Kewarisan Kakek Bersama Saudara Perspektif Ima>m Sya>fi’i dengan Ima>m Abu> H{ani>fah (Studi Komparatif)
Rifka Mahfiani/01.18.1076 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang salah satu aspek dalam kewarisan yaitu kewarisan
kakek bersama saudara. Pokok permasalahan adalah bagaimana Ima>m Sya>fi’i dengan
Ima>m Abu> Hani>fah memberikan pandangan mengenai kewarisan kakek bersama
saudara. Masalah ini dianalisis dengan pendekatan teologis dan dibahas dengan
metode kualitatif dan dengan content analysis (analisis isi).
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang bersifat kualitatif, yaitu penelitian
yang merupakan penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak
dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan teologis. Adapun teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah dengan cara membaca berbagai macam informasi dari bahan-
bahan pustaka yang terkait dengan permasalahan kewarisan kakek bersama saudara.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pandangan Ima>m Sya>fi’i dengan
Ima>m Abu> Hani>fah mengenai kewarisan kakek bersama saudara dan untuk
mengetahui analisis komparatif dari kedua pandangan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ima>m Sya>fi’i dengan Ima>m Abu> Hani>fah
memberikan pandangan yang berbeda mengenai kewarisan kakek bersama saudara.
Adapun Ima>m Sya>fi’i berpandangan bahwa ketika kakek mewaris bersama saudara
yaitu saudara sekandung dan seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan
dengan kakek. Sedangkan Ima>m Abu> Hani>fah berpandangan bahwa ketika saudara
mewaris bersama kakek, baik itu saudara sekandung, seayah ataupun seibu terhalang
hak warisnya karena adanya kakek. Adapun sisi perbedaan dan persamaan dari kedua
pendapat tersebut yaitu, persamaan diantara kedua pendapat tersebut bahwa masalah
kakek dalam kewarisan, dimana kakek akan mendapatkan bagian warisan jika ayah
pewaris tidak ada. Dan kedua Imam tersebut juga sepakat bahwa saudara seibu
terhalang untuk mewaris ketika bersama dengan kakek. Sedangkan dari sisi
perbedaan diantara kedua pendapat tersebut bahwa Ima>m Sya>fi’i mengatakan
saudara pewaris baik laki-laki maupun perempuan, baik sekandung ataupun seayah
berhak untuk mewaris ketika bersama kakek, jadi bagian untuk kakek ketika mewaris
bersama saudara ada tiga kemungkinan, apakah kakek mendapatkan
1 / 6 , 1 / 3 atau
dengan cara muqa>samah . Kemudian menurut Ima>m Abu> Hani>fah bahwa seluruh
saudara mutlak terhijab karena adanya kakek, jadi penyelesaiannya harta warisan
diberikan seluruhnya kepada kakek.
A. Simpulan
1. Pandangan Imām Syāfi’i dengan Imām Abū Ḥanīfah mengenai kewarisan
kakek bersama saudara
Pendapat Imām Syāfi’i mengenai kewarisan kakek bersama saudara
menyatakan bahwa kedudukan saudara-saudara adalah sama dengan kakek
bagi mayit dan karenanya kakek dan saudara bersama-sama mewarisi harta si
mayit. Pendapat ini sejalan dengan pendapat pendapat ‘Ali> bin Abi> T{a>lib r.a.,
Ibnu Mas’ud r.a., Zaid bin S|a>bit r.a., Ima>m Ah}mad bin H{ambal, Ima>m Ma>lik,
Abu> Yu>suf, Muh{ammad, dan diambil sebagai pegangan qa>nun Al-Mawaris | di
Mesir. Adapun alasan yang mendasar mengenai pendapat Imām Syāfi’i adalah
Saudara lelaki dan saudara sekandung, atau seayah bersama dengan kakek
dalam sebab memperoleh pusaka, karena semua mereka berhubungan dengan
orang yang meninggal dengan perantaraan ayah. Kakek adalah ayah dari ayah,
saudara lelaki adalah anak ayah yang lelaki, sauadara perempuan adalah anak
ayah yang perempuan. Dan alasan lain yang dikemukakan beliau bahwa
saudara lebih memerlukan harta dari pada kakek karena saudara lebih banyak
kebutuhannya dari pada kakek.
