Studi Perbandingan Antara Hukum Islam dan Hukum Positif Pembatalan Perkawinan

No image available for this title
Skripsi ini membahas tentang Studi Perbandingan Antara Hukum Islam dan
Hukum Positif Pembatalan Perkawina.
Tujuan penelitian untuk mengetahui
persamaan dan perbedaan pembatalan perkawinan dalam hukum Islam dan hukum
positif dan untuk mengetahui akibat pembatalan perkawinan hukum Islam dan hukum
positif.
Penelitian ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu
suatu metode yang digunakan yuridis normatif dengan jalan menelaah beberapa buku
sebagai sumber datanya dan/atau karya tulis ilmiah lain yang memiliki kaitan dengan
pembahasan penelitian penulis.
Hasil penelitian menujukkan bahwa pembatalan perkawinan disebut dengan
fasakh dalam hukum Islam yaitu bisa terjadi karena rusak atau tidak sahnya
perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau
sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Menurut Imam Mazhab
(Hanafi,Maliki,Syafi’I, dan Hambali) Mengatakan: Istri dapat membatalkan
Perkawinan tersebut. Lebih jelasnya lagi kedua calon pengantin tersebut telah di
jodohkan oleh kedua orang tuanya, masing masing antara seorang pria dan seorang
wanita segera melangsungkan pernikahan, kemudian tiba tiba seorang pengantin
wanita mau melakukan pembatalan
perkawinan.
Namun demikian, dengan
pembatalan
perkawinan tersebut bukan berarti permasalahan telah selesai.
Pembatalan perkawinan menurut hukum Positif adalah pembatalan hubungan suami
istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 26
ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai
pencatatan perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya
oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa dan
suami atau istri. Akibat perkawinan yang dibatalkan karena wali palsu ini menurut
Imam Syafi‟i tidak sah karena, wanita tidak boleh menikah kecuai dengan izin
walinya, atau orang cerdik dari kalangan keluarganya atau penguasa. Akibat nya
pernikahan ini dianggap tidak sah dan pertalian nasab hanya kepada ibu. Berbeda
dengan hukum positif yaitu dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 28 ayat (2) huruf a
menyatakan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut.
A. Simpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian studi perbandingan antara hukum Islam dan
hukum positif pembatalan perkawinan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Pembatalan perkawinan disebut dengan fasakh dalam hukum Islam yaitu bisa
terjadi karena rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah
satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau
diharamkan oleh agama. Pembatalan perkawinan menurut hukum Islam,
disebabkan karena hal-hal yang membatalkan akad nikah, seperti larangan
kawin (mahram) atau karena hal yang baru terjadi setelah akad nikah, seperti
salah satu pihak murtad. Menurut pemahaman empat Imam Mazhab
(Hanafi,Maliki,Syafi’I, dan Hambali) Mengatakan: Istri dapat membatalkan
Perkawinan tersebut. Lebih jelasnya lagi kedua calon pengantin tersebut telah
di jodohkan oleh kedua orang tuanya, masing masing antara seorang pria dan
seorang wanita segera melangsungkan pernikahan, tetapi mengapa setelah
beberapa hari kemudian, setelah pernikahanya sudah berlansung, kemudian tiba
tiba seorang pengantin wanita mau melakukan pembatalan perkawinan. Namun
demikian, dengan pembatalan perkawinan tersebut bukan berarti permasalahan
telah selesai.
Pembatalan perkawinan menurut hukum Positif adalah
pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 26 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan
yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatatan perkawinan yang tidak
berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri
oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam
garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.
pada Pasal 28 Ayat (1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan
Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. Kemudian pembatalan perkawinan dalam
Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 74 ayat (2) Batalnya suantu perkawinan
dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
2. Perkawinan yang dibatalkan karena wali palsu ini menurut Imam Syafi‟i tidak
sah karena, wanita tidak boleh menikah kecuai dengan izin walinya, atau orang
cerdik dari kalangan keluarganya atau penguasa. Akibat nya pernikahan ini
dianggap tidak sah dan pertalian nasab hanya kepada ibu. Berbeda dengan
hukum positif yaitu dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 28 ayat
(2) huruf a menyatakan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
B. Saran
1. Perkawinan merupakan sesuatu yang suci dan sakral. Untuk itu hendaknya
perkawinan harus dilakukan sesuai dengan aturan agama dan hukum yang
mengaturnya. Kiranya sebelum melakukan perkawinan, keduanya calon
mempelai hendaknya untuk saling mengenal terlebih dahulu antara satu
dengan yang lain. Maksud dan tujuannya agar seseorang yang hendak menikah
terlebih dahulu mengenal dengan siapa yang dia boleh menikah dan dengan
siapa dia terlarang untuk menikah baik menurut hukum Islam maupun menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai pembatalan
perkawinan terhadap masyarakat, dengan tujuan agar masyarakat dapat
mengetahui dan juga mengerti tentang syarat sahnya suatu perkawinan dan
sesuatu yang dapat membatalkan perkawinan yang ada dan diatur dalam
kompilasi hukum Islam, sehingga tidak terjadi pembatalan perkawinan.
2. Dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam setiap putusan
Pengadilan Agama agar masalah yang menyangkut tentang status hukum
anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan, pembagian
harta bersama dalam perkawinan yang dibatalkan, serta akibat hukum terhadap
bekas suami atau istri yang perkawinannya dibatalkan. Karena seperti yang
kita ketahui, belum ada pengaturan yang jelas yang mengatur tentang akibat
hukum tentang pembatalan perkawinan khususnya dalam ruang lingkup harta
bersama.
Ketersediaan
SSYA2021006868/2021Perpustakaan PusatTersedia
Informasi Detil
Judul Seri

-

No. Panggil

68/2021

Penerbit

IAIN BONE : Watampone.,

Deskripsi Fisik

-

Bahasa

Indonesia

ISBN/ISSN

-

Klasifikasi

Skripsi Syariah

Informasi Detil
Tipe Isi

-

Tipe Media

-

Tipe Pembawa

-

Edisi

-

Info Detil Spesifik

-

Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain

Advanced Search

Gak perlu repot seting ini itu GRATIS SetUp ,Mengonlinekan SLiMS Di Internet Karena pesan web di Desawarna.com Siap : 085740069967

Pilih Bahasa

Gratis Mengonlinekan SLiMS

Gak perlu repot seting ini itu buat mengonlinekan SLiMS.
GRATIS SetUp ,Mengonlinekan SLiMS Di Internet
Karena pesan web di Desawarna.com
Kontak WhatsApp :

Siap : 085740069967

Template Perpustakaan Desawarna

Kami berharap Template SLiMS ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai template SLiMS bagi semua SLiMerS, serta mampu memberikan dukungan dalam pencapaian tujuan pengembangan perpustakaan dan kearsipan.. Aamiin

Top