Analisis pelaksanaan lelang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 27/pmk.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
Andi Herfan Arbain Patahan/01.18.4040i - Personal Name
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit. Untuk mendapatkan
pembiayaan, nasabah harus memiliki aset yang bisa digunakan sebagai jaminan. Jika
terjadi wanprestasi, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan lelang jaminan pada kasus
gugatan wanprestasi nasabah terhadap kreditur Bank BRI (KC) Watampone Tahun
2020.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris.
Metode yuridis normatif yaitu penelitian terhadap permasalahan yang dirumuskan
dengan mempelajari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan permasalahan, membandingkan dengan penerapan hukum dan peraturan di
dalam masyarakat.Sifat penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian deskriptif
analitis yang merupakan penelitian yang menggambarkan masalah dengan cara
menjabarkan fakta secara sistematik, faktual dan akurat.
Merujuk rumusan Pasal 6 UUHT, proses eksekusi dapat dilakukan tanpa
campur tangan pengadilan. Dengan kata lain, tidak perlu meminta fiat eksekusi dari
Ketua Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 20 Ayat (1) huruf a dan b serta Ayat (2)
UUHT. Berdasarkan teori jaminan, adanya agunan memberikan kepastian hukum
bagi kreditur. Kepastian bagi kreditur adalah kepastian untuk menerima
pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur. Sedangkan bagi debitur adalah
kepastian untuk mengembalikan pokok kredit dan bunga dari debitur.Dalam
praktiknya untuk mewujudkan prinsip keadilan pada lelang hak tanggungan, maka
pelaksanaannya haruslah menerapkan keadilan procedural yang diharapkan akan
menimbulkan keadilan terhadap pemohon lelang (kreditur), pemilik objek lelang
(debitur) dan pembeli objek lelang, namun dari kejadian lelang BRI, debitur
menyatakan bahwa proses pelelangannya hanya rekayasa dikarenakan diantaranya
terdapat pasal dalam Permen yang tidak dijalankan dengan benar sehingga
pelelangan surat direkayasa dan kesalahan objek lelang.
A. Kesimpulan
Merujuk rumusan Pasal 6 UUHT, proses eksekusi dapat dilakukan tanpa
campur tangan pengadilan. Dengan kata lain, tidak perlu meminta fiat eksekusi
dari Ketua Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 20 Ayat (1) huruf a dan b serta Ayat
(2) UUHT, eksekusi atas benda jaminan Hak Tanggungan dapat ditempuh melalui
3 (tiga) cara yang dapat digunakan oleh kreditur untuk mengeksekusi obyek
jaminan hak tanggungan jika debitur cidera janji (wanprestasi), yaitu:
1. Parate Eksekusi
Eksekusi Hak Tanggungan melalui instrument Parate Eksekusi ini adalah
pelaksanaan lelang terhadap obyek hak tanggungan yang tidak memerlukan fiat
Pengadilan tetapi dapat dilakukan langsung oleh Kantor Lelang Negara. Parate
Eksekusi artinya menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi
haknya tanpa perantara hakim. Menjual atas kekuasaan sendiri tersebut
diartikan bahwa penjualan dilakukan menurut cara yang diatur dalam Pasal
1211 KUHPerdata.
2. Titel Eksekutorial
Ketentuan-ketentuan UUHT sebgaian mengadopsi ketentuan hipotik,
sehinggagrosse akta hipotik yang memiliki irah-irah dengan kata-kata “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” irah sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 224HIR/258RBg mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan Keputusan Pengadilan yang tetap.
3. Eksekusi melalui penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan
76
atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan.
Pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan atas alasan cidera janji tidak
digantungkan pada jatuh tempo perjanjian pembiayaan. Pasal 6 dan Pasal 20
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak menjelaskan faktor cidera janji,
hanya menegaskan cidera janji menjadi dasar bagi pemegang hak tanggungan
untuk melaksanakan haknya menjual obyek hak tanggungan.
