Penerapan Undang-Undang Negara Republik Indonesia No 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Korban Kekerasan Seksual Peserta Didik di Kabupaten Bone.
Ulva Alfianita/01.18.4157 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Penerapan Undang-Undang Negara Republik
Indonesia No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Terhadap Korban Kekerasan
Seksual Peserta Didik di Kabupaten Bone.
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Penanganan Hukum terhadap korban kekerasan seksual peserta didik di Kabupaten
Bone dan kendala apa yang di hadapi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak dalam menangani kasus kekerasan seksual di Kabupaten Bone.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif (Qualitatif Research), pendekatan
dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif-empiris. Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah observasi, wawancara dan dokumentasi, data yang diperoleh
kemudian di analisis dengan menggunakan metode analisis desktriptif kualitatif.
Hasil penelitian menujukkan bahwa, pertama; Perlindungan hukum terhadap
Kekerasan / pelecehan seksuak peserta didik di Kabupaten Bone sudah dilakukan
secara maksimal oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Kabupaten Bone. Meskipun setiap tahunnya selalu terjadi kasus kekerasan /
pelecehan seksual peserta didik namun berbagai upaya telah dilakukan oleh Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar mencegah hal tersebut. Salah
satu upaya yang dilakukan DP3A adalah membentuk sebuah Forum Anak yang di
selenggarakan pada bulan Mei 2022. Upaya yang dilakukan Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak dalam upaya perlindungan hukum anak korban
kekerasan seksual dilakukan melalui proses pendampingan yang datang langsung
kerumah korban dan keluarga korban serta memberikan pendampingan yang sesuai
kebutuhan korban. Namun, dalam perjalanannya ada kendala-kendala yang terjadi
dalam upaya perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual,
diantaranya kurangnya sumber daya manusia, kurangnya fasilitas penunjang
kebutuhan korban dan minimnya pemahaman masyarakat dalam perlindungan hak-
hak anak.
A. Kesimpulan
1. Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual menurut
hukum positif adalah harus berdasarkan pancasila dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya. Karena itu,
perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan
perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai mahluk individu
dan mahluk sosial, dalam wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi
semangat kekeluargaan dan tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Upaya perlindungan hukum yang dilakukan Dinas pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak korban kekerasan seksual dilakukan
melalui proses pendampingan pada korban yang terdiri dari pendampingan
yuridis atau pendampingan hukum, medis dan psikologis. Perlindungan
hukum atau yuridis yang dilakukan oleh DP3A Bone yaitu melakukan
pendampingan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
menerima laporan dari masyarakat di Upt PPA melalui via telepon. Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendatangi alamat
korban untuk memastikan apakah benar ada kejadian tersebut atau tidak.
Ternyata benar terjadi kasus tersebut dan sudah di laporkan ke pihak yang
berwajib. Kemudian Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak melakukan pendaftaran, membuat assesmen, konseling perihal
kasusnya, pengambilan keputusan oleh klien dan pendampingan.
72
Jika korbannya perempuan, maka hal yang dilakukan Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak yaitu, membawa klien terlebih dahulu
untuk berobat ke Rumah Sakit / Puskesmas (bila dibutuhkan), di damping untuk
pengambilan visum, konseling, diberikan terapi untuk menghilangkan
traumanya. Jika korbannya adalah anak sebagai korban kekerasan seksual yang
datang ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama
orang tuanya maka yang dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak yaitu, mengamankan semua alat bukti, di damping untuk
lapor polisi, di damping ketika pengambilan visum sehingga mengetahui
sampai dimana efek dari kekerasan yang dialami oleh klien, membantu
mengatasi trauma psikologis yang dialami korban oleh psikolog/terapis. Ketika
korban akan melakukan pemeriksaan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak terkadang menjemput korban menggunakan mobil
perlindungan dan kadang datang sendiri diantar oleh orang tua korban. Ketika
korban akan menjalani pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan,
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak selalu mendampingi
korban dan berada di dekat korban agar korban merasa aman dan tidak takut
dalam menjawab juga agar menghindari pertanyaan-pertanyaan dari pihak
kepolisian diluar dari konteks kasus dan jika ada pertanyaan yang kurang di
pahami oleh korban maka Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak yang akan membantu menjawab pertanyaan tersebut dan memastikan
korban mendapatkan hak-haknya dalam pemeriksaan dan supaya tidak ada
penekanan-penekanan dari pihak pelaku.
