Status Kedudukan Anak Dari Pembatalan Perkawinan Sedarah (Incest) Ditinjau Dari UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Perspektif Hukum Islam
Kiki Karmila/01.17.1160 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang Status Anak dari Pembatalan Perkawinan
Sedarah (Incest) Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Perspektif Hukum Islam dengan rumusan masalah bagaimana
mekanisme pembatalan perkawinan sedarah (Incest), dan faktor-faktor apakah yang
mendasari tentang pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Hukum Islam, serta bagaimana status anak dari pembatalan perkawinan
sedarah (Incest) dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam.
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan menggunakan
pendekatan normatif atau penelitian hukum kepustakaan (Library research) yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, serta
pendekatan Undang-Undang (statute approach).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam dalam menetapkan status anak yang lahir
dari perkawinan tersebut, untuk menganalisis faktor yang mendasari adanya
pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum
Islam, serta untuk menganalisis status anak dari pembatalan perkawinan sedarah
(Incest) ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam.
Hasil dari penelitian ini terdiri atas dua hal. Pertama, dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan sedarah
apabila terjadi pembatalan perkawinan yang diputuskan melalui pengadilan maka
berdasarkan pasal Pasal 28 Ayat (2) dinyatakan: Keputusan tidak berlaku surut
terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut, Jadi, status anak akibat
pembatalan perkawinan adalah anak sah. Ketika anak tersebut dianggap sebagai anak
sah, maka ia akan mendapatkan hubungan keperdataan baik dengann pihak ibu
maupun pihak ayah. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42, anak
sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Kedua, dalam Hukum Islam status seorang anak memiliki dua status yaitu:
anak sah (anak yang lahir dari perkawinan yang sah orangtuanya) dan anak yang
tidak sah (anak yang lahir diluar kawin). Jadi status hukum anak ini adalah sah,
meskipun dibelakang hari diketahui jika perkawinan tersebut terjadi diantara adanya
mahram diantara kedua belah pihak.
A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Mekanisme pembatalan perkawinan sedarah (incest) menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam apabila perkawinan tidak memenuhi
rukun dan syarat untuk melangsungkan perkawinan. Maka perkawinan tersebut
dapat dilakukan pembatalan. Mengenai cara pembatalan perkawinan, pada
dasarnya tata caranya sama dengan tata cara melakukan perceraian, hanya saja
proses persidangan pembatalan perkawinan, azas perdamaian yang diterapkan
yang diterapkan pada perceraian tidak dapat diterapkan pada pembatalan
perkawinan karena tujuan pembatalan perkawinan adalah untuk membatalkan
perkawinan tersebut. Jadi tidak ada taraf mendamaikan para pihak, kalaupun
ada perdamaian hanya sepanjang mengenai batalnya perkawinan itu dilakukan
secara damai.
2. Faktor yang menyebabkan perkawinan dapat dibatalkan menurut Pasal 22-27
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sama halnya dengan tidak memenuhi
syarat-syaratnya. Begitu pula dalam Hukum Islam yang disebut fasakh yang
artinya merusakkan atau membatalkan. Fasakh terjadi apabila dalam
perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat dan rukun, adanya halangan
perkawinan, serta terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak
memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan.
3. Status anak dari batalnya perkawinan sedarah (incest) dapat dilihat dalam Pasal
28 ayat 2 huruf (a) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tidak berlaku
surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Dengan
kemudian anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status hukum yang jelas
sebagai anak sah dan mendapatkan hubungan keperdataan baik dari ayah
maupun ibu. Sedangkan dalam Hukum Islam status seorang anak memiliki dua
status yaitu: anak sah (anak yang lahir dari perkawinan yang sah orangtuanya)
dan anak yang tidak sah (anak yang lahir diluar kawin). Jadi status hukum anak
ini adalah sah, meskipun di belakang hari diketahui jika perkawinan tersebut
terjadi diantara adanya mahram diantara kedua belah pihak.
B. Saran
Dari pembahasan secara menyeluruh, maka penulis memberikan beberapa
saran untuk untuk disampaikan terkait dengan penulisan skripsi ini yaitu sebagai
berikut:
1. Pasangan yang hendaknya melangsungkan perkawinan sebaiknya harus lebih
terbuka untuk saling mengenal satu sama lain mengenai kondisi dari diri
pasangannya agar di kemudian hari tidak menyebabkan salah sangka atau
kesalahpahaman terhadap pasangan.
2. Penulis berharap agar semua pihak masyarakat memiliki kesadaran hukum
mengenai semua hal termasuk perkawinan. Diperlukan adanya tambahan
aturan yang lebih rinci lagi mengenai pembatalan perkawinan ini termasuk
mengenai akibat hukum terhadap status anak.
3. Untuk mencegah terjadinya perkawinan sedarah di Indonesia diperlukan peran
aparat penegak hukum agar bila terjadi perkawinan sedarah hendaknya
masyarakat harus tanggap dan berusaha mengambil tindakan dan segera
melapor pada pihak yang berwajib serta diperlukan sifat profesionalisme
mengenai tindakan perkawinan sedarah yang terjadi di tengah masyarakat.