Dalam kasus wanprestasi ini, pihak Bank melakukan persiapan lelang karena
dianggap memenuhi syarat lelang, yaitu kolektibilitas pinjaman Macet. Berdasarkan
Risalah Lelang Nomor 045/2014 tertanggal 04-04-2014, yang mana debitur dalam hal
ini Pak Djasdar pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang Pembantu BTC
Bobe, yang menerima fasilitas kredit KPR pada tanggal 16 Desember 2010, dengan
nilai Rp 1.125.000.000,- dan dengan uang muka Rp 225.000.000,- (sisa harga Ruko
belum terbayar sebesar Rp 900.000.000,-). Kredit ini dianggap bermasalah dan
dipandang oleh pihak BRI adalah sudah tidak lancer pembayarannya atau kredit
macet, yang mana sisa hutang pokok pet unit adalah sebesar Rp 858.969.231,- maka
pihak Bank BRI melakukan lelang jaminan kredit tersebut dengan harga per unit
hanya sebesar Rp 1.081.000.000, sesuai kutipan risalah lelang nomor 045/2014,
tanggal 12 Maret 2014 sehingga lelang kedua Ruko tersebut adalah totalnya sebesar
Rp 2.162.000.000,-
Dari kejadian lelang tersebut, debitur menyatakan bahwa proses pelelangannya
hanya rekayasa dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Risalah Lelang tidak diawali kalimat dengan ira-ira: “Demi Berketuhanan
Yang Maha Esa” (sesuai PERMEN no.106/PMK.06/2013 pada tanggal 26-
07-2013
2. Ada beberapa pasal dalam Permen yang tidak dijalankan dengan benar
sehingga pelelangan surat direkayasa.
3. Penawar lelang dan yang mengikuti lelang hanya 1 (satu) orang dan dengan
sendirinya memenangkan lelang, sesuai dengan pernyataan pemenang
lelang
4. Objek lelang keliru, karena yang dilelang bukan yang dijadikan agunan
(jaminan)
5. Jangka waktu kredit berakhir ketika Desember 2020, namun agunan sudah
dilelang pada Maret 2014
6. Pada saat pelelangan masih ada hak debitur, yaitu uang sisa hasil lelang
atas pengurangan pinjaman debitur namun tidak diserahkan serta uang
asuransi kebakaran dan asuransi jiwa yang saat ini tidak diketahui sudah
dibukukan atau belum sebagaimana diatur dalam Pasal 74 poin (3)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.106/PMK.06/2013.
7. Setelah lelang objek dilakukan, pihak Bank dan Pemenang Lelang langsung
melakukan pembongkaran terhadap Ruko.
B. Saran
Dalam membuat perjanjian juga harus berlandaskan kepada iktikad baik.
Prinsip ini tertuang dalam ketentuan Pasal 1338 Ayat (3) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad
baik. Prinsip iktikad baik ini merupakan pembatasan asas kebebasan berkontrak
agar para pihak dalam membuat perjanjian tidak bermaksud “membohongi”,
“menipu”, atau “mencurangi” mitranya. Hal ini cukup beralasan karena iktikad
baik merupakan landasan utama dari dan dalam membuat dan melaksanakan
sebuah perjanjian.
Sehingga perjanjian itu nantinya dapat dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya oleh para pihak yang bersangkutan dalam perjanjian tersebut. Iktikad baik
ini dapat dibedakanatas iktikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan
hukum atau perjanjian, dan iktikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan
kewajiban yang timbul dari hubungan hukum atau perjanjian tersebut. Iktikad baik
pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau perjanjian tidak lain adalah
perkiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan bahwa syarat-syarat yang
diperlukan untuk mengadakan hubungan hukum atau perjanjian secara sah
menurut hukum sudah terpenuhi semuanya. Inilah yang dinamakan dengan
“kejujuran”. Adapun iktikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan
kewajiban yang timbul karena hubungan hukum atau perjanjian tidak lain
daripada iktikad baik pada waktu melaksanakan hubungan hukum atau perjanjian
yang telah dibuat tersebut.
simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit. Untuk mendapatkan
pembiayaan, nasabah harus memiliki aset yang bisa digunakan sebagai jaminan. Jika
terjadi wanprestasi, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan lelang jaminan pada kasus
gugatan wanprestasi nasabah terhadap kreditur Bank BRI (KC) Watampone Tahun
2020.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris.
