Analisis Ushul Fiqih Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)Dan Pemikiran Quraish Shihab Tentang Perkawinan Beda Agama
Arham Danuri/01.18.1070 - Personal Name
Skripsi ini berjudul Analisis Ushul Fiqih Terhadap Fatwa Majelis Ulama
Indonsia (MUI) dan Pemikiran Quraish Shihab Tentang Perkawinan Beda Agama.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana metode istinbath hukum yang
digunakan pada MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005, Pemikiran Quraish
Shihab terkait Perkawinan Beda Agama, persamaan perbedaan fatwa MUI
dengan pemikiran M. Quraish Shihab tentang perkawinan beda agama. Adapun
tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui Bagaimana metode istinbath hukum
yang digunakan pada MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005, Pemikiran Quraish
Shihab terkait Perkawinan Beda Agama, persamaan perbedaan fatwa MUI
dengan pemikiran M. Quraish Shihab tentang perkawinan beda agama.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library research) dengan
pendekatan normatif. Adapun sumber datanya berupa data primer dan sekunder.
Teknik pengumpulan datanya melalui metode kutipan langsung dan kutipan tidak
langsung dengan teknik analisis data kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan pertama, Metode istinbath hukum yang
digunakan MUI tentang perkawinan beda agama yaitu menggunakan metodelogi
ta’lily, yakni dengan memperhatikan aspek maslahah; kedua, Pemikiran Quraish
Shihab terkait perkawinan beda agama dalam kondisi saat ini membolehkan
perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim (Ahl al-kitāb); ketiga,
Persamaan Fatwa MUI dengan Pemikiran M. Quraish Shihab Tentang
Perkawinan Beda Agama yaitu haram secara mutlak dan tidak sah secara syar’i;
dan keempat, Perbedaan fatwa MUI dengan Quraish Shihab tentang perkawinan
beda agama MUI dalam menanggapi perkawinan dengan wanita musyrik ataupun
sebaliknya adalah haram dan tidak sah sedangkan Quraish Shihab agama
membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim (Ahl al-
kitāb).
A. Kesimpulan
1. Metode istinbath hukum yang digunakan MUI tentang perkawinan beda
agama yaitu menggunakan metodelogi ta’lily, yakni dengan memperhatikan aspek
maslahah, baik yang termasuk peringatan
daruriyyah (primer), hijiyah (Sekunder), maupun tassiniyah (tersier).
Pendekatan ini hampir selalu digunakan oleh MUI dalam membahas
masalah-masalah kontemporer, sebagai akibat berkembangya ilmu
pengetahuan dan teknologi.
2. Pemikiran Quraish Shihab terkait perkawinan beda agama dalam kondisi
saat ini membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita
non muslim (Ahl al-kitāb). Kebolehan ini menurutnya adalah sebagai
jalan keluar kebutuhan mendesak, dimana kaum muslim sering bepergian
jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, dan
sekaligus juga untuk tujuan dakwah.
3. Persamaan Fatwa MUI dengan Pemikiran M. Quraish Shihab Tentang
Perkawinan Beda Agama pertama, antara fatwa MUI dan Quraish
Shihab serta pendapat imam madzhab yang lainnya mengakui bahwa
perkawinan yang terjadi antara pria muslim dengan wanita musyrik
ataupun sebaliknya, adalah haram secara mutlak dan tidak sah secara
syar’i.
Kedua, dalam proses penggalian dan penelusuran nash-nash metode
istinbath hukum, dalil yang digunakan adalah al-Qur’an dan hadis.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun Quraish Shihab sama-sama
menggunakan dasar Ayat 221 dari surat Al-Baqarah.
4. Perbedaan fatwa MUI dengan Quraish Shihab tentang perkawinan beda
agama MUI dalam menanggapi perkawinan dengan wanita musyrik
ataupun sebaliknya adalah haram dan tidak sah. Demikian juga
perkawinan antara
laki-laki muslim dengan wanita Ahl al-Kitab.
Meskipun dalam QS. Al-Maidah ayat 5 dinyatakan kebolehan menikah
dengan wanita Ahl al-Kitab, namun MUI tetap menyatakan bahwa
perkawinan semacam ini tidak sah. Sedangkan Quraish Shihab terkait
perkawinan beda agama membolehkan perkawinan antara pria muslim
dengan wanita non muslim (Ahl al-kitāb). Kebolehan ini menurutnya
adalah sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak, dimana kaum muslim
sering bepergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke
keluarga mereka, dan sekaligus juga untuk tujuan dakwah.
B. Saran
Berdasarkan penelitian dan kesimpulan diatas, maka penulis
menyarankan sebagai berikut:
1. Bagi pasangan
Seorang laki-laki yang memutuskan untuk menikahi wanita ahli kitab
harusnya memahami konsep ahl kitab terlebih dulu seperti, yang
dimaksudkan dalam surah al-Maidah: 5.