2. Kendala yang terjadi di DP3A dalam perlindungan hukum terhadap anak
korban kekerasan seksual adalah kurangnya sumber daya manusia,
kurangnnya fasilitas penunjang kebutuhan korban seperti sarana dan
prasarana mobilitas operasional dan yang terakhirvadalah minimnya
pemahaman masyarakat dan stakholer dalam penanganan korban kekerasan
seksual dan pemahaman pentingnya perlindungan hak-hak anak. Terlepas
dari kendala tersebut ada beberapa upaya yang dilakukan seperti
membentuk tim pendamping di tingkat kecamatan dan menjalin kerjasama
dengan berbagai pihak atau instansi dalam penyelenggaraan penanganan
dan perlindungan korban.
B. Saran
1. Langkah antisipasi yang dapat dilakukan sebagai alternative solusi atas
fenomena sosial berupa kekerasan seksual pada anak di Kabupaten Bone
adalah melakukan penyuluhan, mengadili pelaku, merehabilitasi korban,
namun pemecahan akar dari masalah harus dicari terlebih dahulu.
2. Diharapkan meningkatkan peran serta kepolisian, Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Sosial, dan pemangku
kepentingan / stakeholder dalam mengatasi maslah kekerasan seksual pada
peserta didik di Kabupaten Bone.
3. Masyarakat hendaknya juga turut berperan aktif dalam memberikan
dukungan dan mengadukan hal-hal terkait tindakan kekerasan seksual yang
menimpa anak-anak di lingkungan sekitarnya, selain itu juga harus
menjaga dan memahami proses perlindungan terhadap hak-hak anak.
Indonesia No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Terhadap Korban Kekerasan
Seksual Peserta Didik di Kabupaten Bone.
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Penanganan Hukum terhadap korban kekerasan seksual peserta didik di Kabupaten
Bone dan kendala apa yang di hadapi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak dalam menangani kasus kekerasan seksual di Kabupaten Bone.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif (Qualitatif Research), pendekatan
dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif-empiris. Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah observasi, wawancara dan dokumentasi, data yang diperoleh
kemudian di analisis dengan menggunakan metode analisis desktriptif kualitatif.
Hasil penelitian menujukkan bahwa, pertama; Perlindungan hukum terhadap
Kekerasan / pelecehan seksuak peserta didik di Kabupaten Bone sudah dilakukan
secara maksimal oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Kabupaten Bone. Meskipun setiap tahunnya selalu terjadi kasus kekerasan /
pelecehan seksual peserta didik namun berbagai upaya telah dilakukan oleh Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar mencegah hal tersebut. Salah
satu upaya yang dilakukan DP3A adalah membentuk sebuah Forum Anak yang di
selenggarakan pada bulan Mei 2022. Upaya yang dilakukan Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak dalam upaya perlindungan hukum anak korban
kekerasan seksual dilakukan melalui proses pendampingan yang datang langsung
kerumah korban dan keluarga korban serta memberikan pendampingan yang sesuai
kebutuhan korban. Namun, dalam perjalanannya ada kendala-kendala yang terjadi
dalam upaya perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual,
diantaranya kurangnya sumber daya manusia, kurangnya fasilitas penunjang
kebutuhan korban dan minimnya pemahaman masyarakat dalam perlindungan hak-
hak anak.