Metode yuridis normatif yaitu penelitian terhadap permasalahan yang dirumuskan
dengan mempelajari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan permasalahan, membandingkan dengan penerapan hukum dan peraturan di
dalam masyarakat.Sifat penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian deskriptif
analitis yang merupakan penelitian yang menggambarkan masalah dengan cara
menjabarkan fakta secara sistematik, faktual dan akurat.
Merujuk rumusan Pasal 6 UUHT, proses eksekusi dapat dilakukan tanpa
campur tangan pengadilan. Dengan kata lain, tidak perlu meminta fiat eksekusi dari
Ketua Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 20 Ayat (1) huruf a dan b serta Ayat (2)
UUHT. Berdasarkan teori jaminan, adanya agunan memberikan kepastian hukum
bagi kreditur. Kepastian bagi kreditur adalah kepastian untuk menerima
pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur. Sedangkan bagi debitur adalah
kepastian untuk mengembalikan pokok kredit dan bunga dari debitur.Dalam
praktiknya untuk mewujudkan prinsip keadilan pada lelang hak tanggungan, maka
pelaksanaannya haruslah menerapkan keadilan procedural yang diharapkan akan
menimbulkan keadilan terhadap pemohon lelang (kreditur), pemilik objek lelang
(debitur) dan pembeli objek lelang, namun dari kejadian lelang BRI, debitur
menyatakan bahwa proses pelelangannya hanya rekayasa dikarenakan diantaranya
terdapat pasal dalam Permen yang tidak dijalankan dengan benar sehingga
pelelangan surat direkayasa dan kesalahan objek lelang.
A. Kesimpulan
Merujuk rumusan Pasal 6 UUHT, proses eksekusi dapat dilakukan tanpa
campur tangan pengadilan. Dengan kata lain, tidak perlu meminta fiat eksekusi
dari Ketua Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 20 Ayat (1) huruf a dan b serta Ayat
(2) UUHT, eksekusi atas benda jaminan Hak Tanggungan dapat ditempuh melalui
3 (tiga) cara yang dapat digunakan oleh kreditur untuk mengeksekusi obyek
jaminan hak tanggungan jika debitur cidera janji (wanprestasi), yaitu:
1. Parate Eksekusi
Eksekusi Hak Tanggungan melalui instrument Parate Eksekusi ini adalah
pelaksanaan lelang terhadap obyek hak tanggungan yang tidak memerlukan fiat
Pengadilan tetapi dapat dilakukan langsung oleh Kantor Lelang Negara. Parate
Eksekusi artinya menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi
haknya tanpa perantara hakim. Menjual atas kekuasaan sendiri tersebut
diartikan bahwa penjualan dilakukan menurut cara yang diatur dalam Pasal
1211 KUHPerdata.
2. Titel Eksekutorial
Ketentuan-ketentuan UUHT sebgaian mengadopsi ketentuan hipotik,
sehinggagrosse akta hipotik yang memiliki irah-irah dengan kata-kata “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” irah sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 224HIR/258RBg mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan Keputusan Pengadilan yang tetap.
3. Eksekusi melalui penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan
76
atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan.
Pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan atas alasan cidera janji tidak
digantungkan pada jatuh tempo perjanjian pembiayaan. Pasal 6 dan Pasal 20
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak menjelaskan faktor cidera janji,
hanya menegaskan cidera janji menjadi dasar bagi pemegang hak tanggungan
untuk melaksanakan haknya menjual obyek hak tanggungan.
