Peran Konseling P2TP2A dalam PERMA Nomor 5 Tahun 2019 Terhadap Pertimbangan Hakim Tentang Dispensasi Nikah (Studi pada Kantor P2TP2A dan Pengadilan Agama Kelas IA Watampone

No image available for this title
Skripsi ini membahas tentang Peran Konseling P2TP2A dalam PERMA Nomor 5
Tahun 2019 Terhadap Pertimbangan Hakim Tentang Dispensasi Nikah (Studi pada
Kantor P2TP2A dan Pengadilan Agama Kelas IA Watamone). Penelitian bertujuan
untuk mengetahui problematika tingginya angka pernikahan di bawah umur melalui
mekanisme konseling pernikahan oleh P2TP2A dan Dispenasi nikah oleh Pengadilan
Agama Kelas IA Watampone.
Untuk memperoleh data dari masalah tersebut, penulis melakukan penelitian lapangan
(field research) yang menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris dengan melalui teknik observasi, wawancara dan
dokumentasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif
kualitatif dengan tiga tahap yaitu tahap reduksi data, penyajian data, dan verifikasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Peran konseling oleh pihak P2TP2A seyoggianya
tidak berjalan sesuai dengan tujuan daripada perkawinan yang termaktub dalam
Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 16
Tahun 2019 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam). Kompetensi hakim dalam putusan
perkara dispensasi nikah seolah-olah hilang sebab kewenangannya secara yuridis-
empiris diambil alih oleh pihak Lembaga P2TP2A dengan tidak memberikan
rekomendasi nikah sehingga perkara pemohon yang dilimpahkan ke Pengadilan
Agama Kelas IA Watampone tertolak di PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) padahal
bisa atau tidaknya menikah pemohon di bawah umur mutlak menjadi kompetensi
hakim pengadilan.
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di bab sebelumnya, penulis dapat
menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Peran konseling oleh pihak P2TP2A seyoggianya tidak berjalan sesuai dengan
tujuan daripada perkawinan yang termaktub dalam dalam Undang-undang
perkawinan No. 1 Tahun 1974 jo Undang-undang No. 16 Tahun 2019 dan KHI
(Kompilasi Hukum Islam). Hal ini disebabkan mekanisme konseling nikah
dibawah umur yang diterapkan belum mampu menjawab secara maksimal
problematika pernikahan anak sebab pihak lembaga P2TP2A hanya melihat
aturan pada satu sisi saja tanpa melihat dengan serius dan mendalam kondisi
pemohon serta beberapa faktor yang lain yang mempengaruhi banyak anak di
bawah umur melakukan pengajuan dispensasi nikah. Lembaga P2TP2A yang
memberikan rekomendasi nikah hanya pada pemohon yang sudah dalam keadaan
darurat menurut versi lembaga yaitu hamil. Pemberian rekomendasi nikah untuk
mendapatkan dispensasi nikah dengan alasan harus hamil terlebih dahulu tidak
sesuai dengan mekanisme yang mengatur perihal pengajuan dispensasi nikah
yaitu PERMA No. 5 Tahun 2019 tentang pedoman mengadili permohonan
dispensasi nikah. Sebab aturan yang ada, tidak memberikan penjelasan secara
eksplisit bahwa pemohon harus hamil baru bisa mendapatkan rekomendasi dan
dispensasi nikah namun hanya memberikan pertimbangan terbaik bagi pemohon
yang dalam artian permohonannya bisa saja ditolak dan juga bisa diterima
tergantung kondisi pemohon. Sehingga lembaga P2TP2A tidak boleh menolak
memberikan rekomendasi nikah bagi pemohon karena tidak hamil dengan alasan
mendukung program pemerintah dalam mencegah angka perkawinan usia dini
atau dibawah umur. Sehingga perlu untuk melakukan koordinasi multi pihak
yang berkompeten dalam hal ini untuk merumuskan kembali mekanisme
konseling nikah dibawah umur. Angka pernikahan dibawah umur di Indonesia
terbilang tinggi yang dimana angka pertumbuhannya di atas rata-rata nasional
bahkan menempati urutan ke-10 dunia. Secara khusus pernikahan anak dibawah
umur di kab. Bone juga terbilang tinggi yang sejak 3 tahun terakhir mencapai 463
anak dengan rincian selama tahun 2021 sebanyak 62 orang mengajukan
permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Kelas IA Watampone.
Jumlah diatas di luar daripada pemohon yang tidak mendapatkan rekomendasi
dari pihak P2TP2A sehingga permohonan pemohon tertolak di POSBAKUM
pengadilan agama setempat.
2. Kewenangan hakim dalam putusan perkara dispensasi nikah seolah-olah hilang
sebab kewenangannya secara yuridis-empiris diambil alih oleh pihak Lembaga
P2TP2A dengan tidak memberikan rekomendasi nikah sehingga perkara
pemohon yang dilimpahkan ke Pengadilan Agama Kelas IA Watampone tertolak
di PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) padahal bisa atau tidaknya menikah
pemohon di bawah umur mutlak menjadi kompetensi hakim pengadilan.
Mekanisme yang tampak tumpang tindih ini membuat hakim kebingungan sebab
tingginya angka pernikahan dibawah umur yang terjadi justru membuat
kemerdekaan hakim hilang dan menjadi sebab tingginya angka pernikahan
dibawah umur kian merajalela padahal fakta di lapangan hakim tidak diberikan