A. Kesimpulan
1. Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual menurut
hukum positif adalah harus berdasarkan pancasila dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya. Karena itu,
perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan
perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai mahluk individu
dan mahluk sosial, dalam wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi
semangat kekeluargaan dan tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Upaya perlindungan hukum yang dilakukan Dinas pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak korban kekerasan seksual dilakukan
melalui proses pendampingan pada korban yang terdiri dari pendampingan
yuridis atau pendampingan hukum, medis dan psikologis. Perlindungan
hukum atau yuridis yang dilakukan oleh DP3A Bone yaitu melakukan
pendampingan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
menerima laporan dari masyarakat di Upt PPA melalui via telepon. Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendatangi alamat
korban untuk memastikan apakah benar ada kejadian tersebut atau tidak.
Ternyata benar terjadi kasus tersebut dan sudah di laporkan ke pihak yang
berwajib. Kemudian Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak melakukan pendaftaran, membuat assesmen, konseling perihal
kasusnya, pengambilan keputusan oleh klien dan pendampingan.
72
Jika korbannya perempuan, maka hal yang dilakukan Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak yaitu, membawa klien terlebih dahulu
untuk berobat ke Rumah Sakit / Puskesmas (bila dibutuhkan), di damping untuk
pengambilan visum, konseling, diberikan terapi untuk menghilangkan
traumanya. Jika korbannya adalah anak sebagai korban kekerasan seksual yang
datang ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama
orang tuanya maka yang dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak yaitu, mengamankan semua alat bukti, di damping untuk
lapor polisi, di damping ketika pengambilan visum sehingga mengetahui
sampai dimana efek dari kekerasan yang dialami oleh klien, membantu
mengatasi trauma psikologis yang dialami korban oleh psikolog/terapis. Ketika
korban akan melakukan pemeriksaan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak terkadang menjemput korban menggunakan mobil
perlindungan dan kadang datang sendiri diantar oleh orang tua korban. Ketika
korban akan menjalani pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan,
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak selalu mendampingi
korban dan berada di dekat korban agar korban merasa aman dan tidak takut
dalam menjawab juga agar menghindari pertanyaan-pertanyaan dari pihak
kepolisian diluar dari konteks kasus dan jika ada pertanyaan yang kurang di
pahami oleh korban maka Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak yang akan membantu menjawab pertanyaan tersebut dan memastikan
korban mendapatkan hak-haknya dalam pemeriksaan dan supaya tidak ada
penekanan-penekanan dari pihak pelaku.
2. Kendala yang terjadi di DP3A dalam perlindungan hukum terhadap anak
korban kekerasan seksual adalah kurangnya sumber daya manusia,
kurangnnya fasilitas penunjang kebutuhan korban seperti sarana dan
prasarana mobilitas operasional dan yang terakhirvadalah minimnya
pemahaman masyarakat dan stakholer dalam penanganan korban kekerasan
seksual dan pemahaman pentingnya perlindungan hak-hak anak. Terlepas
dari kendala tersebut ada beberapa upaya yang dilakukan seperti
membentuk tim pendamping di tingkat kecamatan dan menjalin kerjasama
dengan berbagai pihak atau instansi dalam penyelenggaraan penanganan
dan perlindungan korban.
B. Saran
1. Langkah antisipasi yang dapat dilakukan sebagai alternative solusi atas
fenomena sosial berupa kekerasan seksual pada anak di Kabupaten Bone
adalah melakukan penyuluhan, mengadili pelaku, merehabilitasi korban,
namun pemecahan akar dari masalah harus dicari terlebih dahulu.
2. Diharapkan meningkatkan peran serta kepolisian, Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Sosial, dan pemangku
kepentingan / stakeholder dalam mengatasi maslah kekerasan seksual pada
peserta didik di Kabupaten Bone.
3. Masyarakat hendaknya juga turut berperan aktif dalam memberikan
dukungan dan mengadukan hal-hal terkait tindakan kekerasan seksual yang
menimpa anak-anak di lingkungan sekitarnya, selain itu juga harus
menjaga dan memahami proses perlindungan terhadap hak-hak anak.
Ketersediaan
| SSYA20220302 | 302/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
302/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
