Implementasi Nafkah Madliyah Istri Pasca Perceraian Di Pengadilan Agama Watampone Kelas 1A ( Studi Analisis Putusan Nomor 339/Pdt.G/2020/PA.Wtp)
Riswanda Imawan/01.17.1291 - Personal Name
Dalam penelitian yang berjudul “nafkah Māḍiyah istri pasca percreraian di
Pengadilan Agama Watampone Kelas 1A (Studi Analisis Putusan Nomor
339/Pdt.G/2020/PA.Wtp)”. Nafkah Māḍiyah adalah nafkah terutang atau
nafkahlampau artinya nafkah Māḍiyah adalah nafkah yang dapat dituntut oleh istri
pasca perceraian yang dimana nafkah tersebut tidak di berikan semasa pernikahan
berlangsung. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu penulis ingin mengetahui
bagaimana implementasi dari nafkah Māḍiyah tersebut di pengadilan Agama
Watampone. Rumusan permasalahan, yaitu (1) bagaimana implementasi nafkah
Māḍiyah di Pengadilan Agama Watampone, (2) bagaimana tinjauan hukum Islam
terhadap implementasi nafkah Māḍiyah.
Hasil Penelitian pertama menunjukan bahwa implementasi nafkah Māḍiyah istri di
Pengadilan Agama Watampone menjadi salah satu dari nafkah yang dapat dituntut
istri di Pengadilan Agama yakni dilakukan dalam proses sidang perceraian yang
dimana hakim mempertimbangkan asas kemanfaatan dan keadilan yaitu dalam
mengabulkan permhonan besaran jumlah nafkah Māḍiyah hakim mempertimbangkan
berbagai hal seperti penghasilan dari tergugat nafkah Māḍiyah dengan melihat
pekerjaan dari si tergugat, dan kebutuhan penggugat dan dalam penyerahan nafkah
terutang tersebut dilakukan setelah suami membacakan ikrar talak dan suami yang
membangkang atau tidak memenuhi nafkah Māḍiyah yang telah diputuskan maka
akan dilakukan eksekusi dari pihak pengadilan. Hasil penelitian kedua yakni tinjauan
hukum Islam terhadap nafkah Māḍiyah menunjukkan bahwa dalam hukum Islam
pemberian nafkah oleh suami kepada istrinya selama proses pernikahan berlangsung
adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami berupa nafkah lahir dan
batin. Jika suami tidak menunaikan nafkah tersebut maka nafkah tersebut akan
menjadi utang yang harus dibayarkan suami kepada istrinya. Jumlah nafkah terutang
yang dibayarkan oleh suami tdiak ditentukan besaran jumlahnya dalam hukum Islam
akan tetapi jumhur ulama mengemukakan bahwa jumlah nafkah terutang yang
dibayarkan oleh suami yaitu secukupnya atau sesuai dengan kemampuan suami dan
jika suami bakhil atau tidak menunaikan nafkah tersebut maka akan menjadi hutang
yang harus ditanggung seperti hutang-hutang lainnya.