kewenangan menangani perkaran sebagaimana yang diatur dalam PERMA No.
5 Tahun 2019. Atas apa yang terjadi di lapangan pengembalian tugas dan
wewenang hakim dalam permasalahan pernikahan dibawah umur harus di
selesaikan oleh hakim bukan pihak luar kalaupun ada bentuk Kerjasama
sebagaimana yang dikatakan oleh hakim dalam bentuk MoU antara PEMDA dan
Pengadilan Agama Kelas IA Watampone maka Lembaga lain di luar struktural
Lembaga yudikatif hanya boleh menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur
dalam PERMA No. 5 Tahun 2019.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis peneliti terhadap setiap data penelitian dan hasil
wawancara yang dilakukan, maka dengan segala kerendahan hati dan permohonan
maaf kepada multi pihak penulis menyarankan beberapa hal terkait penelitian ini
sebagai berikut :
1. Demi tercapainya tujuan pemerintah dalam hal ini PEMDA kab. Bone maka
perlu adanya pembahasan ulang ataupun yudisial review terhadap keinginan
pemerintah dalam menekan angka pernikahan dibawah umur di kab. Bone
dengan memanggil pihak PEMDA, Pengadilan agama, KUA kecamatan, para
advokat serta tokoh budaya yang paham akan konsep siri’ sebab salah satu alas
an orang tua menikahkan anaknya adalah demi menutupi aib keluarga.
Pembahasan yang kritis dalam forum tersebut tentunya akan melahirkan berbagai
sudut pandang yang nantinya menjadi rujukan dalam mekanisme pencegahan
pernikahan dibawah umur.
2. Pihak Lembaga P2TP2A tidak boleh menolak ataupun memberikan rekomendasi
nikah bagi pemohon konseling nikah, namun hanya memberikan pertimbangan-
pertimbangan terbaik bagi pemohon yang hasil konselingnya diberikan kepada
pihak pengadilan agama agar menjadi salah satu rujukan dalam memberikan
putusan dispensasi nikah sebab telah menjadi kewenangan mutlak pihak
pengadilan agama dalam hal ini adalah hakim, sehingga hakim dapat
memutuskan perkara pemohon dengan berbagai sudut pandang sesuai dengan
amanat PERMA No. 5 Tahun 2019 tentang tata cara mengadili permohonan
dispensasi nikah.
3. Pengadilan Agama Watampone Kelas IA khususnya dalam hal ini ketua
pengadilan sebaiknya tidak menolak berkas permohonan dispensasi nikah oleh
pihak POSBAKUM sebab sepengetahuan penulis setiap para pencari keadilan
yang datang untuk mencari keadilan tidak boleh ditolak selama prosedur yang
ada tidak dilanggar oleh pemohon dan sesuai dengan administrasi maka berkas
pemohon harus diterima dan akan menjadi tanggung jawab hakim dalam
memberikan putusan agar pemohon mendapatkan asas kepastian hukum, asas
keadilan hukum dan asas kemanfaatan hukum. Kepastian hukum apakah
pemohon bisa menikah atau tidak setidaknya memberikan sedikit pemahaman
kepada pemohon terhadap dampak atau resiko yang akan mereka hadapi baik
pemohon menikah atau tidak. Ketuk palu yang dilakukan oleh hakim tentu akan
memberikan keadilan bagi pemohon tentunya dengan putusan dan pertimbangan
yang seadil-adilnya dengan catatan tentu ada resiko yang akan dihadapi. Dengan
adanya kepastian dan keadilan hukum maka, pemohon akan merasakan manfaat
daripada hukum itu sendiri meskipun dalam teori hukum tidak mungkin ketiga
hal diatas dapat dirasakan langsung secara bersamaan oleh pemohon namun
paling tidak itulah yang dinginkan oleh pemohon dan tujuan daripada hukum itu
sendiri.
Terakhir yang menjadi saran dari penulis adalah pelibatan multi pihak untuk
selalu berkoordinasi atau bersemuka dalam satu forum untuk mengentaskan
permasalahan pernikahan anak dibawah umur misalkan setiap 3 bulan sekali ada focus
grup discussion untuk melihat perkembangan tiap kecamatan terhadap jumlah
pernikahan anak dibawah umur sekaligus bisa menindaklanjuti terkait tingginya angka
perceraian di kab. Bone serta solusi untuk meminimalisir angka perceraian yang terjadi.
Dimana rata-rata angka perceraian yang terjadi juga sedikit banyaknya kalangan
kawula muda umur rentang 20 tahunan.
Ketersediaan
SSYA20220219219/2022Perpustakaan PusatTersedia
Informasi Detil
Judul Seri

-

No. Panggil

219/2022

Penerbit

IAIN BONE : Watampone.,

Deskripsi Fisik

-

Bahasa

Indonesia

ISBN/ISSN

-

Klasifikasi

Skripsi Syariah

Informasi Detil
Tipe Isi

-

Tipe Media

-

Tipe Pembawa

-

Edisi

-

Info Detil Spesifik

-

Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain

Advanced Search

Gak perlu repot seting ini itu GRATIS SetUp ,Mengonlinekan SLiMS Di Internet Karena pesan web di Desawarna.com Siap : 085740069967

Pilih Bahasa

Gratis Mengonlinekan SLiMS

Gak perlu repot seting ini itu buat mengonlinekan SLiMS.
GRATIS SetUp ,Mengonlinekan SLiMS Di Internet
Karena pesan web di Desawarna.com
Kontak WhatsApp :

Siap : 085740069967

Template Perpustakaan Desawarna

Kami berharap Template SLiMS ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai template SLiMS bagi semua SLiMerS, serta mampu memberikan dukungan dalam pencapaian tujuan pengembangan perpustakaan dan kearsipan.. Aamiin

Top