Dalam kasus wanprestasi ini, pihak Bank melakukan persiapan lelang karena
dianggap memenuhi syarat lelang, yaitu kolektibilitas pinjaman Macet. Berdasarkan
Risalah Lelang Nomor 045/2014 tertanggal 04-04-2014, yang mana debitur dalam hal
ini Pak Djasdar pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang Pembantu BTC
Bobe, yang menerima fasilitas kredit KPR pada tanggal 16 Desember 2010, dengan
nilai Rp 1.125.000.000,- dan dengan uang muka Rp 225.000.000,- (sisa harga Ruko
belum terbayar sebesar Rp 900.000.000,-). Kredit ini dianggap bermasalah dan
dipandang oleh pihak BRI adalah sudah tidak lancer pembayarannya atau kredit
macet, yang mana sisa hutang pokok pet unit adalah sebesar Rp 858.969.231,- maka
pihak Bank BRI melakukan lelang jaminan kredit tersebut dengan harga per unit
hanya sebesar Rp 1.081.000.000, sesuai kutipan risalah lelang nomor 045/2014,
tanggal 12 Maret 2014 sehingga lelang kedua Ruko tersebut adalah totalnya sebesar
Rp 2.162.000.000,-
Dari kejadian lelang tersebut, debitur menyatakan bahwa proses pelelangannya
hanya rekayasa dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Risalah Lelang tidak diawali kalimat dengan ira-ira: “Demi Berketuhanan
Yang Maha Esa” (sesuai PERMEN no.106/PMK.06/2013 pada tanggal 26-
07-2013
2. Ada beberapa pasal dalam Permen yang tidak dijalankan dengan benar
sehingga pelelangan surat direkayasa.
3. Penawar lelang dan yang mengikuti lelang hanya 1 (satu) orang dan dengan
sendirinya memenangkan lelang, sesuai dengan pernyataan pemenang
lelang
4. Objek lelang keliru, karena yang dilelang bukan yang dijadikan agunan
(jaminan)
5. Jangka waktu kredit berakhir ketika Desember 2020, namun agunan sudah
dilelang pada Maret 2014
6. Pada saat pelelangan masih ada hak debitur, yaitu uang sisa hasil lelang
atas pengurangan pinjaman debitur namun tidak diserahkan serta uang
asuransi kebakaran dan asuransi jiwa yang saat ini tidak diketahui sudah
dibukukan atau belum sebagaimana diatur dalam Pasal 74 poin (3)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.106/PMK.06/2013.
7. Setelah lelang objek dilakukan, pihak Bank dan Pemenang Lelang langsung
melakukan pembongkaran terhadap Ruko.
B. Saran
Dalam membuat perjanjian juga harus berlandaskan kepada iktikad baik.
Prinsip ini tertuang dalam ketentuan Pasal 1338 Ayat (3) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad
baik. Prinsip iktikad baik ini merupakan pembatasan asas kebebasan berkontrak
agar para pihak dalam membuat perjanjian tidak bermaksud “membohongi”,
“menipu”, atau “mencurangi” mitranya. Hal ini cukup beralasan karena iktikad
baik merupakan landasan utama dari dan dalam membuat dan melaksanakan
sebuah perjanjian.
Sehingga perjanjian itu nantinya dapat dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya oleh para pihak yang bersangkutan dalam perjanjian tersebut. Iktikad baik
ini dapat dibedakanatas iktikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan
hukum atau perjanjian, dan iktikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan
kewajiban yang timbul dari hubungan hukum atau perjanjian tersebut. Iktikad baik
pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau perjanjian tidak lain adalah
perkiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan bahwa syarat-syarat yang
diperlukan untuk mengadakan hubungan hukum atau perjanjian secara sah
menurut hukum sudah terpenuhi semuanya. Inilah yang dinamakan dengan
“kejujuran”. Adapun iktikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan
kewajiban yang timbul karena hubungan hukum atau perjanjian tidak lain
daripada iktikad baik pada waktu melaksanakan hubungan hukum atau perjanjian
yang telah dibuat tersebut.
Ketersediaan
| SSYA20220279 | 279/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
279/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