A. Kesimpulan
1. Nafkah Māḍiyah adalah nafkah lampau atau nafkah yang menjadi hutang di
sebabkan semasa pernikahan suami tidak menunaikan kewajiban nafkah
tersebut. Dalam putusan nomor: 393/Pdt.G/2020/PA.Wtp dimana pada
putusan tersebut penggugat rekonvensi menuntut nafkah Māḍiyah sebesar
Rp.83.850.000 dan nafkah anak sebsar Rp.500.000 perbulan dan hakim
memutuskan nafkah Māḍiyah sebesar Rp.5000.000 dan nafkah anak sebesar
Rp.500.000 perbulan. Dari wawancara yang dilakukan narasumber
memberikan pendapat bahwa setelah terjadinya pernikahan maka suami mulai
bertanggung jawab untuk memenuhi nafkah dalam pernikahan tersebut dan
jika suami tidak menunaikan kewajibannya maka istri dapat menuntut nafkah
tersebut dalam proses perceraian.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap nafkah Māḍiyah yang terdapat pada skripsi
ini penulis dapan menarik kesimpulan yakni nafkah Māḍiyah adalah nafkah
lampau yang tidak ditunaikan kewajibannya oleh suami sehingga menjadi
hutang yang harus dibayarkan. Dasar hukum penetapan nafkah Māḍiyah salah
satu dalil nya terdapat pada surah at-Thalaq ayat 7 dimana ayat tersebut
memberikan perintah bagi suami atau ayah untuk memberikan nafkah kepada
anak dan istrinya. Menurut pendapat para madzhab di antaranya madhab
Hanafi, madzhab Syafi‟I, dan madzhab Hanbali yaitu nafkah menjadi wajib
bagi suami setelah syarat-syaratnya terpenuhi dan jika suami tidak
menunaikan kewajibannya tersebut maka akan menjadi hutang baginya
berbeda dengan
ketiga madzhab tersebut madzhab maliki berpendapat bahwa suami yang tidak
menunaikan kewajibannya maka tidak akan di anggap sebagai hutang.
B. Saran
1. Suami yang menceraikan istrinya hendaknya memberikan mut‟ah, nafkah
iddah, nafkah Māḍiyah serta nafkah anak, meskipun istri tidak mengajukan
gugatan rekonvensi. Nafkah tersebut digunakan untuk biaya hidup istri dan
anaknya, terlebih jika istri tidak mempunyai penghasilan.
2. Kepada Pengadilan Agama Kota Watampone diharapkan agar praktek
pemberian nafkah pasca perceraian ini dapat terus dipertahankan, dan agar
para pihak hakim yang menangani permasalahan perceraian dapat lebih
optimal menasehati masing-masing pihak, sehingga perceraian tidak terjadi.
Namun jika memang nesehat sudah tidak dapat di indahkan oleh para pihak,
maka majelis hakim memperhatikan hak-hak istri pasca perceraian yang harus
dipenuhi, diharapkan kepada majelis hakim agar dapat memberikan putusan
yang adil, dan bermanfaat, menerapkan peraturan dengan sebaiknya bukan
seadnya.
Pengadilan Agama Watampone Kelas 1A (Studi Analisis Putusan Nomor
339/Pdt.G/2020/PA.Wtp)”. Nafkah Māḍiyah adalah nafkah terutang atau
nafkahlampau artinya nafkah Māḍiyah adalah nafkah yang dapat dituntut oleh istri
pasca perceraian yang dimana nafkah tersebut tidak di berikan semasa pernikahan
berlangsung. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu penulis ingin mengetahui
bagaimana implementasi dari nafkah Māḍiyah tersebut di pengadilan Agama
Watampone. Rumusan permasalahan, yaitu (1) bagaimana implementasi nafkah
Māḍiyah di Pengadilan Agama Watampone, (2) bagaimana tinjauan hukum Islam
terhadap implementasi nafkah Māḍiyah.
Hasil Penelitian pertama menunjukan bahwa implementasi nafkah Māḍiyah istri di
Pengadilan Agama Watampone menjadi salah satu dari nafkah yang dapat dituntut
istri di Pengadilan Agama yakni dilakukan dalam proses sidang perceraian yang
dimana hakim mempertimbangkan asas kemanfaatan dan keadilan yaitu dalam
mengabulkan permhonan besaran jumlah nafkah Māḍiyah hakim mempertimbangkan
berbagai hal seperti penghasilan dari tergugat nafkah Māḍiyah dengan melihat
pekerjaan dari si tergugat, dan kebutuhan penggugat dan dalam penyerahan nafkah
terutang tersebut dilakukan setelah suami membacakan ikrar talak dan suami yang
membangkang atau tidak memenuhi nafkah Māḍiyah yang telah diputuskan maka
akan dilakukan eksekusi dari pihak pengadilan. Hasil penelitian kedua yakni tinjauan
hukum Islam terhadap nafkah Māḍiyah menunjukkan bahwa dalam hukum Islam
pemberian nafkah oleh suami kepada istrinya selama proses pernikahan berlangsung
adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami berupa nafkah lahir dan
batin. Jika suami tidak menunaikan nafkah tersebut maka nafkah tersebut akan
menjadi utang yang harus dibayarkan suami kepada istrinya. Jumlah nafkah terutang
yang dibayarkan oleh suami tdiak ditentukan besaran jumlahnya dalam hukum Islam
akan tetapi jumhur ulama mengemukakan bahwa jumlah nafkah terutang yang
dibayarkan oleh suami yaitu secukupnya atau sesuai dengan kemampuan suami dan
jika suami bakhil atau tidak menunaikan nafkah tersebut maka akan menjadi hutang
yang harus ditanggung seperti hutang-hutang lainnya.
