Kompetensi Pengadilan Agama Watampone Dalam Menyelesaikan Perkara Asuransi Syariah (Kajian Terhadap Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006)
A. Faradibah Ayu Sulastiana As/01.17.1180 - Personal Name
Skripsi ini membahas mengenai kompetensi pengadilan agama dalam menyelesaikan
perkara asuransi syariah (Kajian Terhadap Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006). Peramsalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimana kewenangan Peradilan
Agama dalam menyelesaikan perkara Asuransi Syariah serta proses penyelesaian
sengketa Asuransi Syariah di Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui kewenangan
Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara Asuransi Syariah serta proses
penyelesaian sengketa Asuransi Syariah di Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian pustaka (library research) dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan
penelitian yang digunakan yakni pendekatan yuridis normatif. Metode pengumpulan
berupa data pustaka, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan ragam literature seperti
buku-buku hukum, peraturan undang-undangan, buku, jurnal dan tulisan-tulisan yang
terkait dengan judul penelitian penulis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Kewenangan pengadilan agama dalam
menyelesaikan perkara asuransi syariah adalah menentukan metode dan bentuk
penyelesian sengketa asuransi syariah melalui kompetensi absolute, kompetensi relatif
dalam melakukan perlindungan terhadap nasabah asuransi syariah. 2) Proses
penyelesaian sengketa asuransi syariah di Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 melalui beberapa tahapan pertama, dalam hal
terjadi perselisihan dalam penafsiran dan pelaksanaan polis ini, maka pengelola dan
pemegang polis sepakat untuk menyelesaikannya secara syariah melalui musyawarah
untuk mufakat. Kedua, apabila setelah 30 (tiga puluh) hari kalender sejak perundingan
dimulai belum juga terjadi kesepakatan, para pihak (pengelola, pemegang polis
dan/atau penerima manfaat) sepaka untuk menempuh upaya hukum mediasi sebelum
memilih upaya hukum melalui pengadilan atau arbitrase dilakukan, upaya ini dapat
diajukan kepada lembaga mediasi di bidang asuransi. Ketiga, bila perselisihan belum
dapat diselesaikan, dengan tidak mengenyampingkan hak pemegang polis maupun
peserta, maka perselisihan dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional atau Pengadilan Agama yang memiliki yuridiksi atas domisili pemegang
polis yang terdekat dengan domisili pengelola di wilayah hukum Republik Indonesia
sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah dan peraturan yang berlaku
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan di antaranya:
1. Kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara asuransi syariah
adalah menentukan metode dan bentuk penyelesian sengketa asuransi syariah
melalui kompetensi absolute, kompetensi relatif dalam melakukan perlindungan
terhadap nasabah asuransi syariah. Misalanya permasalahan wanperstasi dalam
praktek Asuransi Syariah bisa terjadi kesalahan pihak asuransi sendiri, yang dalam
melakukan survey masih kurang maksimal serta kemampuan bayar peserta yang
menurun dan juga karena kelalaian peserta asuransi.
2. Proses penyelesaian sengketa asuransi syariah di Peradilan Agama berdasarkan
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 melalui beberapa tahapan
pertama, dalam hal terjadi perselisihan dalam penafsiran dan pelaksanaan polis
ini, maka pengelola dan pemegang polis sepakat untuk menyelesaikannya secara
syariah melalui musyawarah untuk mufakat. Kedua, apabila setelah 30 (tiga
puluh) hari kalender sejak perundingan dimulai belum juga terjadi kesepakatan,
para pihak (pengelola, pemegang polis dan/atau penerima manfaat) sepakat untuk
menempuh upaya hukum mediasi sebelum memilih upaya hukum melalui
peradilan atau arbitrase dilakukan, upaya ini dapat diajukan kepada badan mediasi
di bidang asuransi. Ketiga, bila perselisihan belum dapat diselesaikan, dengan
tidak mengesampingkan hak pemegang polis maupun peserta, maka perselisihan
dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional atau Peradilan
Agama yang memiliki yuridiksi atas domisili pemegang polis yang terdekat
dengan domisili pengelola di wilayah hukum Republik Indonesia sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai syariah dan peraturan yang berlaku.
B. Saran
1. Bagi Peradilan Agama sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa asuransi
syariah dan banyak sengketa lainnya yang menjadi kewenangan absolut
maupun relatifnya maka di pandang perlu untuk berbenah karena oleh
Undang-Undang diberikan kewenangan baru termasuk menyelesaikan
sengketa Ekonomi Syariah maka dipandang perlu untuk peningkatan sumber
daya manusia dan penambahan infrastruktur penunjangnya agar proses
mekanisme beracara di peradilan agama berjalan sesuai prosedur dan aturan
yang berlaku sehingga bisa dijadikan tempat mencari keadilan bagi
masyarakat.