Sedarah (Incest) Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Perspektif Hukum Islam dengan rumusan masalah bagaimana
mekanisme pembatalan perkawinan sedarah (Incest), dan faktor-faktor apakah yang
mendasari tentang pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Hukum Islam, serta bagaimana status anak dari pembatalan perkawinan
sedarah (Incest) dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam.
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan menggunakan
pendekatan normatif atau penelitian hukum kepustakaan (Library research) yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, serta
pendekatan Undang-Undang (statute approach).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam dalam menetapkan status anak yang lahir
dari perkawinan tersebut, untuk menganalisis faktor yang mendasari adanya
pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum
Islam, serta untuk menganalisis status anak dari pembatalan perkawinan sedarah
(Incest) ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam.
Hasil dari penelitian ini terdiri atas dua hal. Pertama, dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan sedarah
apabila terjadi pembatalan perkawinan yang diputuskan melalui pengadilan maka
berdasarkan pasal Pasal 28 Ayat (2) dinyatakan: Keputusan tidak berlaku surut
terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut, Jadi, status anak akibat
pembatalan perkawinan adalah anak sah. Ketika anak tersebut dianggap sebagai anak
sah, maka ia akan mendapatkan hubungan keperdataan baik dengann pihak ibu
maupun pihak ayah. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42, anak
sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Kedua, dalam Hukum Islam status seorang anak memiliki dua status yaitu:
anak sah (anak yang lahir dari perkawinan yang sah orangtuanya) dan anak yang
tidak sah (anak yang lahir diluar kawin). Jadi status hukum anak ini adalah sah,
meskipun dibelakang hari diketahui jika perkawinan tersebut terjadi diantara adanya
mahram diantara kedua belah pihak.
A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Mekanisme pembatalan perkawinan sedarah (incest) menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam apabila perkawinan tidak memenuhi
rukun dan syarat untuk melangsungkan perkawinan. Maka perkawinan tersebut
dapat dilakukan pembatalan. Mengenai cara pembatalan perkawinan, pada
dasarnya tata caranya sama dengan tata cara melakukan perceraian, hanya saja
proses persidangan pembatalan perkawinan, azas perdamaian yang diterapkan
yang diterapkan pada perceraian tidak dapat diterapkan pada pembatalan
perkawinan karena tujuan pembatalan perkawinan adalah untuk membatalkan
perkawinan tersebut. Jadi tidak ada taraf mendamaikan para pihak, kalaupun
ada perdamaian hanya sepanjang mengenai batalnya perkawinan itu dilakukan
secara damai.
2. Faktor yang menyebabkan perkawinan dapat dibatalkan menurut Pasal 22-27
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sama halnya dengan tidak memenuhi
syarat-syaratnya. Begitu pula dalam Hukum Islam yang disebut fasakh yang
artinya merusakkan atau membatalkan. Fasakh terjadi apabila dalam
perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat dan rukun, adanya halangan
perkawinan, serta terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak
memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan.
3. Status anak dari batalnya perkawinan sedarah (incest) dapat dilihat dalam Pasal
28 ayat 2 huruf (a) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tidak berlaku
surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Dengan
kemudian anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status hukum yang jelas
sebagai anak sah dan mendapatkan hubungan keperdataan baik dari ayah
maupun ibu. Sedangkan dalam Hukum Islam status seorang anak memiliki dua
status yaitu: anak sah (anak yang lahir dari perkawinan yang sah orangtuanya)
dan anak yang tidak sah (anak yang lahir diluar kawin). Jadi status hukum anak
ini adalah sah, meskipun di belakang hari diketahui jika perkawinan tersebut
terjadi diantara adanya mahram diantara kedua belah pihak.
B. Saran
Dari pembahasan secara menyeluruh, maka penulis memberikan beberapa
saran untuk untuk disampaikan terkait dengan penulisan skripsi ini yaitu sebagai
berikut:
1. Pasangan yang hendaknya melangsungkan perkawinan sebaiknya harus lebih
terbuka untuk saling mengenal satu sama lain mengenai kondisi dari diri
pasangannya agar di kemudian hari tidak menyebabkan salah sangka atau
kesalahpahaman terhadap pasangan.
2. Penulis berharap agar semua pihak masyarakat memiliki kesadaran hukum
mengenai semua hal termasuk perkawinan. Diperlukan adanya tambahan
aturan yang lebih rinci lagi mengenai pembatalan perkawinan ini termasuk
mengenai akibat hukum terhadap status anak.
3. Untuk mencegah terjadinya perkawinan sedarah di Indonesia diperlukan peran
aparat penegak hukum agar bila terjadi perkawinan sedarah hendaknya
masyarakat harus tanggap dan berusaha mengambil tindakan dan segera
melapor pada pihak yang berwajib serta diperlukan sifat profesionalisme
mengenai tindakan perkawinan sedarah yang terjadi di tengah masyarakat.
Ketersediaan
| SSYA20210138 | 138/2021 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
138/2021
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2021
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
