraian di bawah tangan yang di tinjau Hukum Perdata,
Bagaimana pandangan hukum terhadap perceraian di bawah tangan jika ditinjau
dari KHI dan dampak perceraian perkawinan di bawah tangan yang ditinjau dari
KHI dan hukum perdata.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library research) dengan
pendekatan normatif. Adapun sumber datanya berupa data primer dan sekunder.
Teknik pengumpulan datanya melalui metode kutipan langsung dan kutipan tidak
langsung dengan teknik analisis data kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan pertama, perceraian dibawah tangan jika
ditinjau dari sudut pandang hukum perdata tidak sah karena tidak memenuhi
prosedur hukum perkawinan yang berlaku sehingga menimbulkan cacat hukum
pada bidang pengadministrasiannya. Kedua, dari pandangan KHI terkait dengan
perceraian di bawah tangan, tidak ada pasal yang membenarkan hal tersebut
meskipun dasar berdirinya KHI dari syariat Islam sebagai upaya positifisasi hukum
Islam. Ketiga, adapun dampak dari perceraian dibawah tangan yaitu tidak adanya
dokumen yang valid tentang kapan terjadinya perceraian, perceraian yang tidak
dicatatkan di pengadilan agama berakibat tidak mendapatkan akta percaraian yang
diterbitkan oleh pengadilan agama, tidak terpeliharanya kehidupan anak, rekayasa
data instrument nikah ketika akan melaksanakan pernikahan berikutnya dan
munculnya standar ganda dalam hukum perceraian.
A. Kesimpulan
1. Kedudukan perkawinan dan perceraian dibawah tangan ditinjau dari
Hukum Islam dan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia adalah sah
apabila memenuhi rukun dan semua syarat sahnya nikah meskipun tidak
dicatatkan. Menurut ketentuan pada Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan,
sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu
perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah
dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan
pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah
terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya
perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu
dipastikan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada
Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan supaya mempunyai kekuatan hukum.
Selanjutnya akibat hukum dari perceraian di bawah tangan, meski secara
agama atau kepercayaan dianggap sah, namun peceraian yang dilakukan di
luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat 120 nikah tidak
memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah di mata
hukum Negara. Akibat hukum perkawinan dan perceraian tersebut
berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik
secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan.
2. Dari semua uraian hukum dalam pasal-pasal KHI dikemukakan
bahwasanya cerai atau talak di bawah tangan tidak akan mendapat
pengakuan dan perlindungan oleh hukum beserta akibat-akibatnya,
karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum sebab dilakukan tidak sesuai
menurut aturan hukum. Meskipun di dalam hukum Islam tidak ada
larangan secara jelas melarang perbuatan tersebut namun para ulama
sepakat lebih mengutamakan kaidah maslahah mursalah demi kebaikan
bersama.
3. Dampak dari perceraian dibawah tangan tidak adanya dokumen yang valid
tentang kapan terjadinya perceraian, perceraian yang tidak dicatatkan di
pengadilan agama berakibat tidak mendapatkan akta percaraian yang
diterbitkan oleh pengadilan agama, tidak terpeliharanya kehidupan anak,
rekayasa data instrument nikah ketika akan melaksanakan pernikahan
berikutnya dan munculnya standar ganda dalam hukum perceraian
B. Saran
1. Pelaksanaan hukum positif yang terkait dengan hukum Islam sebaiknya
didasarkan pada filosofi hukum yang dapat dipahami oleh pemuka
agama.
2. pemerintah hendaknya menyediakan Lembaga Pengadilan Agama di
setiap kota kecamatan, sehingga bisa memberikan pelayanan yang
terjangkau dari segi jarak tempuh dan murah dari segi biaya bagi
masyarakat. Kalau tidak memungkinkan maka hendaknya ada perubahan
peraturan yang memberikan kewenangan kepada KUA untuk
menyelesaikan masalah pereraian. Ketiga, diperlukan produk hukum yang
memberikan perlindungan hak hak pasca-perceraian pada pelaku cerai di
bawah tangan.
3. Sipil harus selalu melakukan sosialisasi perihal pentingnya Pencatatan
perkawianan dan pentingnya akta perkawinan kepada masyarakat
terutama kepada masyarakat yang tinggal diperdesaan. Hal ini menjadi
penting agar masyarakat mengetahui serta melaksanakan Pencatatan
perkawinan demi terwujudnya kepastian hukum.
Ketersediaan
| SSYA20220278 | 278/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
278/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