A. Kesimpulan
1. Nafkah Māḍiyah adalah nafkah lampau atau nafkah yang menjadi hutang di
sebabkan semasa pernikahan suami tidak menunaikan kewajiban nafkah
tersebut. Dalam putusan nomor: 393/Pdt.G/2020/PA.Wtp dimana pada
putusan tersebut penggugat rekonvensi menuntut nafkah Māḍiyah sebesar
Rp.83.850.000 dan nafkah anak sebsar Rp.500.000 perbulan dan hakim
memutuskan nafkah Māḍiyah sebesar Rp.5000.000 dan nafkah anak sebesar
Rp.500.000 perbulan. Dari wawancara yang dilakukan narasumber
memberikan pendapat bahwa setelah terjadinya pernikahan maka suami mulai
bertanggung jawab untuk memenuhi nafkah dalam pernikahan tersebut dan
jika suami tidak menunaikan kewajibannya maka istri dapat menuntut nafkah
tersebut dalam proses perceraian.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap nafkah Māḍiyah yang terdapat pada skripsi
ini penulis dapan menarik kesimpulan yakni nafkah Māḍiyah adalah nafkah
lampau yang tidak ditunaikan kewajibannya oleh suami sehingga menjadi
hutang yang harus dibayarkan. Dasar hukum penetapan nafkah Māḍiyah salah
satu dalil nya terdapat pada surah at-Thalaq ayat 7 dimana ayat tersebut
memberikan perintah bagi suami atau ayah untuk memberikan nafkah kepada
anak dan istrinya. Menurut pendapat para madzhab di antaranya madhab
Hanafi, madzhab Syafi‟I, dan madzhab Hanbali yaitu nafkah menjadi wajib
bagi suami setelah syarat-syaratnya terpenuhi dan jika suami tidak
menunaikan kewajibannya tersebut maka akan menjadi hutang baginya
berbeda dengan
ketiga madzhab tersebut madzhab maliki berpendapat bahwa suami yang tidak
menunaikan kewajibannya maka tidak akan di anggap sebagai hutang.
B. Saran
1. Suami yang menceraikan istrinya hendaknya memberikan mut‟ah, nafkah
iddah, nafkah Māḍiyah serta nafkah anak, meskipun istri tidak mengajukan
gugatan rekonvensi. Nafkah tersebut digunakan untuk biaya hidup istri dan
anaknya, terlebih jika istri tidak mempunyai penghasilan.
2. Kepada Pengadilan Agama Kota Watampone diharapkan agar praktek
pemberian nafkah pasca perceraian ini dapat terus dipertahankan, dan agar
para pihak hakim yang menangani permasalahan perceraian dapat lebih
optimal menasehati masing-masing pihak, sehingga perceraian tidak terjadi.
Namun jika memang nesehat sudah tidak dapat di indahkan oleh para pihak,
maka majelis hakim memperhatikan hak-hak istri pasca perceraian yang harus
dipenuhi, diharapkan kepada majelis hakim agar dapat memberikan putusan
yang adil, dan bermanfaat, menerapkan peraturan dengan sebaiknya bukan
seadnya.
Ketersediaan
| SSYA20220281 | 281/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
281/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