Imām Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa saudara-saudara mutlak
terhijab untuk mewaris oleh kakek, baik itu saudara sekandung, sebapak atau
seibu, laki-laki atau perempuan. Maka mereka tidak mewaris sama sekali. Hal
ini sesuai dengan pendapat Abu> Bakar as } S}iddieq, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar,
Al H{asan, Ibnu Sirin. Mereka mengatakan bahwa kedudukan kakek sama
dengan
63
bapak, jika tidak ada bapak, sehingga dapat menghijab saudara sekandung dan
seayah secara mutlak, dan pendapat ini juga didukung oleh Al Zhahiry. Hal
ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa kakek menduduki kedudukan
bapak ketika bapak tidak ada, dalam segala keadaan, karena bapak lebih
tinggi (derajatnya).
2. Analisis Komparatif Antara Pandangan Imām Syāfi’i dengan Imām Abū
Ḥanīfah Menenai Kewarisan Kakek Bersama Saudara
Dari kedua pendapat tersebut dapat diketahui bahwa kedua imam
tersebut berpendapat bahwa kakek akan menggantikan ayah ketika ayah tidak
ada dan ayah menghalangi saudara seibu. Namun disamping persamaan
pendapat tersebut, keduanya berbeda pendapat mengenai kedudukan saudara
sekandung dan seayah dalam kewarisan ketika bersama dengan kakek. Imām
Syāfi’i memberikan bagian untuk saudara sekandung dan seayah, namun
menurut Imām Abū Ḥanīfah para saudara, baik sekandung, seayah ataupun
seibu mutlak terhijab ḥirmān oleh kakek.
B. Implikasi
Berdasarkan simpulan tersebut maka penulis memberikan saran sebagai
bentuk implikasi penelitian, sebagai berikut:
1. Kepada umat Islam Indonesia, hendaklah dalam menetapkan suatu hukum itu
berangkat dari nash-nash al-Qur’an, kemudian jika memang dalam al-Qur’an
tidak ada baru ke hadis yang shahih, ijma’ dan qiyas.
2. Aturan-aturan pembagia warisan yang telah termaktub dalam ketentuan Allah
merupakan nilai-nilai yang mempunyai potensi untuk mewujudkan keadilan
yang terkait dengan kepentingan pribadi ahli waris dan memiliki efektivitas
dalam pemanfaatan harta.
kakek bersama saudara. Pokok permasalahan adalah bagaimana Ima>m Sya>fi’i dengan
Ima>m Abu> Hani>fah memberikan pandangan mengenai kewarisan kakek bersama
saudara. Masalah ini dianalisis dengan pendekatan teologis dan dibahas dengan
metode kualitatif dan dengan content analysis (analisis isi).
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang bersifat kualitatif, yaitu penelitian
yang merupakan penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak
dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan teologis. Adapun teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah dengan cara membaca berbagai macam informasi dari bahan-
bahan pustaka yang terkait dengan permasalahan kewarisan kakek bersama saudara.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pandangan Ima>m Sya>fi’i dengan
Ima>m Abu> Hani>fah mengenai kewarisan kakek bersama saudara dan untuk
mengetahui analisis komparatif dari kedua pandangan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ima>m Sya>fi’i dengan Ima>m Abu> Hani>fah
memberikan pandangan yang berbeda mengenai kewarisan kakek bersama saudara.
Adapun Ima>m Sya>fi’i berpandangan bahwa ketika kakek mewaris bersama saudara
yaitu saudara sekandung dan seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan
dengan kakek. Sedangkan Ima>m Abu> Hani>fah berpandangan bahwa ketika saudara
mewaris bersama kakek, baik itu saudara sekandung, seayah ataupun seibu terhalang
hak warisnya karena adanya kakek. Adapun sisi perbedaan dan persamaan dari kedua
pendapat tersebut yaitu, persamaan diantara kedua pendapat tersebut bahwa masalah
kakek dalam kewarisan, dimana kakek akan mendapatkan bagian warisan jika ayah
pewaris tidak ada. Dan kedua Imam tersebut juga sepakat bahwa saudara seibu
terhalang untuk mewaris ketika bersama dengan kakek. Sedangkan dari sisi
perbedaan diantara kedua pendapat tersebut bahwa Ima>m Sya>fi’i mengatakan
saudara pewaris baik laki-laki maupun perempuan, baik sekandung ataupun seayah
berhak untuk mewaris ketika bersama kakek, jadi bagian untuk kakek ketika mewaris
bersama saudara ada tiga kemungkinan, apakah kakek mendapatkan
1 / 6 , 1 / 3 atau
dengan cara muqa>samah . Kemudian menurut Ima>m Abu> Hani>fah bahwa seluruh
saudara mutlak terhijab karena adanya kakek, jadi penyelesaiannya harta warisan
diberikan seluruhnya kepada kakek.