2. Bagi penelitian selanjutnya
Diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat mengumpulkan data
yang lebih banyak dan mendetail, sehingga dapat menunjang penelitian
yang dilakukan.
Indonsia (MUI) dan Pemikiran Quraish Shihab Tentang Perkawinan Beda Agama.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana metode istinbath hukum yang
digunakan pada MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005, Pemikiran Quraish
Shihab terkait Perkawinan Beda Agama, persamaan perbedaan fatwa MUI
dengan pemikiran M. Quraish Shihab tentang perkawinan beda agama. Adapun
tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui Bagaimana metode istinbath hukum
yang digunakan pada MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005, Pemikiran Quraish
Shihab terkait Perkawinan Beda Agama, persamaan perbedaan fatwa MUI
dengan pemikiran M. Quraish Shihab tentang perkawinan beda agama.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library research) dengan
pendekatan normatif. Adapun sumber datanya berupa data primer dan sekunder.
Teknik pengumpulan datanya melalui metode kutipan langsung dan kutipan tidak
langsung dengan teknik analisis data kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan pertama, Metode istinbath hukum yang
digunakan MUI tentang perkawinan beda agama yaitu menggunakan metodelogi
ta’lily, yakni dengan memperhatikan aspek maslahah; kedua, Pemikiran Quraish
Shihab terkait perkawinan beda agama dalam kondisi saat ini membolehkan
perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim (Ahl al-kitāb); ketiga,
Persamaan Fatwa MUI dengan Pemikiran M. Quraish Shihab Tentang
Perkawinan Beda Agama yaitu haram secara mutlak dan tidak sah secara syar’i;
dan keempat, Perbedaan fatwa MUI dengan Quraish Shihab tentang perkawinan
beda agama MUI dalam menanggapi perkawinan dengan wanita musyrik ataupun
sebaliknya adalah haram dan tidak sah sedangkan Quraish Shihab agama
membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim (Ahl al-
kitāb).
A. Kesimpulan
1. Metode istinbath hukum yang digunakan MUI tentang perkawinan beda
agama yaitu menggunakan metodelogi ta’lily, yakni dengan memperhatikan aspek
maslahah, baik yang termasuk peringatan
daruriyyah (primer), hijiyah (Sekunder), maupun tassiniyah (tersier).
Pendekatan ini hampir selalu digunakan oleh MUI dalam membahas
masalah-masalah kontemporer, sebagai akibat berkembangya ilmu
pengetahuan dan teknologi.
2. Pemikiran Quraish Shihab terkait perkawinan beda agama dalam kondisi
saat ini membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita
non muslim (Ahl al-kitāb). Kebolehan ini menurutnya adalah sebagai
jalan keluar kebutuhan mendesak, dimana kaum muslim sering bepergian
jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, dan
sekaligus juga untuk tujuan dakwah.
3. Persamaan Fatwa MUI dengan Pemikiran M. Quraish Shihab Tentang
Perkawinan Beda Agama pertama, antara fatwa MUI dan Quraish
Shihab serta pendapat imam madzhab yang lainnya mengakui bahwa
perkawinan yang terjadi antara pria muslim dengan wanita musyrik
ataupun sebaliknya, adalah haram secara mutlak dan tidak sah secara
syar’i.
Kedua, dalam proses penggalian dan penelusuran nash-nash metode
istinbath hukum, dalil yang digunakan adalah al-Qur’an dan hadis.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun Quraish Shihab sama-sama
menggunakan dasar Ayat 221 dari surat Al-Baqarah.
4. Perbedaan fatwa MUI dengan Quraish Shihab tentang perkawinan beda
agama MUI dalam menanggapi perkawinan dengan wanita musyrik
ataupun sebaliknya adalah haram dan tidak sah. Demikian juga
perkawinan antara
laki-laki muslim dengan wanita Ahl al-Kitab.
Meskipun dalam QS. Al-Maidah ayat 5 dinyatakan kebolehan menikah
dengan wanita Ahl al-Kitab, namun MUI tetap menyatakan bahwa
perkawinan semacam ini tidak sah. Sedangkan Quraish Shihab terkait
perkawinan beda agama membolehkan perkawinan antara pria muslim
dengan wanita non muslim (Ahl al-kitāb). Kebolehan ini menurutnya
adalah sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak, dimana kaum muslim
sering bepergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke
keluarga mereka, dan sekaligus juga untuk tujuan dakwah.
B. Saran
Berdasarkan penelitian dan kesimpulan diatas, maka penulis
menyarankan sebagai berikut:
1. Bagi pasangan
Seorang laki-laki yang memutuskan untuk menikahi wanita ahli kitab
harusnya memahami konsep ahl kitab terlebih dulu seperti, yang
dimaksudkan dalam surah al-Maidah: 5.
2. Bagi penelitian selanjutnya
Diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat mengumpulkan data
yang lebih banyak dan mendetail, sehingga dapat menunjang penelitian
yang dilakukan.
Ketersediaan
| SSYA20220071 | 71/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
71/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