2. Bagi pengguna asuransi, dalam menyelesaikan sengketa asuransi syariah para
pihak yang terkait diharapkan melakukan proses yang elegan dan dapat
diterima oleh semua pihak, diselesaikan dengan cara non litigasi yakni
musyawarah mufakat, mediasi, negosiasi dan konsultasi terlebih dahulu.
perkara asuransi syariah (Kajian Terhadap Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006). Peramsalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimana kewenangan Peradilan
Agama dalam menyelesaikan perkara Asuransi Syariah serta proses penyelesaian
sengketa Asuransi Syariah di Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui kewenangan
Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara Asuransi Syariah serta proses
penyelesaian sengketa Asuransi Syariah di Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian pustaka (library research) dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan
penelitian yang digunakan yakni pendekatan yuridis normatif. Metode pengumpulan
berupa data pustaka, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan ragam literature seperti
buku-buku hukum, peraturan undang-undangan, buku, jurnal dan tulisan-tulisan yang
terkait dengan judul penelitian penulis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Kewenangan pengadilan agama dalam
menyelesaikan perkara asuransi syariah adalah menentukan metode dan bentuk
penyelesian sengketa asuransi syariah melalui kompetensi absolute, kompetensi relatif
dalam melakukan perlindungan terhadap nasabah asuransi syariah. 2) Proses
penyelesaian sengketa asuransi syariah di Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 melalui beberapa tahapan pertama, dalam hal
terjadi perselisihan dalam penafsiran dan pelaksanaan polis ini, maka pengelola dan
pemegang polis sepakat untuk menyelesaikannya secara syariah melalui musyawarah
untuk mufakat. Kedua, apabila setelah 30 (tiga puluh) hari kalender sejak perundingan
dimulai belum juga terjadi kesepakatan, para pihak (pengelola, pemegang polis
dan/atau penerima manfaat) sepaka untuk menempuh upaya hukum mediasi sebelum
memilih upaya hukum melalui pengadilan atau arbitrase dilakukan, upaya ini dapat
diajukan kepada lembaga mediasi di bidang asuransi. Ketiga, bila perselisihan belum
dapat diselesaikan, dengan tidak mengenyampingkan hak pemegang polis maupun
peserta, maka perselisihan dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional atau Pengadilan Agama yang memiliki yuridiksi atas domisili pemegang
polis yang terdekat dengan domisili pengelola di wilayah hukum Republik Indonesia
sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah dan peraturan yang berlaku
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan di antaranya:
1. Kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara asuransi syariah
adalah menentukan metode dan bentuk penyelesian sengketa asuransi syariah
melalui kompetensi absolute, kompetensi relatif dalam melakukan perlindungan
terhadap nasabah asuransi syariah. Misalanya permasalahan wanperstasi dalam
praktek Asuransi Syariah bisa terjadi kesalahan pihak asuransi sendiri, yang dalam
melakukan survey masih kurang maksimal serta kemampuan bayar peserta yang
menurun dan juga karena kelalaian peserta asuransi.
2. Proses penyelesaian sengketa asuransi syariah di Peradilan Agama berdasarkan
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 melalui beberapa tahapan
pertama, dalam hal terjadi perselisihan dalam penafsiran dan pelaksanaan polis
ini, maka pengelola dan pemegang polis sepakat untuk menyelesaikannya secara
syariah melalui musyawarah untuk mufakat. Kedua, apabila setelah 30 (tiga
puluh) hari kalender sejak perundingan dimulai belum juga terjadi kesepakatan,
para pihak (pengelola, pemegang polis dan/atau penerima manfaat) sepakat untuk
menempuh upaya hukum mediasi sebelum memilih upaya hukum melalui
peradilan atau arbitrase dilakukan, upaya ini dapat diajukan kepada badan mediasi
di bidang asuransi. Ketiga, bila perselisihan belum dapat diselesaikan, dengan
tidak mengesampingkan hak pemegang polis maupun peserta, maka perselisihan
dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional atau Peradilan
Agama yang memiliki yuridiksi atas domisili pemegang polis yang terdekat
dengan domisili pengelola di wilayah hukum Republik Indonesia sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai syariah dan peraturan yang berlaku.
B. Saran
1. Bagi Peradilan Agama sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa asuransi
syariah dan banyak sengketa lainnya yang menjadi kewenangan absolut
maupun relatifnya maka di pandang perlu untuk berbenah karena oleh
Undang-Undang diberikan kewenangan baru termasuk menyelesaikan
sengketa Ekonomi Syariah maka dipandang perlu untuk peningkatan sumber
daya manusia dan penambahan infrastruktur penunjangnya agar proses
mekanisme beracara di peradilan agama berjalan sesuai prosedur dan aturan
yang berlaku sehingga bisa dijadikan tempat mencari keadilan bagi
masyarakat.
2. Bagi pengguna asuransi, dalam menyelesaikan sengketa asuransi syariah para
pihak yang terkait diharapkan melakukan proses yang elegan dan dapat
diterima oleh semua pihak, diselesaikan dengan cara non litigasi yakni
musyawarah mufakat, mediasi, negosiasi dan konsultasi terlebih dahulu.
Ketersediaan
| SSYA20220192 | 192/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
192/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