A. Simpulan
1. Pandangan Imām Syāfi’i dengan Imām Abū Ḥanīfah mengenai kewarisan
kakek bersama saudara
Pendapat Imām Syāfi’i mengenai kewarisan kakek bersama saudara
menyatakan bahwa kedudukan saudara-saudara adalah sama dengan kakek
bagi mayit dan karenanya kakek dan saudara bersama-sama mewarisi harta si
mayit. Pendapat ini sejalan dengan pendapat pendapat ‘Ali> bin Abi> T{a>lib r.a.,
Ibnu Mas’ud r.a., Zaid bin S|a>bit r.a., Ima>m Ah}mad bin H{ambal, Ima>m Ma>lik,
Abu> Yu>suf, Muh{ammad, dan diambil sebagai pegangan qa>nun Al-Mawaris | di
Mesir. Adapun alasan yang mendasar mengenai pendapat Imām Syāfi’i adalah
Saudara lelaki dan saudara sekandung, atau seayah bersama dengan kakek
dalam sebab memperoleh pusaka, karena semua mereka berhubungan dengan
orang yang meninggal dengan perantaraan ayah. Kakek adalah ayah dari ayah,
saudara lelaki adalah anak ayah yang lelaki, sauadara perempuan adalah anak
ayah yang perempuan. Dan alasan lain yang dikemukakan beliau bahwa
saudara lebih memerlukan harta dari pada kakek karena saudara lebih banyak
kebutuhannya dari pada kakek.
Imām Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa saudara-saudara mutlak
terhijab untuk mewaris oleh kakek, baik itu saudara sekandung, sebapak atau
seibu, laki-laki atau perempuan. Maka mereka tidak mewaris sama sekali. Hal
ini sesuai dengan pendapat Abu> Bakar as } S}iddieq, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar,
Al H{asan, Ibnu Sirin. Mereka mengatakan bahwa kedudukan kakek sama
dengan
63
bapak, jika tidak ada bapak, sehingga dapat menghijab saudara sekandung dan
seayah secara mutlak, dan pendapat ini juga didukung oleh Al Zhahiry. Hal
ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa kakek menduduki kedudukan
bapak ketika bapak tidak ada, dalam segala keadaan, karena bapak lebih
tinggi (derajatnya).
2. Analisis Komparatif Antara Pandangan Imām Syāfi’i dengan Imām Abū
Ḥanīfah Menenai Kewarisan Kakek Bersama Saudara
Dari kedua pendapat tersebut dapat diketahui bahwa kedua imam
tersebut berpendapat bahwa kakek akan menggantikan ayah ketika ayah tidak
ada dan ayah menghalangi saudara seibu. Namun disamping persamaan
pendapat tersebut, keduanya berbeda pendapat mengenai kedudukan saudara
sekandung dan seayah dalam kewarisan ketika bersama dengan kakek. Imām
Syāfi’i memberikan bagian untuk saudara sekandung dan seayah, namun
menurut Imām Abū Ḥanīfah para saudara, baik sekandung, seayah ataupun
seibu mutlak terhijab ḥirmān oleh kakek.
B. Implikasi
Berdasarkan simpulan tersebut maka penulis memberikan saran sebagai
bentuk implikasi penelitian, sebagai berikut:
1. Kepada umat Islam Indonesia, hendaklah dalam menetapkan suatu hukum itu
berangkat dari nash-nash al-Qur’an, kemudian jika memang dalam al-Qur’an
tidak ada baru ke hadis yang shahih, ijma’ dan qiyas.
2. Aturan-aturan pembagia warisan yang telah termaktub dalam ketentuan Allah
merupakan nilai-nilai yang mempunyai potensi untuk mewujudkan keadilan
yang terkait dengan kepentingan pribadi ahli waris dan memiliki efektivitas
dalam pemanfaatan harta.
Ketersediaan
| SSYA20220186 | 186/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
186/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
